Salah satu Revolusi Rusia yang dianggap oleh Lenin sebagai "Great Dress Rehearsal" nantinya akan memulai perjalanan masuknya komunis ke kekuasaan Rusia sekaligus pintu gerbang lepasnya masyarakat dari kekuasaan kekaisaran Rusia yang otokrat dan cenderung melupakan rakyat.Â
Revolusi ini adalah Revolusi 1905. Pada Februari 1905, demonstrasi yang dilakukan secara damai oleh 100.000 rakyat Rusia tanpa dilengkapi sedikitpun senjata justru berakhir tragis.Â
Masyarakat yang datang ke Winter Palace berusaha menyampaikan pendapat mereka terhadap Tsar Nicholas II dan mengajak Tsar Nicholas untuk berdiskusi terkait permasalahan-permasalahan yang ada.Â
Tidak ada satupun anggota demonstran yang memprovokasi demonstrasi tersebut agar berakhir dengan amarah yang berlebihan. Hanya ada sahutan rakyat akan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, mereka justru tidak bertemu dengan Tsar Nicholas II yang "kabur" ke.Â
Suasana yang mencekam pun akhirnya dimulai ketika para tentara istana melakukan penembakan besar-besaran terhadap anggota demonstran. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan "Bloody Sunday".
Peristiwa ini merupakan awal mula kekecewaan rakyat yang semakin besar terhadap kekaisaran. Demonstrasi yang berlangsung benar-benar dilakukan secara damai, memohon untuk bertemu langsung dengan Tsar Nicholas II dan bahkan melantunkan "God Save The Tsar", menunjukkan betapa mereka masih menghormati kekuasaan Tsar Nicholas II dan mengharapkan perubahan dari kekuasaan Tsar Nicholas II.Â
Demonstrasi dipimpin oleh seorang pendeta dari Gereja Orthodox, Georgy Gapon yang merupakan perwakilan dari Persatuan Pekerja Rusia atau Russian Assembly Workers.Â
Gapon berupaya untuk mendengar dan menyatukan suara kekecewaan dari para kaum ploretariat, dan berusaha mengumpulkan serta mengemas suara-suara itu dengan baik dan terstruktur sebelum menyampaikan ke kekaisaran agar tidak membentuk suatu kesalahpahaman berkelanjutan antar kedua belah pihak.Â
Beberapa permasalahan yang diangkat dalam demonstrasi ini adalah jam kerja yang dianggap tidak masuk akal, kenaikan pajak yang begitu besar akibat kekalahan Rusia atas Jepang di Perang Russo-Japanese, dan lemahnya implementasi akan hak-hak rakyat.Â
Gapon merilis petisi yang ditandatangani oleh sekitar 135.000 orang, yang berisi permintaan jam kerja 8 jam per hari, minimal gaji per hari sekitar 1 Ruble (50 Cents) Â dan pemerintahan yang lebih demokratis. Gapon menganggap, jika ia dan para demonstran dapat bekerja sama untuk membentuk demonstrasi yang damai, maka kekaisaran akan melihat solidaritas kaum pekerja dan keinginan mereka untuk membawa perubahan yang besar juga kepada Rusia di era modernisasi.
Tsar Nicholas II melarikan diri pada saat demonstrasi terjadi karena ketakutan akan kemungkinan adanya rencana pembunuhan yang sebenarnya tidak ada dan bahkan tidak pernah terpikirkan untuk dilakukan oleh Georgy Gapon dan seluruh anggota demonstran lainnya.Â
Para tentara yang menjaga pada saat itu tentunya berupaya mempertahankan keamanan Winter Palace dan menembakkan senjata demi menunjukkan seberapa besar kekuasaan autokrat pada saat itu. Peristiwa Bloody Winter ini berujung pada jatuhnya citra pemerintahan dan juga keluarga Tsar di mata rakyat.Â
Nantinya, di revolusi-revolusi berikutnya, ketidakmampuan seluruh pemerintahan dalam menghadapi publik menjadi permasalahan utama yang dibawa. Hal ini menjadi dasar dari pertimbangan perubahan sistem pemerintahan dari yang tadinya monarki absolut, menjadi konstitusional monarki.
Source: House of History. 2021. The Russian Revolution of 1905 | Bloody Sunday and The First Soviets. YouTube. https://youtu.be/EdhOvCwnogc
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H