Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin Indonesia selama dua periode, 2004-2014. Dalam masa pemerintahannya, hubungan bilateral dengan Amerika Serikat mengalami peningkatan signifikan.
Sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat, SBY berupaya memperkuat posisi strategis Indonesia di dunia. Amerika Serikat menjadi salah satu mitra utama untuk mencapai tujuan tersebut.
Konteks global saat itu diwarnai oleh ancaman terorisme pasca serangan 11 September 2001. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, memainkan peran penting dalam agenda kontra-terorisme global.
SBY melihat peluang untuk mempererat hubungan dengan Amerika melalui isu-isu keamanan. Pendekatan ini juga didorong oleh kebutuhan modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) Indonesia.
Amerika Serikat, di sisi lain, ingin memperkuat pengaruhnya di kawasan Asia-Pasifik. Kerjasama dengan Indonesia dilihat sebagai langkah strategis dalam menghadapi ancaman dari Tiongkok yang terus berkembang.
Dengan pendekatan realisme, kerjasama ini dapat dipahami sebagai upaya kedua negara untuk mengejar kepentingan nasional masing-masing. Keamanan dan kekuatan militer menjadi faktor utama dalam hubungan ini.
Salah satu bentuk utama kerjasama pertahanan adalah modernisasi alutsista Indonesia. Amerika Serikat memasok berbagai peralatan militer, seperti pesawat tempur F-16 dan helikopter Apache.
Melalui program Excess Defense Articles (EDA), Indonesia memperoleh alutsista dengan harga lebih murah. Program ini membantu Indonesia memperbarui kekuatan militernya yang sempat tertinggal.
Selain itu, pelatihan militer juga menjadi fokus utama. Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan pelatihan bersama dengan militer Amerika Serikat melalui berbagai latihan gabungan.
Latihan ini meliputi operasi penanggulangan terorisme, penyelamatan sandera, dan misi kemanusiaan. Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas dan profesionalisme TNI.
Kerjasama ini juga mencakup peningkatan teknologi informasi militer. Amerika Serikat membantu Indonesia dalam membangun sistem radar dan pengawasan maritim.
Pengawasan ini penting untuk menjaga stabilitas di wilayah perairan Indonesia. Dengan dukungan teknologi ini, Indonesia mampu memperkuat pengawasan di Selat Malaka dan Laut Natuna.
Selain modernisasi alutsista dan pelatihan, kerjasama juga mencakup pendidikan militer. Banyak perwira TNI dikirim ke Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan di lembaga militer terkemuka.
Program pendidikan ini bertujuan membangun kapasitas kepemimpinan dan strategi pertahanan TNI. Hal ini juga memperkuat hubungan personal antara militer kedua negara.
Kerjasama juga dilakukan dalam bentuk bantuan kemanusiaan. Misalnya, ketika tsunami melanda Aceh pada 2004, Amerika Serikat mengirimkan bantuan militer besar-besaran.
Operasi ini memperlihatkan aspek non-konvensional dari hubungan pertahanan. Militer Amerika Serikat membantu Indonesia dalam misi-misi tanggap bencana dan kemanusiaan.
Melalui berbagai bentuk kerjasama ini, Indonesia-AS memperkuat hubungan strategis di bidang pertahanan. Kerjasama ini memperlihatkan pendekatan saling menguntungkan bagi kedua negara.
Meski membawa banyak manfaat, kerjasama ini tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah persepsi publik terhadap keterlibatan Amerika Serikat di Indonesia.
Sebagian masyarakat menganggap kerjasama ini dapat mengurangi kedaulatan Indonesia. Kekhawatiran ini terutama muncul dalam isu keterlibatan militer asing di wilayah strategis.
Tantangan lain adalah perbedaan kepentingan strategis kedua negara. Amerika Serikat memiliki agenda geopolitik di kawasan Asia-Pasifik, yang terkadang tidak sejalan dengan prioritas Indonesia.
Misalnya, tekanan Amerika terhadap isu Laut Tiongkok Selatan tidak selalu selaras dengan sikap netral Indonesia. Hal ini berpotensi menimbulkan ketegangan diplomatik di masa depan.
Isu hak asasi manusia (HAM) juga menjadi kendala dalam hubungan ini. Amerika Serikat pernah membatasi kerjasama militer akibat pelanggaran HAM di masa lalu oleh TNI.
Meski embargo dicabut, stigma terhadap TNI masih menjadi sorotan. Ini memengaruhi proses transfer teknologi dan pelatihan militer secara penuh.
Tantangan teknis juga muncul dalam modernisasi alutsista. Beberapa peralatan militer yang dibeli dari Amerika membutuhkan biaya tinggi untuk perawatan dan operasional.
Keterbatasan anggaran pertahanan Indonesia menjadi hambatan dalam memanfaatkan alutsista secara optimal. Hal ini memperlambat upaya modernisasi kekuatan militer nasional.
Selain itu, ada ketergantungan teknologi yang mulai dikhawatirkan. Dengan banyaknya alutsista dari Amerika, Indonesia menjadi kurang mandiri dalam industri pertahanannya.
Pemerintah Indonesia di era SBY berusaha mengurangi ketergantungan ini. Namun, upaya untuk mengembangkan industri pertahanan dalam negeri masih membutuhkan waktu dan investasi besar.
Tantangan terakhir adalah fluktuasi hubungan politik antara kedua negara. Kebijakan luar negeri Amerika dapat berubah dengan pergantian pemerintahan, yang memengaruhi kelangsungan kerjasama.
Meski menghadapi tantangan ini, kerjasama pertahanan tetap berjalan. Hal ini menunjukkan upaya kedua negara untuk mengatasi hambatan demi mencapai kepentingan bersama.
Kerjasama pertahanan Indonesia-Amerika Serikat di era SBY membawa banyak manfaat strategis. Melalui modernisasi alutsista, pelatihan militer, dan teknologi, Indonesia memperkuat keamanan nasionalnya.
Di tengah meningkatnya ancaman seperti terorisme dan konflik regional, kerjasama ini menjadi kebutuhan penting. Indonesia memanfaatkan hubungan dengan Amerika untuk menjaga stabilitas dan melindungi kepentingan nasionalnya.
Namun, kerjasama ini tetap dilakukan dengan prinsip bebas-aktif. SBY memastikan Indonesia tidak berkiblat pada satu blok tertentu, termasuk Amerika Serikat.
Indonesia juga menjaga hubungan diplomatik yang seimbang dengan kekuatan besar lainnya, seperti Tiongkok. Pendekatan ini menunjukkan sikap Indonesia sebagai negara yang mandiri dan berdaulat.
Dengan kebijakan tersebut, Indonesia tidak hanya memperkuat pertahanan, tetapi juga mempertahankan peran strategisnya di kawasan. Kerjasama pertahanan ini menjadi bagian dari upaya menjaga kedaulatan tanpa kehilangan identitas politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Era SBY menunjukkan pentingnya hubungan bilateral dalam mencapai kepentingan nasional. Meski ada tantangan, kerjasama ini tetap mencerminkan komitmen Indonesia terhadap stabilitas kawasan dan dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI