Namun, di balik semua itu, aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak ayah ceritakan. Sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar cerita tentang Gonggong dan Nenek.
Suatu malam, saat aku membersihkan dapur setelah tutup toko, aku menemukan sesuatu di laci meja kerja ayah. Sebuah foto lama, kusam di bagian pinggirnya, memperlihatkan seorang lelaki muda berdiri di atas kapal kecil dengan keranjang penuh ikan. Di belakangnya, ada seorang perempuan tersenyum hangat. Aku tahu itu Gonggong dan Nenek. Tapi ada sesuatu di balik foto itu.
Aku membaliknya dan membaca tulisan tangan kecil di bagian belakang: "Bandeng adalah simbol keberuntungan, kemakmuran, dan kesetiaan. Jangan pernah lupa akar kita."
Malam itu, aku bertanya pada ayah tentang foto itu. Ia terdiam lama sebelum akhirnya menjelaskan "Dalam budaya Tionghoa, bandeng melambangkan hal-hal baik. Tapi lebih dari itu, Gonggong percaya bandeng adalah pengingat bagi kita untuk selalu setia pada keluarga dan tradisi. Tidak peduli seberapa sulit hidup, kita harus menjaga warisan ini."
Aku mengerti sekarang. Bagi ayah, bandeng bukan sekadar ikan. Ia adalah simbol perjuangan keluarga kami, simbol bagaimana kami, meskipun hanyalah keturunan perantau, bisa menemukan tempat di dunia ini.
Dan setiap kali aku melihat toko kami yang Ramai dengan pelanggan, aku tahu bahwa warisan itu tetap hidup.
Malam itu, sebelum tidur, aku menatap foto itu sekali lagi. Bibirku memancarkan senyuman lebar, membayangkan Gonggong berdiri di atas kapalnya, melihat kami dari kejauhan.
"Terima kasih, Gonggong," bisikku pelan. Karena berkat filosofi bandeng, aku tahu siapa aku dan dari mana aku berasal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI