Sementara itu, aku berusaha mengalihkan pikiranku. Kupejamkan mata dan berpikir tentang liburan pantai atau pegunungan sepi. Apa pun yang jauh dari denting logam dan bau obat antiseptik.
Namun, kenyataannya tetap menyergapku ketika Dr. Arini akhirnya berkata, "Baiklah, kita lanjut saja."
Aku hanya bisa pasrah. Saat ia mulai memeriksa gigiku, rasa nyeri perlahan-lahan berubah menjadi sedikit geli. "Hmm, aneh," gumam Dr. Arini, membuatku menahan napas.
"Kenapa, Dok?" tanyaku, semakin gugup.
"Tidak, tidak, hanya saja... gigi Anda seperti menolak dibor," jawabnya sambil terkekeh. Aku tertawa kecil, tapi tak sepenuhnya yakin apakah itu lelucon atau kenyataan. Rasanya semakin absurd.
"Apa mungkin gigiku punya perasaan, Dok?" tanyaku akhirnya, mencoba mencairkan suasana yang mulai terasa ganjil.
"Kalau begitu, kita harus memintanya untuk bekerja sama, ya," jawab Dr. Arini sambil tersenyum di balik maskernya.
Selama sisa pemeriksaan, perasaanku naik turun seperti roller coaster. Kadang-kadang aku merasa tenang ketika bor itu bekerja dengan mulus, namun setiap kali terdengar suara aneh atau hentakan kecil, bayangan gigi grahamku yang mendadak memutuskan memberontak muncul di benakku.
Akhirnya, setelah apa yang terasa seperti seabad lamanya, Dr. Arini meletakkan bor itu dengan ekspresi kemenangan melintas di wajahnya.
"Selesai! Gigi grahamnya sudah ditambal. Mungkin ada sedikit ngilu nanti, tapi itu wajar. Pastikan untuk tidak makan yang terlalu keras dulu," katanya.
Aku mengangguk, setengah tidak percaya bahwa semuanya sudah berakhir. Sambil turun dari kursi, aku merasa seperti seorang prajurit yang baru saja memenangkan pertempuran panjang. Perasaan lega membanjiri, meskipun nyeri kecil masih mengintai di sudut mulutku.