Ritual tawa gigi
Aku selalu merasa bahwa kunjungan ke dokter gigi bukan sekadar soal memeriksakan kesehatan mulut. Di balik langkahku menjejak ruang steril dengan aroma mint yang menusuk, ada sejenis ritual batin yang entah bagaimana menjadi pengingat betapa aku ini manusia rapuh yang bisa rusak oleh hal-hal paling sepele, seperti gigi berlubang.
Hari itu, seperti biasa, aku harus berhadapan dengan kenyataan bahwa salah satu gigi grahamku mulai memberi sinyal protes. Nyeri yang menusuk itu tak lagi bisa ditangani oleh kumur-kumur garam atau beragam metode tradisional lain yang, jujur, lebih sering kudengar dari mulut tetangga ketimbang para profesional. Di tengah gelisah, aku memberanikan diri menelepon klinik gigi langgananku yang, entah kenapa, kini terasa lebih mirip tempat penghakiman ketimbang penyembuhan.
"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" Suara ramah dari ujung telepon terdengar. Di balik keramahan itu, aku selalu merasa ada kegetiran; seolah-olah mereka sudah tahu apa yang akan kuterima.
"Selamat pagi. Saya mau buat janji untuk periksa gigi," jawabku, mencoba terdengar tenang meski perutku bergolak.
Setelah beberapa formalitas, aku mendapat jadwal sore itu juga. Hari yang kutakutkan akhirnya tiba.
---
Klinik gigi itu berada di ujung jalan kecil yang berkelok. Bangunannya sederhana dengan tembok yang dicat putih bersih. Di depannya, ada pot-pot bunga yang entah bagaimana selalu terlihat lebih cerah dan segar dibandingkan hari-hari sebelumnya. Seolah-olah ada yang merawat bunga itu dengan kasih sayang berlebih, sementara aku, dengan rasa takut dan nyeri yang berlipat, merasa seperti seekor domba yang siap disembelih.
Masuk ke ruang tunggu, aku disambut oleh senyum resepsionis yang terlalu lebar, seperti sebuah senyum kemenangan dari seseorang yang tahu bahwa mereka sudah terbiasa menyaksikan rasa takut. Aku duduk, menatap majalah yang terserak di meja kopi di depanku. Sebuah majalah kesehatan tergeletak di sana dengan gambar gigi manusia yang memamerkan ketidakberdayaannya. Ironis.
Tak lama kemudian, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya keluar sambil tersenyum lebar, jauh lebih lebar dari senyum resepsionis tadi. Aku tak bisa tidak merasa iri. Bagaimana bisa seseorang keluar dari neraka kecil ini dengan senyum lebar seperti itu? Sementara aku tahu, beberapa menit lagi, aku yang akan masuk dan mungkin keluar dengan senyum yang jauh lebih pudar, jika bisa tersenyum sama sekali.
"Mbak Yolanda, silakan masuk," panggil perawat dengan suara yang lembut tapi tegas.