Mohon tunggu...
Aisyah KimberlyMaroe
Aisyah KimberlyMaroe Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengatasi Problematika Pembelajaran Sastra dengan Mengapresiasi Sastra

20 Juni 2022   14:39 Diperbarui: 20 Juni 2022   14:48 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Banyak yang percaya bahwa pendidikan sastra tidak ada artinya di era globalisasi. Pendidikan teknologi dan bisnis sangat relevan di era globalisasi  di  abad mendatang. Hal ini sejalan dengan evolusi era yang semakin global yang membutuhkan peralatan dan infrastruktur teknis yang canggih seperti komputer, peralatan telekomunikasi dan transportasi yang canggih. Belajar sastra sangat penting bagi siswa. 

Ada pendapat yang menyatakan bahwa pembelajaran apresiasi sastra mengemban misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya tanggap terhadap peristiwa sekelilingnya, (Oemarjati dalam Rohmadi dan Subiyantoro, 2011:69). 

Oleh karena itu, guru sastra Indonesia tidak boleh mengabaikan pembelajaran sastra. Guru dituntut harus kreatif dan inovatif agar pembelajaran sastra tidak membosankan dan tujuan tercapai.

 Ajaran apresiasi sastra harus mewakili karya sastra itu sendiri dan oleh karena itu memerlukan dukungan kelembagaan. Mengajar sastra tanpa karya sastra adalah omong kosong. Pengajaran sastra Indonesia di sekolah tidak sepenuhnya mendukung peningkatan keterampilan dan kreativitas siswa. 

Siswa pada tingkat tertentu lebih cenderung mengandalkan konsep dan pengenalan formal bahasa tertentu. Untuk merangsang kreativitas siswa, kita perlu mencari rangsangan yang membuat siswa berpikir. Kelas sastra yang merupakan bagian dari kelas bahasa tidak membantu mengatasi "kekurangan" kreativitas siswa. Untuk itu, sudah saatnya frekuensi pelajaran sastra menjadi proporsi yang signifikan dari pelajaran bahasa Indonesia.

Masalah utama dalam mempelajari sastra di sekolah adalah ketidakmampuan siswa  membaca karya sastra dengan benar. Padahal, kunci untuk membuka ilmu pengetahuan adalah membaca, membaca, dan membaca, (Santoso, 2015:2). Agar pembelajaran kita tepat waktu dan relevan dengan situasi, kita perlu mengatasi beberapa hambatan klasik yang  selama ini menjadi keluhan. 

Ada dua faktor yang disoroti untuk menunjang pembelajaran sastra di sekolah dalam menghadapi tantangan global yang akan datang agar relevan dengan situasi dan tuntutan zaman, yaitu (1) peran guru dalam memahami konsep pembelajaran sastra, (2) strategi pembelajaran sastra yang menyenangkan dan menanamkan kerinduan. Dua faktor ini menjadi kunci utama pokok strategi keberhasilan pembelajaran sastra di sekolah dan tantangan abad yang akan datang dalam era globalisasi.

Masalah kurikulum yang berubah  dapat ditangani oleh guru yang memiliki pengalaman mengajar sastra kepada siswa. Masalah minat siswa  diatasi oleh guru sastra yang pandai mendorong, semangat, memotivasi, menginspirasi dan menginspirasi kreativitas, serta menciptakan kecintaan siswa terhadap karya sastra. 

Kecintaan siswa terhadap karya sastra dapat merangsang semangatnya untuk mengapresiasi karya sastra dan memperluas pengetahuannya untuk menghadapi persaingan tantangan abad. 

Pemahaman siswa yang  baik dapat menciptakan tingkat kreativitas yang tinggi. Pembelajaran sastra adalah dunia keterampilan intuitif, imajinatif dan  kreatif. Oleh karena itu, keterampilan intelektual atau kognitif masih diperlukan, tetapi kepekaan yang lebih intuitif juga diperlukan untuk mendekati karya sastra. 

Oleh karena itu, pembelajaran sastra juga harus bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intuitif dan emosional siswa dalam  memahami pesan-pesan yang terkandung dalam  karya sastra. Proses  pemahaman sastra yang komprehensif setidaknya membutuhkan dukungan keterampilan intelektual. 

Dengan demikian, pembelajaran sastra pun harus berorientasi pada pengembangan kemampuan intuitif dan emosional siswa dalam upaya memahami pesan-pesan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Proses menuju pemahaman sastra yang kompeherensif itulah diperlukan kemampuan intelektual, paling tidak sebagai sarana penunjangnya.

Mengapresiasi sastra berarti menanggapi sastra dengan kemampuan afektif yang di satu pihak peka terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra bersangkutan, baik yang tersirat maupun yang tersurat, dalam kerangka tematik yang mendasarinya. 

Di lain pihak, kepekaan tanggapan tersebut berupaya memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalannya. 

Oleh karena itu, dalam konteks pemahaman ini, pembelajaran sastra harus dibimbing. Ternyata tidak semua guru yang mengajar sastra memahami tujuan pembelajaran prioritasnya. 

Akibatnya, pembelajaran sastra biasanya diisi dengan materi teoritis, dan yang harus Anda lakukan hanyalah mengingat sastra dan karakter dalam sastra dan sejarah karya mereka. Siswa dikenalkan biografi Amir Hamzah, namun tidak diajak menggali makna dan pesan moral puisinya. Siswa mungkin dapat mengingat sinopsis dari "Layar Terkenban" atau "Dahlia Vemaria on Another Road to Rome" karya Dills Stan Takdir Ali Shabana, tetapi isinya dihadapi hari ini. 

Saya tidak ingin melihat relevansinya dengan kondisi kehidupan saya. memiliki. Kondisi  perkembangan kemampuan emosional dan intelektual siswa tentunya tidak "sehat". 

Pembelajaran sastra pada akhirnya mirip dengan pembelajaran sejarah dan geografi. Atau biologi, lebih membutuhkan keterampilan kognitif daripada keterampilan emosional dari siswa. 

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nadeak (1984),  kurangnya inisiatif daripada pendidik dalam upaya membina para siswa untuk "membaca" karya-karya sastra secara menyeluruh. Para guru seolah sudah merasa puas melihat siswa-siswanya sudah dapat membaca kutipan-kutipan atau sinopsis sebuah novel seperti yang banyak tersaji dalam bukubuku pelajaran. 

Akibatnya, para siswa hanya sekadar membaca bahan bacaan yang sangat minim dan pada akhirnya pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai sastra pun menjadi sangat dangkal. 

Tentu saja masalah ini bukan hanya kesalahpahaman guru, tetapi juga terkait dengan masalah yang rata-rata membaca buku di perpustakaan sekolah  masih sangat jarang. 

Persyaratan yang lebih penting adalah  guru harus proaktif dalam mengembangkan keterampilan profesionalnya. Ini menghilangkan kebutuhan untuk beberapa kesalahpahaman dalam pembelajaran sastra. Konsep pembelajaran yang menyenangkan selalu menonjol dalam dunia pendidikan. Konsep ini didasarkan pada interaksi edukatif antara guru dan siswa. Sebagai orientasi interaksi pendidikan, praktik  konsep ini dinilai cocok untuk mencapai proses dan hasil belajar yang maksimal.

Konsep pembelajaran yang menyenangkan selalu menonjol dalam dunia pendidikan. Konsep ini didasarkan pada interaksi edukatif antara guru dan siswa. Sebagai orientasi interaksi pendidikan, praktik  konsep ini dinilai cocok untuk mencapai proses dan hasil belajar yang maksimal. Semua guru mata pelajaran disarankan mendesain pembelajaran dengan metode yang menyenangkan dan menanamkan kerinduan, niscaya pelajaran sastra selalu dinantikan oleh para siswa (Sayuti, 2017). 

Agar siswa selalu merindukan kehadiran pelajaran sastra hal berikut perlu diperhatikan. (1) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuka diri terhadap pengalaman baru melalui karya sastra, bukan sastra. (2) Mendorong siswa untuk berpikir secara fleksibel dengan  melibatkan mereka dalam persepsi bahwa sastra adalah dunia kesadaran reflektif; (3) sediakan peluang kebebasan yang besar kepada para siswa dalam mengemukakan pandangan sesuai dengan pilihan bahasa mereka sebagai "wilayah pribadi"; (4) dorong dan kembangkan daya imajinasi siswa karena pencarian alternatif baru hampir selalu dimulai dengan memberdayakan imajinasi, dan "imajinasi yang baik niscaya berbasis realitas". 

Cara pandang baru tentang pendidikan sastra di sekolah perlu membimbing siswa untuk memulai sastra dengan cara yang menyenangkan, menghibur dan membahagiakan. Siswa membaca  puisi, cerpen, novel, drama, esai dan karya sastra lainnya secara langsung. 

Kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, dan ketika membicarakan karya sastra aneka ragam tafsir harus dihargai, serta pengetahuan tentang sastra baik teori, definisi, sejarah tidak utama.

Paling penting, pengajaran sastra mestilah mendidik karakter pelajar, membangun perilaku siswa, serta menyemai nilai-nilai luhur dan sifat akhlak mulia pada siswa (Ismail, 2003).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun