Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan Suhyar
Rizky Kurniawan Suhyar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa Manajemen Universitas Siber Asia

Mahasiswa jurusan Manajemen Universitas Siber Asia angkatan 2021/2022. Mantan jurnalis yang sekarang bergelut di industri konten dan public relations dan ingin menjadi pebisnis di masa mendatang.

Selanjutnya

Tutup

Money

Peluang dan Tantangan Sektor Logistik Indonesia dalam Era Pandemi dan Society 5.0

21 November 2021   09:40 Diperbarui: 21 November 2021   11:01 1450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Truck Magz

Dampak dari pesatnya perkembangan teknologi dibarengi dengan pandemi COVID-19 di dunia telah mendisrupsi berbagai industri di Indonesia termasuk sektor logistik. Memasuki era Society 5.0, saat ini masyarakat Indonesia lebih senang belanja daring, menggerakan stay at home economy, dibandingkan harus beli kebutuhan secara luring. Disrupsi inilah yang akhirnya membuat industri logistik di Indonesia menggeliat. 

Hal ini juga tak lepas dari pertumbuhan e-commerce di Indonesia yang terus melonjak setiap tahunnya. We Are Social pada April 2021 melansir jika pengguna e-commerce Indonesia adalah yang tertinggi di dunia dengan capaian 88,1 persen mengungguli Inggris, Filipina, Thailand dan Malaysia. Terlebih lagi saat ini pasar e-commerce Indonesia diwarnai oleh perusahaan besar seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, Bukalapak, Blibli.com, JD.id, Zalora dan masih banyak lainnya. 

 Dengan jumlah penduduk yang mencapai 260 juta jiwa, tak heran kalau Indonesia menjadi pasar e-commerce yang paling 'seksi' di Asia Pasifik. Potensi inilah yang membuat transaksi e-commerce Indonesia diprediksi akan mengalami kenaikan mencapai 50 persen di Asia Tenggara pada 2025 mendatang. Menurut laporan dari ISEAS Yusof Ishak Institute Agustus 2021, transaksi e-commerce di Indonesia saat pandemi saja mengalami lonjakan 23 persen dengan gross merchandise value (GMV) mencapai US$ 32 miliar. Angka yang sangat luar biasa bukan?

E-commerce dan industri logistik adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Karena dalam proses bisnis e-commerce, ada dua hal esensial yang dicakup oleh logistik yaitu sourcing dan delivery. Sourcing dibutuhkan untuk mendapatkan dan mengumpulkan barang-barang dari supplier atau merchant untuk diperdagangkan secara daring. Sementara delivery adalah proses mengirimkan barang kepada pelanggan agar memenuhi tenggat waktu. 

Inilah momen kebangkitan industri logistik di Indonesia! Di era industri 4.0, sektor logistik Indonesia terus mempercantik diri untuk menyambut era Society 5.0 yang sudah di depan mata. Dampak dari digitalisasi rupanya membawa perubahan sektor logistik Indonesia ke arah yang lebih baik. Dalam peringkat Logistics Performance Index (LPI), penilaian logistik Indonesia menempati posisi 75 pada 2010. Sementara pada 2018 angkanya melesat naik menjadi menjadi 48. Di ASEAN, Indonesia berada di posisi lima di belakang Singapura, Thailand, Vietnam dan Malaysia. Posisi tersebut diprediksi akan terus membaik seiring dengan digitalisasi sektor logistik Indonesia di era digital. 

Namun sektor logistik sempat mengalami pasang surut pada awal era pandemi semester awal 2020 silam. Menurut data dari Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), semua perusahaan logistrik di Indonesia mengalami 50 persen penurunan transaksi. Bahkan dalam periode yang sama, penurunan volume logistik pun mencapai 60-70 persen karena saat itu pemerintah mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penularan COVID-19. Namun di satu sisi, layanan logistik business-to-consumer (B2C) dan customer-to-customer (C2C) justru mengalami pertumbuhan meskipun skalanya kecil karena adanya peningkatan transaksi pengiriman makanan dan pasokan medis meskipun ada pembatasan sosial berskala besar.

Saat ini logistik Indonesia memasuki era baru akibat pandemi. Perusahaan logistik mau tak mau harus memutar otak untuk melakukan proses digitalisasi secara maksimal dan melakukan inovasi dengan memanfaatkan teknologi Internet of Things (IoT), big data, cloud dan Artificial Intelligence (AI). Bahkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Eric Thohir sangat mendukung digitalisasi rantai pasok logistik dalam rangka memulihkan ekonomi nasional pasca pandemi COVID-19 yang mewabah sejak Maret 2020. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia tetap akan mempertahankan stay at home economy sebagai tren di masa mendatang. 

Dikutip dari McKinsey (2016), proses digitalisasi rantai pasok memungkinkan perusahaan untuk memenuhi keinginan pelangganan, mengatasi kendala di sisi pasokan dan meningkatkan efisiensi dari proses pasokan itu sendiri. Artinya, jika rantai pasok sudah merambah digital makan proses logistik akan lebih cepat, efisien, fleksibel, pengiriman barang jadi lebih cepat dan akurat. Terlebih lagi McKinsey juga memprediksi jika transaksi e-commerce akan mencapai 1,6 miliar transaksi pada 2022. 

  1. Peluang Digitalisasi Sektor Logistik

Sumber foto: Keepack
Sumber foto: Keepack

Peluang dari adanya digitalisasi juga akan berdampak pada meningkatnya transaksi perusahaan penyedia jasa logistik (3PL dan 4PL). Seperti JNE yang melaporkan sudah melewati target pengiriman barang 1 juta per hari. Sementara J&T Express mencatatkan 16,5 juta paket selama periode Festival Belanja Online 11.11. Fantastis!

Adanya digitalisasi juga semakin memberikan cara baru kepada 3PL dan 4PL untuk berkolaborasi dalam hal outsourcing dengan perusahaan lain. Kolaborasi ini dapat meningkatkan nilai tambah kepada pelanggan dan meningkatkan profit perusahaan. Dengan digitalisasi, peluang untuk berkolaborasi tidak hanya dengan perusahaan dalam negeri saja tapi juga luar negeri.  Kolaborasi 3PL dan 4PL dengan perusahaan lain biasanya sering dilakukan dalam beberapa aspek seperti transportasi baik domestik maupun internasional, pergudangan, freight forwarding, teknologi dan informasi hingga management dan fulfillment. 

Proses digitalisasi juga sangat memungkinkan membuat perusahaan penyedia jasa logistik menciptakan inovasi yang dapat meningkatkan kepuasaan pelanggan dengan memaksimalkan teknologi Internet of Things (IoT), big data, cloud dan Artificial Intelligence (AI). Seperti revolusi pengiriman dengan drone yang saat ini sedang digalakkan oleh Indonesia. Pengiriman dengan drone ini kedepannya dapat menjangkau wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) dan rawan bencana. Dari hasil kajian Balitbanghub Kemenhub dengan ITB, pengiriman logistik menggunakan drone akan menghemat biaya logistik mencapai 30 persen. Selain itu, drone juga akan mempercepat waktu kirim dan dapat menjangkau seluruh wilayah tak sulit ditempuh via jalur darat. 

Digitalisasi pun sudah mulai pelabuhan dengan diterapkannya sistem Inaportnet versi 2.0 dan Delivery Order Online di pelabuhan sejak 2019 lalu. Kementerian Perhubungan telah menerapkan sistem Inaportnet di 16 pelabuhan dan jumlahnya akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Dua layanan digital ini memberikan dampak luar biasa pada pelayanan di pelabuhan. Bayangkan, proses pelaporan yang sebelumnya membutuhkan waktu satu hari kini dapat dilakukan hanya dalam 10 menit. Selain itu, proses informasi kapal dan barang pun menjadi lebih transparan dan dapat dipantau secara real time.

  1. Tantangan Digitalisasi Sektor Logistik 

Sumber foto: Truck Magz
Sumber foto: Truck Magz

Peluang digitalisasi logistik Indonesia tentu dapat diwujudkan jika para pelaku di sektor ini juga dapat menangani berbagai tantangan. Tantangan inilah yang harus menjadi perhatian utama banyak pihak agar upaya sektor logistik sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia tetap terjaga. Terlebih lagi, teknologi sangat berpengaruh pada perilaku konsumen yang dapat berubah secara drastis. Tentunya para pelaku logistik harus memperhatikan banyak hal agar terciptanya bisnis yang berkelanjutan. 

Satu aspek yang menjadi tantangan utama dalam industri logistik Indonesia adalah biaya. Pada tahun 2019, katadata pernah membuat sebuah laporan jika biaya logstik Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih cenderung tinggi yaitu mencapai 24 persen. Sedangkan pada 2021, persentasenya berada di angka 23,5 persen. Meskipun mengalami penurunan, namun angka ini jauh lebih tinggi dibanding negara lainnya. Mari kita bandingkan dengan Malaysia yang memiliki perbandingan biaya logistik hanya 13 persen dari PDB. 

Apa penyebab utama biaya logistik di Indonesia jauh lebih mahal dari negara tetangga? Jawabannya adalah rumitnya birokrasi dalam proses mengajukan izin usaha. Mau tidak mau para pelaku usaha harus mengeluarkan biaya ekstra agar permasalahannya selesai. Para pengusaha logistik juga akan dihadapkan dengan mahalnya biaya investasi untuk menyediakan alat produksi, robotik, teknologi dan transportasi agar dapat menyesuaikan dengan era digital.

Biaya mahal juga dapat disebabkan karena pembangunan infrastruktur di Indonesia yang belum merata. Sebagai negara kepulauan dan terluas nomor tujuh di dunia, Indonesia masih dihadapkan dengan pembangunan yang masih timpang. Padahal infrastruktur merupakan pilar utama dalam efisiensi proses logistik. Proses pengiriman barang ke pelanggan akan lambat dan biaya logistik pun jauh lebih mahal. 

Aspek berikutnya adalah terkait manajemen sumber daya manusia (SDM) yang masih harus ditingkatkan. Kita hidup di era Society 5.0, namun masih banyak beberapa perusahaan logistik yang masih bertahan dengan sistem lama dan konvensional karena SDM yang belum adaptif dengan teknologi. Bayangkan jika pelaku industri ini masih bermain dengan cara lama dalam manajemen logistik. Proses transportasi, inventory, warehousing dan pengemasan barang dilakukan secara manual. Selain memperlambat proses, tentunya hal ini juga berdampak pada membengkaknya biaya dan mengurangi nilai tambah untuk pelanggan. Rendahnya mutu SDM juga akan berdampak pada minimnya inovasi. Di tengah era persaingan digital yang sangat ketat, inovasi sangat dibutuhkan agar pelanggan setia pada produk dan layanan ditawarkan. 

Peningkatan mutu SDM juga harus diperhatikan karena menurut Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), digitalisasi logistik akan berdampak para berkurangnya peran manusia. Jika perusahaan logistik sudah menerapkan teknologi komputer dan robotik, artinya kegiatan operasional harian tidak lagi membutuhkan tenaga manusia. Maka itu, SDM harus dapat menyesuaikan perubahan era dengan meningkatkan kompetensi agar dapat mengerjakan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh robot. Contohnya belajar membuat aplikasi atau memelihara sistem agar proses logistik berjalan tanpa hambatan. 

Sektor logistik Indonesia memiliki masa depan yang cerah karena didukung oleh banyak aspek positif dalam pertumbuhan digital. Perilaku konsumen yang dinamis, jumlah pengguna e-commerce yang tinggi di dunia serta semakin meningkatnya performa logistik Indonesia dalam index dunia. Namun, masih banyak pelaku industri ini dan SDM yang masih belum dapat mengejar dinamika teknologi yang semakin berkembang pesat. Jika hal ini masih dibiarkan, tentunya akan menghambat laju sektor logistik sebagai pilar penting dalam ekonomi Indonesia.

Rizky Kurniawan_Mahasiwa Manajemen Universitas Siber_210201010130

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun