Hari ini, pagi ini; tepat tujuh puluh hari berlalu dimana kita duduk terakhir kali di majelis yang kupikir bakal abadi sampai surga. Pagi itu serasa baru kemarin, suasananya masih terekam jelas di memori kepalaku seakan baru terjadi. Kita duduk di dekat pintu mobil yang terparkir, du bawah gerimis, di antara ibu-ibu rempong yang memintaku memegang payungnya.
Iya, kita duduk di bawah gerimis semanis kenangan. Masih mengiang ibu-ibu yang cerewet soal toa yang tiba-tiba mati. Penjual sate dan pecel tepat di tengah pertigaan, penjual air mineral dan ya*ult yang lalu lalang. Kini segalanya kucoba hilang.
Teman cerita hanya sebatas teman cerita saja, tak bisa menjadi teman cerita sepanjang malam, setiap malam, setiap hari, itu khayal yang kuaminkan selama ini. Tak mungkin terwujud sebab beda perasaan.
Andai ingatanmu masih tajam, bagaimana awal aku bercerita, membuka doa dengan mengetuk pintu hati hingga cerita-cerita itu masuk ke dalam sanubarimu. Tentu, aku bercerita dari hati, menanamkan cinta hingga tumbuh Renny seperti saat ini; Renny yang cinta dan dicintai Sayyidah Fathimah.
Dulu kau suka baca, Ren? Tidak, kan? Kau suka karya tulis karena dalam tulisanku kuselipkan hati buatmu yang tak pernah kau sadari dan tak mau kau sadari. Satu coretanku menjadi modal yang judulnya Alunan Biola Kematian yang menjadikanmu sebesar dan sesukses ini di dunia literasi, berbanding terbalik dengaku yang stagnan di zona nyaman. Ini yang membuatmu menolak hadirku?
Iya, aku menyadari kemiskinanku, ketidakmajuanku, keburukanku, dan segala yang telah kau hafal tentangku membuatmu semakin asyik menjauh. Kau yang berpikir ini jalan Tuhan yang terbaik dengan jauh dari orang sehina diriku. Benar katamu, semua yang pergi darimu segera terganti dengan yang lebih baik, dan kau sudah menemukannya sebelum kita berjauhan.
Iya, pendosa selamanya tak layak duduk bersanding dengan pengikut Sayyidah Fathimah. Seperti katamu, kau yang tak bisa asing dengan orang, kau yang tak bisa benci orang, kau yang tak bisa dingin dengan orang, tapi ketidakbisaan itu tak berlaku buatku. Kau yang tiba-tiba dingin, benci, hingga seasing ini.
Setidaknya aku bangga pernah menjadi jembatan yang mengantarmu sampai di titik ini, di titik di mana kau besar, berkumpul dengan orang-orang hebat setiap saat, tiap orang-orang hebat baru yang selalu jauh lebih baik dariku, yang memberi pelajaran jauh lebih banyak dariku.
Awalnya, kita duduk di Simpang Lima yang paling belakang, maju sedikit ke Tengah di Kanzus, maju ke depan di Unnes, lalu kau maju sendirian terdepan di convention hall MAJT, dan kini kau menjadi crew rihlah dakwah Ifah Fathimah Musawwa; aku semakin jauh terbelakang. Harusnya di convention hall MAJT cukup menjadi isyarat bahwa keberadaanku sia-sia. Sukses selalu, Ren!
Kadang aku merasa minder, kemajuanmu luar biasa. Dari bukan siapa-siapa, Tuhan memberi banyak keberuntungan untuk menjadi Renny yang luar biasa. Ruh itu junudun mujannadah, kukira ruh kita sama. Nyatanya, ruhmu ruh pecinta Fathimah dan ruhku ruh pemilik dosa berlimpah.
Jika tak ada bercerita dengan hati, mungkin perjalanan ke Simpang Lima takkan pernah ada. Malam itu begitu indah, Ren. Seakan tangisan kita terbingkai satu nada, air mata kita jatuh di tanah yang sama, meski takdir yang bicara bahwa kita berbeda.
Banyak sekali list pencapaianmu seperti yang kita bahas sepulang dari majelis Habib Ali Al-Jufri, list Simpang Lima dan Habib Ali bersama sudah kau centang. Aku hanya mengingatkan, hapus saja list ke Tarim bersama sebagaimana awal kenal, akupun sudah menganggap hal itu mustahil sebagaimana memilikimu.
Aku matre soal waktu, soal materi duniawi kau lebih tau, aku tak pernah peduli. Tak sopan bukan? jika protes pada Tuhan, mengapa kita dipertemukan untuk dipisahkan setelah kupupuk hati dan kesabaran menanti, untuk sorang aku yang membenci waktu.Â
Story terakhir belum kuhapus, tentang kata Eyang Husein bahwa waktu adalah sesuatu yang paling mahal, memberi waktu sama dengan memberi setengah kehidupanmu, dan aku paling merasakan hal itu. Boleh kembalikan empat tahunku, Ren?
Selain membenci waktu, aku juga membenci ingatanku. Aku ingat awal tentangmu dengan detail. Awal mengenal Habaib, awal mengenal rotib dan wirid, awal mendapat siwak dan cara memakainya, dan awal perjumpaan kita di balai desa.
Luki telah menjadi luka, doa yang kuaminkan menjadi yang paling menyakitkan; ketika namamu kuhapus paksa dari panjatan doa. Tak apa, meski sakit ini kunikmati sendirian, entah ini teguran atau siksaan, aku tak bisa menghapusmu dari ingatan, kau akan selalu kubanggakan meski menyesakkan. Akan tetap kunikmati luka ini hingga sembuh dengan sendirinya.
Mungkin, takkan kutemui teman cerita seindah dirimu, kaupun takkan menemukan aku di manusia lain. Tapi kau sudah menemukan manusia-manusia istimewa yang jauh lebih baik dan lebih indah daripada sekedar aku.
Jika pagi ini kau masih di majelis, pesanku jadilah pengikut Fathimah secara kaffah. Jangan kecewakan beliau dengan menghias hatimu dengan kebencian, keterasingan, memutus silaturrahim, membuat orang lain membuang waktu demi sesuatu yang sia-sia, sangat sia-sia, dan sesuatu yang tak pantas disandang di barisan Fathimiyah.
Jangan hiraukan aku yang tersiksa oleh kenangan, kehinaan, kesepian, dan kubangan dosa. Aku akan terbiasa dengan doa yang mungkin mengubah namamu menjadi sesuatu yang hanya kubanggakan, bukan kuaminkan.
Maaf untuk perkataan Sayyidina Ali tentang cinta yang harus diperjuangkan, bukan ditunggu seperti keyakinanmu. Hingga rasa itu menyebabkan keterasingan yang menjadikan komunikasi kita tak asik lagi.
Bahagia selalu, Ren!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H