Andai bisa kutulis surat untuk Sayyidah Fathimah, banyak yang ingin kusampaikan--terutama kamu. Menjaga kesucian cinta sebab cinta keluarga Fathimah adalah washilah untuk memilikimu seutuhnya.
Memang sempat ragu sebab harus menunggumu empat tahun ke depan sampai selesai kuliahmu. Tapi berkali-kali tidak cocok dengan orang baru, kukira itu isyarat Tuhan bahwa hanya kaulah jodohku. Nyatanya? Entah, Ren.
Di masa akhir semester, kuberanikan menyatakan perasaan dengan menaruh seluruh harga diri untuk bisa bercerita setiap malam tentang keluarga Fathimah seperti mimpi di awal kenal, rupanya aku menanam sesal.
Menolak diajak pergi saja sudah menyakitkan hatiku, kini kau menolak diajak beribadah menyempurnakan iman. Jangan kau tanya sakitnya, kau bilang masih bisa berteman, tapi percuma jika komunikasi kita tetap dingin seperti ini.
Akhir-akhir ini kau selalu berpesan--entah untuk dirimu sendiri atau semua orang--untuk berbahagia di segala situasi, di lingkungan baru, di orang-orang baru. Hey, di sini ada hati yang tidak baik-baik saja. Hatiku menjerit, Wahai Sayyidah Fathimah dan anak cucunya, wahai ayah Sayyidah Fathimah, dan wahai Tuhan Sayyidah Fathimah! Hatiku terluka karena orang yang selama ini kukenalkan cinta pada kalian, memilih orang lain.
Kau berharap bisa menemukan sosokku di manusia lain yang fisik dan materinya lebih dari aku, takkan pernah ada, Ren. Aku adalah aku dengan segala kekurangan dan kelemahan yang Tuhan berikan.
Kini yang dulu sering kau rasakan, akupun merasakan. Pergi ke majelis dan ingin banyak cerita tapi entah pada siapa? Teman-temanku satu persatu beristri dan tak bisa kuajak ngopi lagi. Yang kuingat hanya dirimu. Sama persis bukan? Ya, persis seperti rasamu; yang dulu.
Kupikir, jika kita menikah saja, banyak sekali majelis yang bisa kita jangkau baik jauh maupun dekat, pulangnya mengevaluasi hasil yang kita dapat selama di majelis seperti biasa. Tapi, Tuhan menjawab lain dari prasangka baikku pada-Nya, kau memilih mencari yang lain.
Aku juga malu jika bertemu pahlawanmu, namanya sering kusebut dalam doa sebagai ruh mertua. Pede sekali, bukan? Bayangkan jika besok aku bertemu dengan beliau, mau taruh di mana mukaku? Sering kubanggakan dirimu di hadapan pahlawanmu sebab cinta yang kita pupuk bersama.
Ingin rasanya protes lagi pada Tuhan, jika tidak dipersatukan ... untuk apa dipertemukan? Untuk apa menjaga kesucian cinta selama itu? Untuk apa mengenalkan taman surga jika setelah mengenyam indahnya, aku malah ditinggal pergi?
Tiap kali mengingatmu, asma-ku kambuh, Ren. Kesehatan benar dari diri kita, asal kita bahagia ... kita jarang sakit sebagaimana obrolan kita di tikungan kenangan dan di taman. Mata indahmu yang blur itu tetap menjadi kejoraku. Tapi nafas sesakku tetap menyesakkanku jika separuhnya kau bawa pergi.