Mohon tunggu...
Kiky Rifky
Kiky Rifky Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis untuk hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengais Sisa Senja

17 Desember 2022   21:39 Diperbarui: 17 Desember 2022   21:44 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagi Ujung Senja, kita adalah ufuk paling lapuk. Sebaris camar terbang meliuk, pekiknya mengusir kantuk yang sedari siang bertahta di pelupuk, mari ambil periuk lalu masukkan matahari senja; membungkuk, duduk, siapkan mangkuk. Mari berpesta semalam suntuk!

Dengarkan ceritaku seperti biasa! Ada lelaki memulung rindu paling ulung, ia mengais sisa jingga senja yang nyaris habis terkikis malam, gadis-gadis menjadi pencuri sekotak langit yang diperkecil seluas 6 inchi, lengkap dengan lembayung dan mentari yang sekarat diusir gulita.

"Kembalikan soreku!" teriak lelaki itu pada kerumunan di Ujung Senja. 

"Dia gila," kata salah seorang gadis yang menjadikannya pesan berantai.

"Jika kalian tidak mengembalikan langit yang kalian curi, kuadukan pada Laila bahwa separuh keindahannya dikantongi gadis yang bercita-cita memiliki wajah Laila."

Sekelompok gadis menangkap lelaki itu dan melemparnya ke masa lalu. Tiba-tiba lelaki itu berada di shof pertama sholat Idul Fitri dengan pakaian serba putih beraroma Oud Bukhiyyah. Terdengar jelas sang Imam membaca Surat At-Takwir hingga akhir dengan irama Hijaz yang bersifat sedih dan mengharukan.

Seusai mendengar khutbah 'ied, tak terasa rida' putih yang melingkar di lehernya ternoda oleh air mata bercampur itsmid yang menetes sejak sholat di rakaat pertama, lalu ... ia usapkan sekalian seluruh wajahnya dan berharap Jibril tak tau bahwa ia menangis, naif memang, sebab air mata bercampur itsmid menjadikan rida'nya bernoda hitam. Ia pulang bersama bayangan bahwa ia hendak makan opor ayam dan lontong bersama keluarga kecilnya.

"Namira ...! Ayah pulang, Nak!" teriaknya penuh girang di depan rumah kosong, ilalang di sekeliling rumah mencapai setinggi dada, seperlima daun pintu bagian bawah terkikis oleh rayap, kaca jendela seluas 3 m2 terbelah membentuk diagonal hingga bekas botol-botol mirasantika terlihat tegap seolah mengisyaratkan hormat, dindingnya yang tak lagi putih, seakan melototi lelaki itu melalui tiga huruf familiar segitiga, garis bengkok dua cekung berlawanan, dan cekungan seperti anak TK menggambar mangkuk.

Ia menoleh ke sekeliling yang tiba-tiba menjadi cahaya putih seluruhnya kecuali rumah itu. Di sebalik cahaya putih itu, ada seberkas cinta menjelma Laila dan Namira saling kejar berebut cawan.

Lelaki itu kasihan pada Namira anaknya, ia menangkap sebelah sayap Laila dan merebut cawan di tangan Laila. Cawan jatuh dan menumpahkan isinya. Ya. Cawan itu berisi air mata yang menghapus kehadiran Namira.

Kenangan demi kenangan dibonsai membentuk duka paling kerdil, ia terus hidup di sanubari yang mengawini sepi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun