Sebab hidup itu pendek, seni itu panjang.
Seperti yang dikatakan Cholil Mahmud, vokalis grup musik Efek Rumah Kaca saat menciptakan lagu sebagai kado pernikahan untuk Istrinya, Irma bahwa manusia itu pasti akan mati, sedangkan apa yang diciptakannya (seni) tak akan pernah mati. Jadi, betul jika menulis sebagai salah satu bentuk seni merupakan kerja untuk keabadian karena tulisan takkan mati, walu penulisnya telah mati.
Seni dapat menjadi medium yang dapat membuat manusia menghayati kembali posisinya di dunia ini. Tidak melulu urusan duit, harta, tahta, dan wanita, tapi intuisi atas kreativitas dna inovasi juga penting untuk tumbuh kembang pikiran.
Akhir-akhir ini, di Yogyakarta yang aman, tentram, sentosa ini diusik oleh isu-isu yang santer sedang berkembang mengenai paham radikalisme yang berujung pada terorisme. Paham radikalisme ditenggarai muncul dari dalam kampus.
Kampus menjadi media yang sangat ampuh untuk menyebarkan paham-paham radikal. Paham radikal disini dimaksud dan digarisbawahi sebagai paham yang berlawanan jalur dengan nilai dan norma yang berlaku. Paham radikal dapat berupa, fanatisme agama, fanatisme suku dan ras, fanatisme golongan tertentu, dan fanatisme lainnya yang berujung pada aksi merugikan, yakni terorisme.
Mengapa kampus menjadi media yang mudah disusupi, disuntikan ideologi radikal. Banyak pendapat yang berkelabat, tapi menurut saya hal ini muncul dari kurangnya ruang imajinasi, kreasi, dan rekreasi sebagai alternatif penyegaran pikiran bagi para mahasiswa tersebut dari jenuhnya rutinitas belajar-mengajar.
Pendapat ini memang sangat subjektif apabila mengacu pada kebutuhan lain sebagai alternatif melepas penat. Akan tetapi, tidak sepenuhnya pendapat itu lahir dari kekosongan.
Seperti yang dilansir dari laman Tribunnews, Muhtasar Syamsuddin, Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme DIY menyatakan "Kearifan lokal dapat menjadi peredam paham radikal dan terorisme."
Menurutnya tindakan seperti militansi, ekstrimisme, hingga eksklusifisme di DIY dinilai pada level sedang ke bawah. DIY dengan kearifan lokalnya dinilai mampu meredam segala aktivitas tersebut.
"Di penelitian kami yang ketiga, menjadi patut syukuri bahwa budaya di Yogyakarta sangat berperan untuk mencegah pengaruh radikalisme," ujarnya, Senin (6/10/2018) siang di Grhatama Pustaka.
"Ini bisa mencegah tindakan militansi, eksklusifisme, dan eksrrimisme. Hal seperti itu tidak kondusif untuk tumbuh di Yogyakarta," kata dia.
Dengan demikian, budaya dan kearifan lokal yang di dalamnya termuat kesenian menjadi alternatif untuk para pelajar dan mahasiswa agar terbebas dari jerat pemikiran radikalisme yang berujung terorisme.
Lebih jauh lagi, kesenian dapat mengasah lebali empati dan toleransi antarumat manusia. Nilai toleransi yang menjadi senjata utama yang dimiliki masyarakat Yogyakarta, sekan pudar kala mendengar berita baru-baru ini mengenai ujaran kebencian antarpemeluk agama yang berujung pada insiden yang merugikan.
Sebut saja, pengrusakan gereja, penyerangan pemuka agama, dsb yang beberapa waktu lalu menjadi isu santer yang dapat memecah belah warga Yogyakarta yang dikenal toleran dan cinta damai.
Budaya memang harus menjadi identitas yang tidak akan luntur sampai generasi kapanpun sehingga kebanggan akan tanah kelahiran takkan pudar hingga akhir zaman. Visi dan misi Bambang Soepijanto calon DPD RI Dapil DIY No urut 24 dapat disaksikan lebih cermat dan bersahabat di laman www.bambangsoepijanto.com Agar sedulur sekalian lebih dapat memahami, meresapi, dan memaknai program kerja Bambang Soepijanto untuk Yogyakarta di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H