"Tersenyumlah, Ganteng. Jangan senyum yang terakhir." Bayi dirangkul lagi. Dininabobokan. Dibawa berkaca. Berkeliling kamar dinyanyikan. Didekatkan ke Yudha.
Jari-jari Yudha gemetar mengusap pipi bayi. Mengusap pipi Sari. Matanya memandang kosong, tak berbeda dengan matanya.
"Kalau nyawa berharga. Akang akan bertaruh nyawa, untuk anak kita." bisiknya.
"Dengan nyawa Sari juga, Kang."
Yudha meyakinkan perangai Sari di ujung kalimat. Tersenyum seperti mengerti kepada getar hatinya yang sedang berkecamuk, seperti sependirian, seperti mengajak.
"Nggak ada apa-apa lagi selain nyawa." kata Sari ke bayi.
Neon bergoyang-goyang. Seperti terbentur suara-suara riuh dari jalan. Kamar digoyang gempa. Jam pecah. Jarum-jarumnya menikam cecak yang merayap di mana-mana. Darah cecak membalur tembok. Cecak berjatuhan di mana-mana. Yudha menggendong Sari mendekati jendela. Bersenandung bersama. Meninabobokan bayi. Menerawang jalan, seperti menerawang rumah impian. Menerawang langit, membayangkan lahan yang nyaman.
Jendela loteng tingkat dua. Tiga raga loncat. Jatuh. Tiga nyawa seketika melesat entah ke mana. Jalan yang hampir hangus oleh suara riuh sekejap sunyi, sangat sunyi. Tak berapa lama riuh lagi hampir mendidih.
(Judul Asli : Peuting Eta, Cerita Pendek Mini berbahasa Sunda karya Toni Lesmana. Dari buku Kumpulan Carpon Mini Sunda Ti Pulpen tepi ka Pajaratan Cinta. Diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Mekar Parahyangan dan Klub Pecinta Sastra Bandung bekerja sama dengan PT Kiblat Buku Utama, Bandung. Cetakan Pertama September 2002. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Wahyu Barata).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H