"Tergiur sama siapa? Tergiur kayak Kang Pepen sama Teh Mira?"
"Aaah Lia  Lia. Dari tadi Teh Mira lagi Teh Mira lagi. Nggak ada yang lainnya?"
Lia tertawa.
"Buang aja ini teh?"
"Buang saja. Buat apa disimpan juga. Nemuin yang aneh-aneh lagi nggak?"
Lia menggeleng. Kusnadi duduk di sudut meja. Melihat-lihat ke pinggir. Ke tembok yang sudah belang-belang hitam, sudah terlalu lama tidak dikapur. Di sisi sebelah barat ada lukisan menggantung. Lukisan pemandangan. Sawah tergenang, tampak baru selesai dicangkul. Semakin jauh semakin samar-samar. Gunung tampak agak biru tipis.
Mengapa jadi ingat ke kampung. Dulu sewaktu kanak-kanak pernah mengalami hidup di tempat seperti itu. Sore-sore luntang-lantung. Senang melihat bulu-bulu padi mencuat putih-putih di pematang. Sekali dihentak beterbangan. Tetapi tak pernah jauh. Terbang dari pematang ini hinggap lagi di pematang sebelah sana. Sepertinya hanya sekadar  ingin menjauhi manusia.
Sudah lama tidak ke kampung. Katanya sekarang ingin melihat burung di pinggir kampung saja susah. Mungkin kampungnya sudah ramai. Manusia bertambah banyak. Sampai menyingkirkan binatang-binatang dari habitat tempat tinggal mereka. Menurut sensus juga penduduk Indonesia terus bertambah. Beranak pinak.
Meskipun ada program Keluarga Berencana (KB). Tetapi katanya dulu juga sudah ada KB. Caranya saja yang berbrda. Kalau sekarang harus memakai pil stsu IUD, dulu sederhana saja, diurut oleh dukun beranak, untuk tambahannya paling-paling memakan pepes jantung pisang.
Dari kantor mengangkut tumpukan kertas. Itupun semua dipilih dulu. Ditaruh saja di kursi.
"Nanti Lia bantuin beresin lagi." kata Lia sambil merapikan tumpukan majalah, guntingan koran, dan beberapa naskah.