Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Langkah-langkah Meningkatkan Kecerdasan Emosi

29 April 2021   20:31 Diperbarui: 29 April 2021   20:31 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dua marketing saya Rio dan Amung, tingkat kecerdasan mereka relatif sama. Kesempatan untuk pengembangan diri melalui kuliah sore untuk meningkatkan kompetensi lebih banyak dilakukan Rio, sementara Amung karena kesibukannya menjual tidak mempunyai kesempatan serupa.

Bertambah luasnya pengetahuan Rio tak sebanding dengan caranya membawa diri di tengah-tengah tim kerja. Dia sering merasa serba tahu segala hal dan memotong pembicaraan tanpa mengenali dulu isi pembicaraannya. Kami semua dia anggap anak bawang saja yang kurang pengetahuan dan skill. Begitu pun di hadapan para nasabah. Banyak keluhan nasabah terhadap pelayanan Rio karena masalah sepele, seperti menunjukkan raut wajah tidak bersahabat saat nasabah mengeluh, membanting telpon saat transaksi ditunda, dan sebagainya. Sehingga Rio semakin tidak disenangi nasabah maupun rekan-rekannya.

Di lain pihak, Amung yang tidak mendapat pengetahuan tambahan untuk mengembangkan diri, berperilaku berbeda dalam membina relasi. Dia lebih banyak mendengarkan daripada banyak bicara.  Baginya nasabah adalah orang yang harus didengarkan dan dilayani sungguh-sungguh. Bahkan di hadapan rekan-rekan kerja dan pemimpinnya, dia memposisikan diri sebagai pelayan.

Amung membagi waktu secara proporsional antara kepentingan pribadi dan perusahaan. Ketika memegang dana hasil transaksi, dia mampu membuat pos tersendiri agar tidak berbaur dengan dana lainnya. Di unit kerjanya, Amung adalah marketing yang disenangi. Sehingga dalam waktu tidak terlalu lama dia dipromosikan menjadi supervisor marketing, mendahului Rio.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi (Emotion Quotient, EQ) lebih menonjol.  Daniel Goleman (1999) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi (EQ) merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

EQ mempunyai kemampuan berbeda, tetapi akan saling melengkapi dengan Intelligence Quotient (IQ), seperti yang sudah kita kenal. Tetapi tidak selalu berjalan paralel. Tidak semua individu mempunyai IQ atau EQ menonjol.

Kecakapan emosional merupakan hasil belajar yang didasarkan kecerdasan emosi dan menghasilkan kinerja menonjol dalam pekerjaan.

Kecakapan emosi terbagi ke dalam kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Kecakapan pribadi akan menentukan bagaimana kita mengatur diri sendiri, meliputi kesadaran diri self awareness), pengaturan diri (self regulation), dan motivasi. Kecakapan sosial sangat berperan saat kita berhubungan dengan orang lain, meliputi empati (emphaty) dan ketrampilan sosial (social skill). Seorang karyawan yang mempunyai kecakapsn emosi menonjol akan menunjukkan perilaku dengan baik, terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Dia akan menyadari posisinya saat ini dan mampu memimpin dirinya sendiri dalam menuntaskan pekerjaannya meskipun pemimpinnya tidak ada di tempat.

Cara dia berhubungan dengan orang lain, baik dengan relasi bisnis atau relasi biasa menunjukkan cara pengelolaan diri ( self management) yang proporsional. Seorang pemimpin yang mempunyai kecakapan emosi yang proporsional akan mampu membagi "hidup" kepada anak buahnya sebagai model efektif untuk menggerakkan roda organisasi atau unit kerja.

Secara tidak langsung kemampuan diri sendiri menjadi teladan efektif bagi anak buahnya untuk menemukan insight bagaimana cara pemberdayaan diri yang optimal. Pemimpin yang mempunyai kecakapan emosi akan lebih banyak bekerja dan menginspirasi anak buahnya daripada sekadar memerintah dan menuntut target pencapaian hasil.

Para ahli menemukan sistem pola asuh banyak berkontribusi terhadap perkembangan kesadaran emosi seseorang. Faktor kegagalan yang berturut-turut juga akan mempengaruhi EQ seseorang. Faktor lingkungan tempat seseorang hidup dan berelasi memberikan warna tersendiri bagi kecerdasan emosi seseorang.

Pada waktu EQ menjadi fokus utama dalam pemberdayaan karyawan untuk pengembangan karier maupun pengembangan pribadinya menjadi sesuatu yang berbahaya dan menjatuhkan kalau dia tidak menyadari bahwa EQ-nya dangkal dan bangga dengan gelar atau pengetahuan yang dimilikinya (IQ). Sehingga dibutuhkan langkah-langkah untuk menyadarkan dan meningkatkan kecerdasan emosi di tempat kerja.

EQ tidak permanen, kita bisa mengubahnya (meningkatkannya) dengan langkah-langkah :

1). Mengetahui kekuatan dan kelemahan diri, terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Caranya antara lain dengan meminta umpan balik (feed back) dari orang lain terutama dari rekan terdekat mengenai perilaku kita selama ini. Perilaku yang proporsional kita pertahankan dan tingkatkan. Dan segala kekurangan maupun sikap tidak profesional sebagai karyawan atau pemimpin harus ditinggalkan.

2). Bergaul dan berelasi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan karakter. Kita sering terperangkap dalam relasi yang menyenangkan, hanya bergaul dengan orang-orang sefaham, bebas konflik, alergi dengan perbedaan pendapat.

3). Berkomitmen terhadap tugas-tugas yang telah disepakati bersama dan lakukan dengan konsisten. Coba juga memenuhi target (misalnya target penjualan), berusaha mengatur diri dengan optimal. Contoh, target 50 account buat kesepakatan targetnya menjadi 60 account lebih. Jangan cepat puas dengan pencapaian target yang sudah disepakati. Usahakan melebihinya, sehingga kita mendapat nilai lebih dalam performance appraisal.

4). Kurangi waktu untuk sibuk mengurusi orang lain, apa lagi gemar menyebar rumor dan gosip di kantor, yang akan menyerap energi yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Akibatnya pendapatan kita berkurang.

5). Yang benar katakan benar yang salah katakan salah, berdasarkan batasan-batasan dan etika perusahaan yang profesional. Karyawan atau pemimpin yang cari aman untuk menyelamatkan kedudukan dan fasilitas-fasilitas yang diterimanya akan membiarkan kondisi yang merusak tatanan perusahaan tetap berlangsung, menunjukkan kecerdasan emosinya sangat dangkal.

6). Terus belajar baik melalui pengalaman pekerjaan sehari-hari, membaca buku pengembangan diri, mengikuti pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan soft skill.Tidak ada kata sudah habis waktu untuk belajar, sebab dengan media ini kita dapat memposisikan diri dalam self continous improvement.

7). Mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta dalam doa permohonan ampun dan ucapan syukur. Dengan segala kerendahan hati memohon ilmu, rizki, berkah, lindungan, dan keridhoan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun