Mazaya mengernyit bingung, "Gue sih tiap jengukin elo bawaannya pengen jitak. Ngapain juga Gue ngomong lembut gitu. Lagian pulang kemana juga?"
Nazelo menampilkan cengirannya sembari menatap ke langit-langit kamar inapnya itu. Pandangannya menerawang, entah apa yang tengah dipikirkannya itu.
"Apa yang dimaksud pulang itu balik ke Tuhan, ya?"
Gerakan tangan Mazaya terhenti begitu mendengar pertanyaan yang dilemparkan oleh pria bertitel sahabatnya itu. Hatinya diremat dan jantungnya berdegup dengan kencang, begitu sakit dan menghadirkan rasa mual. Karamelnya beralih menatap jelaga malam milik Nazelo dengan sorot sendu, "Nazelo, jangan ngomong gitu!"
Nazelo meledakan tawanya, kedua tangannya Ia ulurkan untuk menarik kedua pipi lawan bicaranya kearah yang berlawanan, menghadirkan raut wajah yang lucu dan begitu menggemaskan, "Utututu Yaya marah. Hahaha lagian kan Gue cuma nanya, becanda juga."
"Janji satu hal."
"Apa?" tanya Nazelo sembari menatap Mazaya hangat.
"Jangan pernah nyerah, kita masih punya cita-cita gelar karpet di Burj Khalifa."
Tersenyum tulus, Nazelo menjawab sembari menyilangkan tangan kanannya didepan jantung, "Iya, Mazaya. Janji."
.
Mazaya selalu bertanya-tanya dalam hatinya, kemana akhirnya Ia dan Nazelo berlabuh. Apakah dititik yang membahagiakan yang menghadirkan tangis haru atau malah terdampar disisi dimana raungan serta isakan tangis yang sarat akan kesakitan memenuhi akhir kehidupan mereka. Meski begitu, Mazaya hanya bisa berharap dan terus berdoa. Kemungkinan sekecil apapun akan Ia semogakan untuk yang terbaik bagi Mereka.