Selama sebulan ini setiap sore sepulang glidik, aku pergi ke tepian sungai untuk menebang bambu.
Bambu itu kugunakan untuk memperkokoh belakang rumahku yang hampir rubuh akibat terjangan angin saat hujan badai.
Kekuatan angin itu lebih besar dari pada kekuatan rumah tuaku itu, maklum lah orang saja semakin tua pasti akan semakin rentan sakit.
Apalagi rumah itu sudah lama ditempati, semakin tua juga akan mudah roboh jika bergelud dengan angin badai.
Kira-kira begitulah kondisi hunianku. Istana yang sedari kecil kutinggali bersama orang tuaku.
Di hantam keadaan seperti itu membuatku harus kerja extra tiada henti, bahkan tak ada waktu untuk tidur cukup.
Usia masih muda tapi kelopak mataku sudah menghitam dan mengkerut. Terlalu banyak beban yang kuemban.
Hampir setiap hari dan saat kerja diriku terus melamun dalam durasi lama. Sampai kerap kena tegur mandorku.
Diriku dan mandorku sudah seperti saudara. Tak canggung diriku langsung mengutarakan semua beban pikiranku.
Dengan mata berkaca-kaca, kami berdua saling meneteskan air mata haru. Mandor yang selama ini mengira diriku baik-baik saja, kenyataannya tak seperti yang ia bayangkan.
Berbagai wejangan dari atasanku itu kudengarkan dengan seksama, dengan wajah memelas dan mata sembab berkaca-kaca.