Pendidikan hakikatnya memiliki peranan penting bagi perkembangan setiap individu untuk mencapai kebahagian dan kesejahteraan hidup. Keberhasilan pendidikan dapat mencerminkan masyarakat yang memiliki pola pikir maju, sehingga mengarah pada sifat-sifat konstruktif. Era baru pendidikan kini memberikan kebebasan bagi pendidik dengan pendekatan pembelajaran yang berbeda dalam membuat rencana pembelajaran dan penilaian berdasarkan karakteristik dan kebutuhan peserta didik. Paradigma ini menekankan pengalaman dunia nyata dan pembelajaran yang berpusat pada siswa (Insani, & Munandar, 2023).
Guru perlu menyadari bahwa setiap individu merupakan pribadi yang unik dengan latar belakang karakteristik dan potensi yang dimiliki sangat beragam. Keunikan yang melekat pada siswa meliputi gaya belajar (gaya belajar auditori, visual dan kinestetik), kemampuan akademik (tinggi, sedang, rendah), kecepatan memahami pelajaran (ada siswa yang memahami pelajaran dengan cepat, ada yang sedang, ada pula yang lensa), penulis. Self-efficacy (rendah, sedang, tinggi), minat (tentu saja siswa mempunyai minat yang berbeda-beda pada beberapa mata pelajaran, misalnya matematika, seni budaya, bahasa, dll), kepribadian (introvert, ekstrovert, dan ambivert), termasuk kondisi sosial/ekonomi (tinggi, sedang, rendah) (Wulandari, 2022).
Menghadapi siswa dengan kemampuan yang beragam merupakan tantangan bagi guru untuk terus beradaptasi dan terus belajar merespon kejadian sesuai dengan dinamika kelas yang beragam. Sebagai contoh saja, jika berbicara tentang gaya belajar siswa di kelas, setiap siswa tentunya mempunyai cara belajar yang unik dan pengalaman yang berbeda-beda. Misalnya saya menemukan bahwa siswa dengan gaya belajar visual dan kinestetik difasilitasi dalam pembelajarannya hanya dengan menggunakan metode konvensional (metode ceramah). Akhirnya siswa tersebut tidak mencapai tujuan pembelajaran yang semestinya, mereka asyik menggambar tokoh-tokoh kartun dan scroll media sosial dibandingkan mendengarkan penjelasan guru. Selain itu, latar belakang siswa yang berbeda, misalnya siswa yang berasal dari daerah pegunungan mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang konsep-konsep tertentu dibandingkan dengan siswa dari pesisir, begitu pula sebaliknya. Perbedaan bahasa juga dapat menjadi hambatan dalam komunikasi dan pemahaman materi pelajaran. Keterbatasan sumber daya di setiap sekolah juga berbeda-beda, tidak semua sekolah memiliki sumber daya dan fasilitas memadai dalam menerapkan pembelajaran yang mengakomodir beragam kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, guru harus merancang pelaksanaan pembelajaran yang memperhatikan keberagaman siswa dan menjamin seluruh siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran (Puspitasari, et al., 2024).
Berdasarkan kenyataan tersebut, Penting bagi pendidik untuk memiliki kemampuan merancang pembelajaran agar dapat merancang dan melaksanakan pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didiknya. Pada prosesnya dapat juga menggunakan pendekatan pengajaran yang lebih memperhatikan kebutuhan siswa. Pemenuhan target kurikulum di tengah keberagaman siswa memerlukan pendekatan yang adaptif dan inklusif. Beberapa pendekatan yang relevan adalah pembelajaran berdiferensiasi, prinsip Understanding by Design (UbD) dan pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT). Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pendekatan pembelajaran yang mengenali siswa dan merespons cara belajarnya berdasarkan perbedaan (Gusteti, & Neviyarni, 2022).
Pendekatan Understanding by Design (UbD) merupakan pendekatan rancangan pembelajaran yang berfokus pada pengalaman belajar yang efektif dan hasil atau tujuan pembelajaran yang jelas dan terukur. Konsep ini bersifat fleksibel dengan mendorong penggunaan berbagai metode dan media pembelajaran yang memungkinkan guru untuk mengakomodasi berbagai gaya belajar dan kebutuhan individu (Yani, & Susanti, 2023). Penilaian pada pendekatan UbD membantu guru menciptakan penilaian yang mencerminkan kemampuan siswa dalam menerapkan ilmu pengetahuan. Penilaian ini disusun dengan memperhatikan relevansi dengan standar kurikulum agar memperoleh umpan balik yang berguna untuk pengembangan berkelanjutan. UbD juga sangat menyoroti pentingnya refleksi setelah pembelajaran sebagai elemen untuk mengukur efektivitas kegiatan pembelajaran berupa pendekatan model dan metode pembelajaran yang digunakan sudah sesuai atau tidak dan memastikan semua siswa sudah mencapai target kurikulum dan tujuan pembelajaran (Nurrahma, 2024). Hal ini membantu menciptakan lingkungan belajar yang interaktif dan responsif terhadap keberagaman. Sedangkan penggambaran pembelajaran diferensiasi adalah cara berpikir tentang belajar mengajar yang menyesuaikan pengajaran berdasarkan kebutuhan siswa dan cara mereka belajar (Tomlinson, dalam Wardani, 2024).
Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang mengakomodasi, dan mengakui keberagaman siswa berdasarkan kebutuhan belajar, kesiapan, minat, dan kemampuan. Perangkat pembelajaran yang digunakan cenderung mengukur hasil belajar, gaya belajar, dan minat siswa (Himmah, & Nugraheni, 2023). Tujuannya adalah agar pertimbangan terhadap kebutuhan individu setiap siswa memungkinkan mereka untuk maju atau melampaui standar yang diharapkan. Enam jenis diferensiasi belajar meliputi : (1) Diferensiasi konten, guru dapat membuat materi atau konten untuk pembelajaran berdasarkan gaya belajar atau tingkat pemahaman siswa, seperti menyediakan video pembelajaran intrusional untuk siswa dengan gaya belajar audio-visual, model atau objek untuk siswa dengan gaya belajar kinestetik. (2) Diferensiasi proses, menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi, seperti presentasi, diskusi kelompok, gamifikasi, penggunaan teknologi, atau praktik yang disesuaikan dengan gaya belajar setiap siswa (Purnawanto, 2023). (3) Diferensiasi produk, guru memberikan kebebasan untuk memilih hasil atau produk akhir dari materi yang telah dipelajari kepada siswa. Misalnya, essay, infografis, video/vlog, recording, mind map, presentasi, dan lain-lain (Susilo, et al., 2024). (4) Diferensiasi lingkungan, guru dapat mengatur lingkungan belajar agar suasana kelas mendukung berbagai cara belajar siswa, seperti pengaturan format tempat duduk, penyediaan dan penggunaan media atau alat bantu yang dibutuhkan (McTighe, & Wiggins, 2012). (5) Diferensiasi waktu, memberikan fleksibilitas pengumpulan tugas agar peserta didik dapat mengerjakan dengan kecepatan masing-masing tentunya dengan pengawasan tegas menghindari terjadinya kelalaian (Gentry, & Owen, 2004). (6) Diferensiasi keterampilan, menyesuaikan tingkat kesulitan materi dan tugas dengan memberikan tambahan tugas bagi mereka yang lebih cepat atau dapat memberikan tugas pada tingkat yang lebih tinggi untuk menggali potensi siswa yang memiliki kemampuan mahir atau diatas rata-rata, (Richard, & Rodgers, 2014). Dengan penerapan berbagai macam diferensiasi ini, guru dapat memenuhi target kurikulum dengan lebih efektif namun tetap memperhatikan kebutuhan siswa.
Penilaian yang berkelanjutan dan beragam seperti asesmen diagnostik dapat berisi pertanyaan mengenai latar belakang siswa dan pertanyaan materi prasyarat (wawancara, angket, tes tulis, penggunaan teknologi quiziz, blooket, kahoot, dan lain-lain), penilaian formatif (tugas harian, kuis, diskusi kelompok) dan penilaian sumatif (ujian praktik, tes tulis, proyek akhir) kemudian memberikan pengayaan atau remedial bagi siswa yang belum mencapai tujuan pembelajaran sebagai penguatan terhadap materi. Penilaian yang beragam ini membantu guru untuk menilai berbagai aspek kemampuan siswa bukan hanya dari hasil akhir saja (Mahfudz, 2023).
Pendekatan yang menghargai keberagaman budaya siswa dan praktik pengajaran yang responsif terhadap latar belakang budaya siswa juga sangat penting dalam pemenuhan target kurikulum. Pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT) mendorong guru untuk mengenali nilai-nilai, pandangan, pengalaman, dan perspektif budaya yang berbeda yang dibawa siswa dalam kelas (Taher, 2023). Hal ini memungkinkan guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif karena siswa merasa diakui, terwakili, dan dihargai atas perbedaan budaya, etnis, dan pengalaman mereka. Dalam pembelajaran, prinsip pengajaran responsif budaya (CRT) menekankan pentingnya integrasi yang kuat antara budaya siswa dan materi pembelajaran untuk meningkatkan relevansi dan pemahaman terhadap materi (Sari, 2024). Pada prosesnya, pendekatan CRT juga bersifat fleksibel dan responsif dengan memadukan berbagai gaya belajar siswa dan pemanfaatan sumber daya yang beragam. Pendekatan ini juga dapat membangun relasi positif antara guru dengan siswa, memungkinkan guru dapat mengetahui kekuatan dan tantangan mereka dari latar belakang budaya (Hardiana, 2023). Culturally Responsive Teaching (CRT) merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa karena mendorong inisiatif siswa untuk terlibat dalam proses pembelajaran dan menciptakan lingkungan pembelajaran yang adil dan positif dengan diberikan ruang atau kesempatan untuk siswa mencapai keberhasilan mereka tanpa memandang latar belakang budaya siswa (Rahmawati, Apriandi, & Purwaningtijas, 2024). Â Â
Â
Daftar Pustaka