Agata pun maju, sedang temannya di belakang kebingungan, kok bisa dia dipanggil.
"Iya bu, saya, kenapa?" Ucapnya penuh sopan dihadapan penguji tersebut
"Mmm gini, maaf kamu tidak bisa melanjutkan ke proses selanjutnya. Silahkan keluar ke pintu sebelah situ ya." Dengan nada acuh
"Maaf gimana bu? Boleh saya tahu alasannya? Kenapa begitu ya bu?" Agata dengan rasa herannya karena tanpa alasan yang jelas
"Begini, sesuai kebijakan disini. Maka tidak bisa." Ucapnya mulai dengan nada mengusir
"Baik buk, begini maksud saya, alasannya itu apa? Kebijakan seperti apa buk, kalau boleh saya tahu." Agata mulai jengkel dengan berbelitnya si penguji ini.
Apakah salah seorang calon karyawan menanyai alasannya ditolak bekerja, bukankah sebuah bentuk kewajaran bahwasannya sebagai bentuk pembelajaran untuk kedepan apa yang harus diperbaikinya.
"Iya, maaf ini sudah sesuai kebijakan sini, kami tidak bisa memberitahunya. Silahkan bisa keluar ke arah sana." Tukasnya dengan Agata
Jujurly perasaan Agata berkecamuk, apakah sopan seorang perekrut memiliki jiwa seperti itu, bukankah dia juga membutuhkan seorang karyawan, tidakkah lebih elok jika berbicara dengan nada sopan dan baik, padahal ini tentang bekerja.
Agata pun keluar dengan lesu, temannya menatapnya iba. Yang keluar hanya agata seorang. Dia menyusuri jalan dengan lemas dan dilihat banyak orang. Hampir setengah menangis namun tertahan oleh tanda tanya yang menghantuinya. Sebab, ia merasa dirinya cerdas dan semuanya sudah dijawab sesuai ketentuan yang berlaku. Agata kebingungan jalan keluar sebelah mana karena fikirannya sudah hampir payah lemas. Akhirnya, dia menanyai orang yang sedang diluar, dan menuju arah pintu keluar. Semua memandanginya, agata dengan wajah angkuhnya menatap sangar hanya untuk menutupi kesedihannya. Satpam juga memandanginya. Berjalan keluar, kemudian duduk ditepi musholah.
Seorang bapak-bapak yang tadi pagi ditemuinya berkata "kenapa? Kok sudah keluar? Yang lainnya mana." Tanyanya penasaran