Mohon tunggu...
Kiki Isbianto
Kiki Isbianto Mohon Tunggu... Lainnya - penulis lepas

"Biographical Info ini tidak boleh kosong"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bercerai dan Berbahagia

11 Januari 2014   22:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:55 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah pendudukan Jepang berakhir, pada 1 April 1946 Britania Raya memaksakan pembentukan Malayan Union. Guna menyatukan sebelas negri di tanah semenanjung Melayu. Untuk memudahkan kelanjutan pemerintahan koloni British Malaya. Saat itu, mayoritas rakyat semenanjung menentang Union ini, lalu berubah menjadi Federation of Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu pada 1 Februari 1948. Sembilan tahun kemudian, pada 31 Agustus 1957, Persekutuan ini merdeka dalam lingkungan Commonwealth of Nation. Pada 16 September 1963, Persekutuan ini beserta Singapore, Sarawak, Borneo Utara (Sabah dan Labuhan) bersepakat bergabung dalam Federasi Malaysia. Merasa senasib mantan koloni Britania Raya, kalee yak ? Mungkin juga untuk menggalang kekuatan, guna menghadang caplokan tetangga di selatan, yang waktu itu rame-ramenya menyerukan.. ganyang-ganyangan.. Dua tahun kemudian, Federasi Malaysia ini bercerai. Semenanjung Malaya, Sarawak, Sabah dan Labuhan tetap bernaung dalam kesatuan Malaysia. Singapore me-merdeka-kan dirinya 7 Agustus 1965. Penyebab perceraian ini karena perbedaan ideologi dan pendapat. Mulai dari politik, ekonomi, finansial hingga kebijakan sosial. Setelah perceraian ini, Singaporean bekerja keras untuk menghidupi dirinya. Hasilnya dapat kita saksikan sekarang. Superb gilang gemilang. Negri mungil di Asia Tenggara ini sukses secara fisik materi, kenyamanan hidup dan kemandirian rakyatnya. Kesuksesannya ini mengalahkan raksasa-raksasi Asia. Bila Bhutan punya Gross Domestic Happiness (GDH) untuk mengukur kebahagiaan rakyatnya.  Singapore jelas matok GDP puluhan kali diatas Bhutan. Dan kita semua tau, Gross Domestic Product Singapore tertinggi kedua di Asia, setelah Jepang. Tajir mah jelas, namun.. berbahagiakah Singaporean ? Kilas balik ke tahun 1963, demi kerharmonisan Federasi Malaysia, kementrian kebudayaan Singapore mengusahakan lagu propaganda Happy and Free. Mendendangkan impian dan harapan akan kebahagiaan dan kebebasan, bila kesatuan Federasi berjalan sempurna. Melodinya nyomot lagu Caca Marica.

13894530157769364
13894530157769364
50 tahun kemudian, pada Singapore Biennale 2013 – 2014, lagu ini berkumandang lagi. Berdampingan dengan tebaran poster memperingati setiap 10 tahun “kesatuan” 2 jiran ini.. Lalu bertanyalah Boo Junfeng - seniman Pulau Singa, penggagas seni instalasi Happy and Free ini - : apa yang akan terjadi, bila Federasi Malaysia tetap bersatu hingga kini ? Apa sungguh Happy and Free ? Bagaimana dengan identitas Singaporean ? Apa implikasinya saat menghadapi berbagai masalah yang kian ruwet belakangan ini ?
1389453109511853417
1389453109511853417
Jawaban apapun, belum tentu dapat mewakili keberagaman Singaporean. Seperti jirannya diutara, mayoritas Singaporean adalah Chinese, Malay dan Indian. Ketiganya memiliki tradisi, budaya, prinsip dan gaya hidup, serta cita-cita masa depan yang tidak seragam. Bila sekarang mereka bertiga bersama pendatang lain di pulau kecil itu, beserta segala keruwetan sehari-harinya, dapat hidup berdampingan dengan sepatutnya, dan secara fisik materi berkecukupan.. buat apa lagi merisaukan GDH nya Bhutan. Lain ladang lain belalangnya.
138945314034476114
138945314034476114
Saat bercerai dari Federasi dan mengumumkan kemerdekaannya dulu, Lee Kwan Yew memang sempat meneteskan air mata. Nyesek pilu juga beliau, karena Federasi yang diyakininya bakal mensejahterakan Asia Tenggara bubaran… aduuh.. cup cup.. Pak Lee, satu saat nanti anda akan berujar, bercerai danberbahagia, terbukti disini. Park Avenue Rochester, Singapore. 28 Dec 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun