Mohon tunggu...
H Nana Suryana drs
H Nana Suryana drs Mohon Tunggu... Editor - Penulis Freelance pemerhati masalah sosial ekonomi

Telco Employee, Penulis freelance, fesbuker, twitter, kompasianer, Blogger http://NanaSuryana.Com...

Selanjutnya

Tutup

Nature

Indonesia Bebas Emisi Karbon, Mungkinkah? (Bag-1)

9 November 2021   05:29 Diperbarui: 9 November 2021   06:01 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: news.detik.com

#AyoDietKarbon, ditulis dalam rangka memperingati Hari Habitat Dunia (HHD) dan Hari Kota Dunia (HKD) pada Bulan Oktober)


Masih ingat belasan orang meninggal saat terjebak macet dalam arus mudik tahun 2016 silam? Salah seorang di antaranya diberitakan keracunan karbon dioksida (CO2) setelah mobil yang ditumpanginya terjebak macet selama berjam-jam menjelang pintu keluar tol Brebes Timur.

Itu adalah sejumput kisah tentang betapa berbahayanya zat karbon itu. Kalau kita tak waspada mengantisipasinya, maka nyawa taruhannya. Kesehatan kita memang bisa terancam kalau sering terjebak kepadatan lalu lintas.

Sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa risiko serangan jantung meningkat sekurang-kurangnya satu jam setelah seseorang terjebak kemacetan. The New Zealand Herald melaporkan bahwa gas buang dari knalpot kendaraan, kebisingan, dan stres kemungkinan merupakan penyebab utama melonjaknya risiko serangan jantung.

Tren peningkatan konsentrasi CO2 menunjukkan adanya peningkatan suhu. CO2 dan suhu meningkat tajam sejak tahun 1950-an. Hal ini dikarenakan, industri mulai tumbuh pesat sejak berakhirnya perang dunia ke-2. Peningkatan jumlah industri dan kendaraan bermotor meningkatkan juga emisi CO2 ke atmosfer. Selama lebih dari 140 tahun terakhir, penebangan hutan, pembakaran bahan bakar fosil, telah menaikkan konsentrasi di atmosfer sebesar hampir 100 ppm. Peningkatan suhu telah memicu perubahan iklim yang drastis. Bisa menimbulkan bencana alam secara drastis, seperti angin ribut, topan, dan banjir.

Mengingat akan bahaya emisi karbon bagi kesehatan dan lingkungan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai salah satu pembicara dalam dialog anggota C40 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusulkan program untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan upaya dalam pengurangan emisi karbon.


"Pemerintah kota memiliki tugas untuk menyediakan lingkungan tempat tinggal yang layak huni bagi para warga kotanya. Hal ini termasuk dengan mengatasi dampak perubahan iklim dengan melakukan upaya untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh kota-kota," ujar Anies Baswedan dalam forum yang bertajuk 'Dialogue Between C40 Mayors and UN Secretary General-Advancing Carbon Neutrality and Resilent Recovery for Cities and Nations, pada April silam.

Diperkirakan sebanyak tiga juta orang meninggal setiap tahun akibat pencemaran udara, sebagian besar berasal dari kendaraan bermotor. Menurut laporan Associated Press, 10 persen infeksi saluran pernapasan pada anak-anak  diakibatkan oleh pencemaran partikel-partikel yang sangat halus. Angkanya lebih tinggi lagi di kota-kota yang lalu lintasnya padat. Sebut saja kota Jakarta dan beberapa kota besar lainnya yang padat lalulintas, hingga tak bisa menghindar dari ancaman emisi karbon.

Tak cuma bisa mengancam jiwa. Ternyata bahaya juga terhadap lingkungan bumi. Nitrogen oksida dan sulfur dioksida dari knalpot kendaraan turut menyebabkan hujan asam, mencemari air, membahayakan kehidupan di dalamnya, dan merusak beragam tanaman. Yang memperparah situasinya, kendaraan mengeluarkan banyak sekali karbon dioksida. Ini adalah gas yang terutama ditengarai sebagai penyebab utama pemanasan global. Sebagai ancaman serius terhadap planet Bumi.

Berdasarkan laporan dari United Nations (UN) - Habitat, 70% emisi gas rumah kaca (GRK) berasal dari aktivitas perkotaan. Data tersebut menjadikan pemerintah daerah sebagai global hotspot dari perubahan iklim.

Pemanasan global berakibat pada mencairnya es di kutub bumi sehingga berakibat naiknya permukaan air laut dan perubahan iklim di bumi. Efeknya menyebabkan kekeringan, serta peningkatan terjadinya bencana alam seperti banjir, badai dan kebakaran hutan.

Berbagai upaya penyelamatan bumi dari bahaya emisi karbon hingga detik ini masih terus dilakukan. Misalnya, dengan mengurangi pemakaian kendaran bermotor, mengurangi pembakaran terbuka atau pembakaran sampah. Bahkan banyak negara maju telah meninggalkan konsep sanitary landfill, namun di beberapa kota besar di Indonesia masih menggunakan model ini. Teknologi incinerator sampah untuk memproduksi energi listrik, atau dikenal "PLTSa" tergolong tidak termasuk bersih, karena ternyata akan mengeluarkan cemaran, abu terbang dan Karbon dioksida (CO2), sehingga kini sudah tidak layak untuk digunakan lagi di kota besar dan modern.

Di Indonesia, telah dikeluarkan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar, dimana ke tujuh lokasi tersebut menggunakan teknologi incenerasi.
Sehingga sudah saatnya dibutuhkan sistem pengolahan sampah yang benar  seraya melakukan penghijauan lingkungan sekitar dan mereboisasi hutan.

Emisi karbon dan Ancamannya bagi Kesehatan Masyarakat

Di dalam tubuh, sistem peredaran darah akan menyalurkan oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan tubuh kemudian mengangkut sisa metabolisme atau zat limbah dari sel dan jaringan untuk dikeluarkan dari tubuh. Salah satu zat limbah tersebut adalah karbon dioksida.

Menurut dr. Kevin Adrian dari Alodokter.com, bahwa terlalu tingginya kadar karbon dioksida dalam tubuh bisa menyebabkan keracunan. Karbon dioksida yang teralu tinggi dapat menyebabkan masalah kesehatan serius, yaitu asaidosis. Kondisi ini bisa menyebabkan oksigen dalam darah sulit untuk dilepaskan ke dalam sel tubuh, sehingga tubuh kekurangan oksigen.

Emisi karbon dapat menyebabkan dampak besar seperti perubahan iklim yang tak menentu yang dapat mengakibatkan banjir, kelaparan, hingga ketidakstabilan ekonomi. Selain itu, jika dibiarkan terus menerus, emisi karbon juga bisa mengakibatkan suhu udara meningkat dan menyebabkan pemanasan global. Hal ini tentu sangat berbahaya untuk keberlangsungan hidup makhluk hidup yang ada di Bumi. Oleh karena itu, penting untuk mencegah pemakaian emisi karbon yang berlebihan untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik.

Apa itu emisi karbon?

Emisi karbon adalah gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon. Contoh dari emisi karbon ialah CO2, gas pembuangan dari pembakaran bensin, solar, kayu, daun, gas LPG, dan bahan bakar lainnya yang mengandung hidrokarbon. Emisi karbon merupakan salah satu penyumbang pencemaran udara yang berdampak buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan.

Gas CO2 sendiri merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan bersifat seperti kaca. Gas CO2 dalam takaran yang cuckup tidak berbahaya bagi manusia. Namun dapat merusak lingkungan karena sifatnya yang dapat memantulkan radiasi panas matahari sehingga menyebabkan peningkatan suhu di permukaan bumi atau yang disebut pamanasan global (global warming).


Peningkatan gas CO2 diudara dapat menyelimuti atmosfir bumi sehingga radiasi panas matahari tidak dapat di pancarkan keluar angkasa namun memantul kembali kebumi. Peristiwa peningkatan panas bumi ini disebut dengan efek rumah kaca. Peningkatan gas CO2 diudara dapat menyebabkan beberapa permasalahan sering terhadap lingkungan dan merugikan manusia.
Adapun dampak yang dihasilkan oleh peningkatan gas CO2 di udara antara lain sebagai berikut: Mencairnya es yang berada di kutub bumi; Naiknya permukaan air laut; Perubahan iklim yang signifikan di bumi; Terjadinya kekeringan di bumi; Serta peningkatan terjadinya bencana alam seperti banjir, badai, tanah longsor, dll.

Penyakit apa saja yang ditimbulkan

Karbon dioksida (CO2) adalah gas limbah yang diproduksi sebagai hasil metabolisme sel di dalam tubuh. Gas ini terikat pada sel darah merah dan dialirkan ke paru-paru, kemudian dibuang lewat embusan napas.

Sejak dunia industri mulai tumbuh 150 tahun terakhir, emisi CO2 meningkat pesat. Seperti dfiketahui faktor utamanya adalah pembakaran fosil untuk batu bara, gas alam, dan minyak bumi.

Meskipun merupakan gas limbah, keberadaan karbon dioksida tetap penting bagi tubuh. Gas ini berperan untuk mengatur tingkat keasaman (pH) darah dan mendukung proses pernafasan. Bila tubuh kekurangan atau kelebihan jumlah karbon dioksida, dapat terjadi gangguan keseimbangan asam basa dan keracunan karbon dioksida.

Keracunan karbon dioksida ini, menurut dr. Kevin Adrian, bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti: Gagal napas akibat gangguan pada paru-paru, seperti asma, penyakit paru obstruktif kronis, dan pneumonia; Penggunaan alat bantu napas berupa ventilator; Kerusakan otak yang menyebabkan napas terganggu, misalnya pada penyakit distrofi otot, ALS, ensefalitis, dan myasthenia gravis; Efek samping obat-obatan, seperti obat golongan benzodiazepine dan opioid; Kedinginan parah atau hipotermia. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun