Mohon tunggu...
Sakifah Ismail
Sakifah Ismail Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Magister Keuangan dan Perbankan Syari'ah Fakultas Hukum Islam dan Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Beda Usia Pasangan Ideal

16 Agustus 2016   10:39 Diperbarui: 16 Agustus 2016   10:49 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sesaat setelah lulus dari seragam putih-keki (pengganti abu-abu di sekolah kami), seorang sahabat pernah bertanya padaku, “Menurutmu, seperti apa kriteria ideal pasangan?”

“Hah?” aku gelagapan, “Maksudnya?” memang aku benar-benar tak mengerti. “Hmm, apakah harus lebih tua darimu? Punya pekerjaan? Atau gimana?” Aku terdiam sejenak. Sampai dia menyenggol bahuku, “Hei, kok malah ngelamun?”.

“Ummmmm........ Bentar, kriteria ideal ya?” sahutku malas berfikir. Tapi tak urung kupikirkan juga.

“Yang lebih dewasa.” Ujarku sambil nyengir kuda. Dia tampak kecewa, “Udah gitu doang?”

Aku mendengus kesal. Salah siapa? Situ nanya, dijawab malah protes.

“Dewasa itu ngga tergantung usia. Bisa jadi lebih tua dari aku, wajar. Tapi bisa jadi juga lebih muda. Kan ngga lucu kalau cewek nih nikah sama cowok yang lebih childish? Udah dari sononya cewek itu sifatnya manja, maunya dilindungi. Nah kalau cowoknya lebay? Apa jadinya itu rumah tangga?” Dia cuma manggut-manggut, seperti biasa, menyebalkan.

“Emang ada, cowok yang lebih muda dari ceweknya tapi lebih dewasa?” Mata bulatnya tampak penasaran sekali. Aku tersenyum tipis, “Iya kalau ngga ada, mana ada orang-orang yang nikah cowoknya lebih muda. Banyak kan? Mana mau yang perempuan dinikahi kalau cowoknya dia anggap ngga bisa jadi suami?” Skak mat!.

Dewasa, bukan sekedar tentang usia. Tapi kematangan berfikir, yang bisa terbentuk dari banyak cara. Saat menjadi fundraiser di salah satu pusat belanja kota jogja, saya sempat berkenalan dengan beberapa satpam yang ada disana. Salah satu dari mereka, tak pernah absen membawa bekal untuk buka puasa ketika masuk siang, karena beliau baru selesai tugas sampai malam.

Kalau masuk pagi kan hanya sampai sekitar jam 5, sebelum buka puasa sudah sampai rumah. Kadang hanya bawa nasi, kadang lengkap sama lauknya. Jika hanya bawa nasi, bapak itu akan minta tolong atau titip beli lauk pada karyawan yang kebetulan keluar mencari menu berbuka. Saya pernah bertanya,”Bapak tiap hari bawa bekal, ya?” pada bapak yang usianya sekitar 30 tahun itu, atau mungkin kurang?

“Iya, kalau ngga gitu biasanya istri saya marah. Hehe” Ujarnya terlihat kocak. Membuatnya tampak benar-benar mencintai istrinya.

“Disiapin sama istrinya tiap hari pak? Wah keren...” Saya masih belum berhenti “ingin tahu”.

“Engga, saya siapin sendiri. Kalau siang kan istri saya belum masak. Paling saya ambil nasi sendiri sisa sahur di rice cooker. Kalau masih ada lauk ya saya panasi sendiri, masukkan kotak bekal, beres.” Dia melihat “pekerjaan perempuan” macam itu begitu sederhana. Sedang banyak lelaki lain yang seolah “ogah” menyentuh pekerjaan perempuan. Maunya tau jadi, beres.

“Whaa... iya pak, kasian istrinya kalau siang-siang suruh masak cuma buat bekal satu orang ya? Apalagi puasa kan siang harusnya bisa istirahat?” Aku mendukung keputusannya.

“Istri saya itu juga kerja, jadi pulangnya sore. Baru bisa masak sore deh. Anak saya cowok. Anak istri saya dari suami sebelumnya, maksud saya. Dia sudah SMP, adiknya masih dua tahun.” Beliau menjelaskan, semakin akrab dan seolah saya bukan orang lain yang pantas dibagi cerita sedetail itu. Atau bapak ini memang biasa terbuka dengan semua orang? entahlah.

“Oooo.....” Aku hanya menatapnya kagum.

"Belum punya adik lagi pak?" Aku bertanya sambil senyum-senyum. 

“Engga, kasihan dia sudah resiko tinggi. Istri saya itu lebih tua dari saya, jadi suaminya yang dulu meninggal. Terus nikah sama saya. Tau selisih usianya berapa?” aku menggeleng lemah.

“Tiga belas tahun.”

Woww???! Padahal asli, bapak ini bukan figur “cowok biasa” loh. Secara dari fisik, lumayan. Ehm, bukan pandangan pribadi nih. Sering ada pengunjung yang bawa anak perempuan kecil datang, disapa oleh bapak ini. Eh, itu anak senyum-senyum terpesona, yang nangis diam seketika. Yang diajak bermain, langsung nempel gitu aja. Kalau anak kecil aja bisa langsung lengket, gimana gadis-gadis yang tak lagi remaja? Ada yang sampai meleng saat berjalan berpapasan dengan si bapak dan akhirnya menabrak sesuatu. Ahaha.. bayangkan sendiri saja, ya!

Beberapa minggu kemudian, saya bertemu teman kuliah S1 yang lama tak ada kabar. Tau-tau sudah menetapkan tanggal pernikahan! Iya ,sebulan lagi mereka akan menikah. Barakallah..

Akhwat ini usianya tak beda jauh dengan saya, yah tau sendirilah...kami memang teman sebaya di asrama kala itu. Setelah cerita-cerita tentang calon suaminya, dia buka suara. “Dia lebih muda dari aku....” Ekspresinya bertanya-tanya, apakah kami (aku dan satu teman lain) tetap mendukungnya maju meneruskan pernikahan ini?

“Emang beda berapa tahun?” Teman sebelahku, yang kami anggap kakak karena lebih senior bertanya.

“Dia umurnya masih 22 tahun.” Jawabnya sambil tersipu. Kami bengong sesaat. Lima, bahkan mungkin hampir enam tahun lebih muda?

Secara ilmu psikologi, memang perkembangan jiwa manusia perempuan lebih cepat daripada lelaki. Jadi wajar, jika para psikolog (dan sebagian masyarakat kita) menganggap bahwa wanita lebih cepat dewasa dibanding pria. Dan wajar jika banyak yang berfikir, pasangan ideal pernikahan adalah ketika sang mempelai pria lebih tua. Biar usia “kedewasaan”nya lebih, atau minimal setara dengan mempelai wanita.

Tapi apa iya, selamanya seperti itu? Tidak!

Ada banyak fakta yang menjelaskan bahwa “kedewasaan” manusia tidak hanya terbentuk dari faktor usia. Tapi banyak faktor lain yang mempengaruhinya. Macam lingkungan keluarga, teman, masalah, pola pikir, buku bacaan, tantangan hidup, dan sebagainya. So? Cari pasangan yang “lebih dewasa”, itu lebih menjanjikan daripada yang “lebih tua”. Meski jika dapat keduanya, tak masalah bagi saya.

Lalu, usia berapa seseorang dianggap “dewasa”?

Menurut aturan UU Perkawinan 1974, batas minimal usia nikah bagi perempuan 16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun. Batas usia perkawinan 16 tahun ini telah dipersoalkan sejumlah kalangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu netizen berpendapat, “Kalau (UU Perkawinan) mau direvisi, boleh juga disesuaikan minimal usia perkawinan menjadi 18 tahun, disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak,”

Iya, itu menurut undang-undang. Dalam kehidupan masyarakat yang beragam, bisa kita lihat tidak semua remaja usia sekitar 20 tahun atau kurang sudah benar-benar “dewasa”, dalam arti “siap” menjalani kehidupan dalam pernikahan. Ada banyak diantara mereka yang masih labil, belum bisa menghargai orang lain, dsb. Akibatnya, ketika menjadi orang tua dari anak-anak mereka belum bisa menerapkan pendidikan yang benar. Sayang sekali, bukan? iya, kasihan anaknya. Tidak sedikit yang berakhir di meja pengadilan, cerai.

Dalam kasus yang lain, seperti Alvin putra salah satu ulama negeri ini, yang menikah di usia masih 17 tahun. Pengadilan agama meluluskan permohonannya untuk menikah meski masih dibawah usia minimal dari ketetapan undang-undang karena semua pihak menilai Alvin akan mampu menjadi kepala rumah tangga dan siap dengan segala konsekwensi atas piihannya. Alvin sudah benar-benar “dewasa” di usianya yang masih terbilang “belia”. Dan istrinya sudah dua puluh tahun. cukup dewasa, bukan?

Baik, kembali ke topik utama. Menikahlah ketika sudah “dewasa”. Bukan karena nafsu semata, atau tekanan orang tua. Bukan pula hanya sekedar untuk menghilangkan suara-suara sumbang yang menganggap usia semakin senja, tapi pasangan tak kunjung punya. Bagi lelaki, kesiapan diri dalam menghadapi pernikahan itu sangat penting. Mengingat seorang lelaki yang sudah menikah harus menjadi suami, kakak, saudara, sekaligus sosok ayah bagi pasangannya. Jika segera dikaruniai anak, maka ia juga harus siap menjadi "ayah" bagi anak-anaknya.

Siap bukan hanya dalam hal finansial tapi juga mental, pengetahuan,  dan banyak hal lain yang mungkin sangat berbeda dari kehidupan saat masih sendiri. Begitu juga wanita, secara fisik dianggap matang dan siap menjadi seorang ibu ketika berada di atas usia 20 tahun. Pada usia ini selain secara mental, pengetahuan, pengalaman bermasyarakat akan sangat membantunya saat berperan menjadi seorang istri dan ibu sekaligus. Apalagi menghadapi mertua yang berbeda selera, butuh tenaga dan mental ekstra.

Menikahlah segera, ketika sudah siap dengan segala konsekwensinya. Tak perlu menimbang usia pasangan lebih tua atau lebih muda, asal sudah sama dewasa dan siap, segerakan saja. Namun jika belum siap benar, akan lebih baik menunda. Banyak berpuasa akan membantu mengendalikan nafsu manusia, dan mempersiapkan diri dengan berbagai kegiatan positif akan membantu banyak menghadapi dunia pernikahan.

Tak perlu risau dengan usia pasangan lelaki yang lebih muda atau sebalinya, saat sudah merasa benar-benar siap dan dewasa. Lagi pula, siapa yang sangka batas umur manusia? Belum tentu yang lebih tua bertemu ajal lebih dulu, kan? Ah, nikmati saja setiap detik kesempatan dalam hidup ini. Syukuri. Lalu semua akan terasa lebih berarti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun