“Dia umurnya masih 22 tahun.” Jawabnya sambil tersipu. Kami bengong sesaat. Lima, bahkan mungkin hampir enam tahun lebih muda?
Secara ilmu psikologi, memang perkembangan jiwa manusia perempuan lebih cepat daripada lelaki. Jadi wajar, jika para psikolog (dan sebagian masyarakat kita) menganggap bahwa wanita lebih cepat dewasa dibanding pria. Dan wajar jika banyak yang berfikir, pasangan ideal pernikahan adalah ketika sang mempelai pria lebih tua. Biar usia “kedewasaan”nya lebih, atau minimal setara dengan mempelai wanita.
Tapi apa iya, selamanya seperti itu? Tidak!
Ada banyak fakta yang menjelaskan bahwa “kedewasaan” manusia tidak hanya terbentuk dari faktor usia. Tapi banyak faktor lain yang mempengaruhinya. Macam lingkungan keluarga, teman, masalah, pola pikir, buku bacaan, tantangan hidup, dan sebagainya. So? Cari pasangan yang “lebih dewasa”, itu lebih menjanjikan daripada yang “lebih tua”. Meski jika dapat keduanya, tak masalah bagi saya.
Lalu, usia berapa seseorang dianggap “dewasa”?
Menurut aturan UU Perkawinan 1974, batas minimal usia nikah bagi perempuan 16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun. Batas usia perkawinan 16 tahun ini telah dipersoalkan sejumlah kalangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu netizen berpendapat, “Kalau (UU Perkawinan) mau direvisi, boleh juga disesuaikan minimal usia perkawinan menjadi 18 tahun, disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak,”
Iya, itu menurut undang-undang. Dalam kehidupan masyarakat yang beragam, bisa kita lihat tidak semua remaja usia sekitar 20 tahun atau kurang sudah benar-benar “dewasa”, dalam arti “siap” menjalani kehidupan dalam pernikahan. Ada banyak diantara mereka yang masih labil, belum bisa menghargai orang lain, dsb. Akibatnya, ketika menjadi orang tua dari anak-anak mereka belum bisa menerapkan pendidikan yang benar. Sayang sekali, bukan? iya, kasihan anaknya. Tidak sedikit yang berakhir di meja pengadilan, cerai.
Dalam kasus yang lain, seperti Alvin putra salah satu ulama negeri ini, yang menikah di usia masih 17 tahun. Pengadilan agama meluluskan permohonannya untuk menikah meski masih dibawah usia minimal dari ketetapan undang-undang karena semua pihak menilai Alvin akan mampu menjadi kepala rumah tangga dan siap dengan segala konsekwensi atas piihannya. Alvin sudah benar-benar “dewasa” di usianya yang masih terbilang “belia”. Dan istrinya sudah dua puluh tahun. cukup dewasa, bukan?
Baik, kembali ke topik utama. Menikahlah ketika sudah “dewasa”. Bukan karena nafsu semata, atau tekanan orang tua. Bukan pula hanya sekedar untuk menghilangkan suara-suara sumbang yang menganggap usia semakin senja, tapi pasangan tak kunjung punya. Bagi lelaki, kesiapan diri dalam menghadapi pernikahan itu sangat penting. Mengingat seorang lelaki yang sudah menikah harus menjadi suami, kakak, saudara, sekaligus sosok ayah bagi pasangannya. Jika segera dikaruniai anak, maka ia juga harus siap menjadi "ayah" bagi anak-anaknya.
Siap bukan hanya dalam hal finansial tapi juga mental, pengetahuan, dan banyak hal lain yang mungkin sangat berbeda dari kehidupan saat masih sendiri. Begitu juga wanita, secara fisik dianggap matang dan siap menjadi seorang ibu ketika berada di atas usia 20 tahun. Pada usia ini selain secara mental, pengetahuan, pengalaman bermasyarakat akan sangat membantunya saat berperan menjadi seorang istri dan ibu sekaligus. Apalagi menghadapi mertua yang berbeda selera, butuh tenaga dan mental ekstra.
Menikahlah segera, ketika sudah siap dengan segala konsekwensinya. Tak perlu menimbang usia pasangan lebih tua atau lebih muda, asal sudah sama dewasa dan siap, segerakan saja. Namun jika belum siap benar, akan lebih baik menunda. Banyak berpuasa akan membantu mengendalikan nafsu manusia, dan mempersiapkan diri dengan berbagai kegiatan positif akan membantu banyak menghadapi dunia pernikahan.