Mohon tunggu...
Kidung Sableng
Kidung Sableng Mohon Tunggu... -

Hanya manusia biasa yang biasa-\r\nbiasa saja, karena tidak memiliki sesuatu yang luar biasa.... dan masih belajar membiasakan diri agar terbiasa dengan segala hal diluar kebiasaan...\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dongeng Seorang Ibu Kepada Anak Lelakinya

27 Februari 2011   12:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:13 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1290497359472072126

" Aku manusia yang paling berbahagia didunia ini!!", teriak Surya lantang memecahkan keheningan malam, dari sebuah sebuah rumah bambu pinggiran sungai yg tak terlihat tegak lagi . " Akulah si penguasa bahagia!!, langitpun tunduk akan titahku!" " Tidak ada satupun mahluk dibumi ini yang mampu menggoyang kekuasaanku, bahagia adalah aku, suka cita senantiasa mengalir dalam darahku!... ", " Karenanya hidupku jauh dari derita..., bahagia... bahagia... dan bahagia!,.. hanya itu yang ada dalam kamus hidupku!" " Mengakar dalam jantungku,... otak dan fikiranku!... mengalir dalam darah yang bergerak dalam setiap urat nadiku!!", " Karena itu, persetan dengan mereka yang berduka atas kehidupannya!, masa bodoh dengan mereka yang menderita dan lapar!". "CUKUP!!!", teriak seorang wanita setengah baya, disela-sela suara tangis terdengar miris. " Cukup kataku!..., tidakkah kau sadari keadaan ibumu ini??.. yang telah bersusah payah membesarkanmu??, mendidikmu dengan hati dan naruni seorang wanita??...", " Ibu hanya ingin kelak kau akan menjadi seorang laki-laki yang berguna... bukan seorang laki-laki yang Congkak dan Sombong seperti yang berdiri dihadapanku ini!", " Yang menghalalkan segala cara dan yang menghapus nilai-nilai kemanusiaan demi tercapainya tujuan bahagiamu!?". Surya tertunduk lesu memandang ujung sepatunya yang mengkilap. Cara berpakaiannya yang perlente dengan model rambut terkini, cerminan laki-laki metroseksual..., jauh bertolak belakang dengan kehidupan yang dialami ibunya. " Kemarilah Nak!, duduk disamping ibu... kubacakan sedikit dongeng  layaknya dulu kutemani kau menjemput mimpimu...", ujar wanita tadi dengan lembut. Seakan tersihir dari amarahnya, Surya pun mengikuti perintah wanita paruh baya tersebut. " Dengarkan dengan hati Nak ya?.. dan coba kau renungkan dari apa yang ibu bacakan ini", kata sang Ibu seraya membuka buku kusam kesayangannya, kemudian membacakannya seakan sedang mendongengi buah hatinya yang masih balita.

Bila engkau sedang bersukaria renungkanlah dalam-dalam ke lubuk hati disanalah nanti engkau dapati bahwa hanya yang pernah membuat derita ...berkemampuan memberimu bahagia

Jika engkau berdukacita renungkanlah lagi, ke lubuk hati disanalah pula bakal kau temui bahwa sesungguhnya engkau sedang menangisi sesuatu yang pernah engkau syukuri

......

"Maksud ibu??", sela Surya mendengar puisi itu. " Sssttt... dengarkanlah saja, dan coba kau pahami sendiri", jawabnya menenangkan.

Kemudian datang seorang pertapa, Yang sekali setahun turun ke kota,Memohon jawaban tentang kesenangan. Jawabnya demikian :

Kesenangan adalah lagu kebebasan, Namun bukannya sang kebebasan sendiri, dialah bunga-bunga hasrat keinginan, Namun bukan buah yang asli.

Sebuah jurang ternganga yang berseru ke puncak ketinggian, Itulah dia ; namun dia bukan kedalaman maupun ketinggian itu sendiri. Dialah si terkurung yang terbang terlepas, Namun bukannya ruang yang terbentang luas ; Ya, sesungguhnyalah kesenangan merupakan lagu kebebasan. Dan aku amat suka bila dapat mendengarkan, Kalian menyanyikannya dengan sepenuh hati, Namun jangan hanyutkan diri dalam nyanyian.

Beberapa diantaramu mencari kesenangan, Seolah kesenangan itu adalah segala-galanya, Dan mereka ini dipersoalkan, dihakimi dan dipersalahkan. Aku tak akan mempersalahkannya, ataupun memarahinya,

Melainkan akan mendorong mereka untuk mencari dan menyelami. Sebab mereka akan menemukan kesenangan, Namun kesenangan tiada berdiri sendiri. Saudaranya ada beberapa, ialah tujuh orang puteri, Yang terjelek pun diantaranya lebih unggul kecantikannya, Daripada dia yang bernama kesenangan.

"Engkau pernah mendengar tentang seorang manusia, Yang menggali tanah hendak mencari akar, Namun menemukan harta pusaka ?", tanya sang ibu.

Surya hanya terdiam dan mulai berfikir, sang ibu pun kemudian melanjutkan dongengnya..

Beberapa diantara orang tua mengenangkan saat kesenangan, Dengan penuh rasa penyesalan, Seolah kesenangan itu dosa yang diperbuatnya, Tatkala sedang terbius di luar kesadarannya.

Tapi penyesalan ini hanya mengaburkan akal budi, Tiada berkemampuan menyucikan hati nurani, Seyogyanya mereka mengingat kesenangan yang lalu, Dengan rasa syukur dan terima kasih dalam kalbu, Sebagaimana mereka mengenang rahmat tuaian di musim panas ; Namun apabila rasa penyesalan lebih menenteramkan hatinya, Maka biarlah mereka menikmati ketenteramannya.

Dan ada di antaramu yang bukan lagi remaja namun masih perlu mencari, Pun belum terlampau tua namun memerlukan kenang-kenangan untuk digali,

Lalu menyingkirkan segala kesenangan yang ada di mayapada, Khawatir melemahkan kekuatan jiwa, Ataupun bertentangan dan merugikannya. Tapi dalam pencegahan diri inipun terletak kesenangan mereka, Dan dengan demikian mereka pun menemui sebuah mustika,

Walau semua mereka dengan tangan gementar, hanya mencoba menggali akar. Tetapi katakanlah padaku, siapakah yang dapat menenangkan jiwa?, Si burung bul-bul yang menyanyikan lagu merdu, Terganggukah olehnya ketenangan malam yang syahdu?.

Atau ambillah dia, si kunang-kunang, Adakah diganggunya keagungan bintang-bintang? Dan nyala api, ataupun asap bara, Adakah dia memberati angin?, Dan dikau mengira, bahwa jiwa merupakan danau yang tenang, Yang hanya dengan sentuhan sepucuk kayu, dapat kauganggu?...

Betapa seringnya, dengan menyingkirkan segala kesenangan, Kau hanya menimbun keinginan tersembunyi, di relung kesadaran. Siapa tahu bahwa apa yang nampaknya lenyap sekarang, dari permukaan, hanya menanti saat kebangkitan dihari kemudian?...

Bahkan jasmani memahami kodratnya dan keperluan hak alamiahnya, Serta tiada sudi mengalami tipuan dari akal manusia. Jasmani adalah kecapi jiwa, Tergantung kepada manusia, Untuk menggetarkannya dengan petikan lagu merdu, Ataupun suara yang tiada menentu.

Lalu sekarang bertanyalah dalam hatimu; bagaimana cara membedakan baik-buruk dalam kesenangan?, Maka pergilah engkau ke ladang, kebun dan tamanmu, Dan kau akan mengerti, bahwa bagi lebah, menghisap madu adalah kesenangan, namun bagi bunga pun memberikan madu adalah kesenangan.

Untuk lebah, bunga merupakan pancaran kehidupan, Untuk bunga, lebah merupakan duta kasih kehidupan. Dan bagi keduanya, sang lebah maupun sang bunga, Memberi dan menerima kesenangan adalah keperluan dan keasyikan. Rakyat Orphalese, bersenanglah bagaikan bunga dan lebah!.

Kisah yang dibacakan Ibunya semakin membuat hati Surya serasa tak menentu, terlihat jelas dalam sinar wajahnya yang merona, dan sorot matanya yang tak lagi membara.

" Kubacakan sedikit lagi sebagai kelanjutannya", ucap sang ibu tersenyum.

Bersyukurlah pada kehidupan yang telah menganugerahimu rasa haus. Hatimu akan menjadi seperti tepian pantai dari sebuah samudera yang tak memiliki gelombang.

Tak menyimpan gemuruh dan tak mengerami pasang surut bila engkau tak memiliki rasa haus. Teguklah isi pialamu sendiri sambil memekik gembira. Junjunglah pialamu di atas kepalamu lalu teguklah kuat demi mereka yang meminumnya dalam kesendirian.

Aku pernah sekali mencari gerombolan manusia yang kemudian duduk rapi mengelilingi meja jamuan sebuah pesta kemudian minum dengan sepuas-puasnya.

Namun mereka tidak mengangkat anggurnya di atas kepalaku, tidak pula meresapkannya ke dalam dadaku. Mereka hanya membasahi kakiku....kebijakanku masih kerontang.

Hatiku terkunci dan terpatri. Cuma sepasang kakikulah yang bergumul dengan mereka diantara selubung kabut yang suram. Aku tidak lagi mau mencari kumpulan manusia atau pula meneguk anggur bersama mereka dalam meja jamuan pesta mereka.

Apa yang engkau rasakan jika kututurkan padamu semua itu jika waktu begitu garang menghentaki jantungmu?, Akan sangat baik bagimu bila engkau meneguk piala sengsaramu seorang diri dan piala bahagiamu seorang diri pula...

" Sudahkan kau mengerti?? ", tanya sang Ibu mengakhiri dongengnya.

" Bersyukurlah atas kebahagian yang kau dapatkan saat ini, tanpa harus dengan menyakiti perasaan orang lain yg masih kurang beruntung", ujarnya sembari membelai lembut rambut buah hatinya yang tak lagi balita tersebut.

" Karenanya, perlakukanlah manusia selayaknya manusia, karena tak selamanya kebahagiaan menghampiri kita... bukankah harta, tahta, wanita dan cinta itu bunga putaran roda nasib?",

" Bukankah diatas langit itu masih terdiri atas langit-langit yang lain??", kata sang ibu menitikkan air mata dukanya.

" Maafkan aku Ibu, anakmu ini telah terbuai indahnya surga dunia... dan tersilaukan oleh semunya kilau gelimang harta", jawab Surya penuh penyesalan yang mendalam.

Malampun kembali hening, sehening datangnya malam 1001 bulan.

................................................................

Titipan seorang sahabat : dikutip dari karya-karya Kahlil Gibran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun