Hari ini, Kapal penumpang Indonesia Tamponas II bertolak pada Sabtu, 24 Januari 1981, pukul 19.00 WIB. Kapal berisi muatan penuh orang dan barang ini seharusnya berangkat 23 Januari 1981. Karena ada kerusakan mesin, pemberangkatannya harus molor sehari.Â
Di atas kapal terdapat 191 mobil, 200 sepeda motor, dan diperkirakan 1.442 orang. Dari jumlah itu, yang tercatat secara resmi sebanyak 1.054 orang. Sisanya adalah penumpang gelap.Â
Ombak Januari memang sangat besar dibandingkan di bulan-bulan lain, ombak setinggi 7-10 meter dengan kecepatan angin 15 knot sangat wajar terjadi di bulan itu.Â
Di dalam kapal sendiri direncanakan sebuah acara show dengan penyanyi Ida Farida dari band kapal. Namun berbagai tanda firasat, dibawakannya lagu "Salam Perpisahan" oleh seorang yang bernama Ferry, yang kemudian tidak diketahui keberadaannya.Â
Setelah sehari semalam melintasi lautan, 25 Januari pagi, keadaan berlangsung seperti biasa. Namun malam harinya pukul 20.00 WITA, ketika berada di dekat Kepulauan Masalembo, sebelah utara Pulau Kangean, Jawa Timur, kapal mulai menunjukkan hal yang tak biasa.Â
Dimulai dari kemunculan asap pada bagian mesin kapal dan rusak karena kebocoran bahan bakar. Api mulai menyambar dan kru mesin mati-matian memadamkannya dengan alat pemadam portabel. Api lalu menjalar ke kompartemen mesin karena pintu dek terbuka.
Dalam kondisi badai laut yang hebat, beberapa bagian mesin mengalami kebocoran bahan bakar, dan puntung rokok yang berasal dari ventilasi menyebabkan percikan api. Para kru melihat hal tersebut dan mencoba memadamkannya menggunakan tabung pemadam portabel, namun gagal.
Hal itu menyebabkan pemadaman listrik selama dua jam, usaha pemadaman menemui jalan buntu saat air untuk memadamkan api tak bisa disemprotkan karena generator mati.Â
Api tentu saja semakin berkobar ke luar ruang mesin, bahkan sampai ke ruang tempat disimpannya mobil dan sepeda motor yang berbahan bakar, menyebabkan api menyebar dan membakar semua dek dengan cepat.Â
Tiga puluh menit setelah kebakaran terjadi, para penumpang diperintahkan untuk naik ke dek atas dan naik ke sekoci. Namun proses evakuasi berjalan lambat karena hanya ada satu pintu menuju dek atas.Â
Begitu mereka sampai di dek atas, Â para ABK dan mualim kapal tidak ada yang memberitahu arah dan lokasi sekoci. Sementara para penumpang adalah orang-orang awam yang tidak mengetahui bagaimana sistem keselamatan kapal.
Beberapa sumber menyebutkan, alih-alih mengarahkan penumpang, beberapa ABK malah dengan egois menurunkan sekoci bagi dirinya sendiri. Dari enam sekoci yang ada, masing-masing hanya berkapasitas 50 orang, jauh dari kata cukup untuk jumlah penumpang KMP Tampomas II kala itu.Â
Sebagian penumpang nekat terjun bebas ke laut, dan sebagian lagi menunggu dengan panik pertolongan selanjutnya. Kapten kapal Abdul Rivai berinisiatif ingin membawa kapal menuju pulau terdekat.Â
Namun usaha itu gagal, karena baling-baling dan mesin kapal tak berfungsi normal, matinya listrik mengakibatkan pesan melalui radio ke kapal lain atau syahbandar pelabuhan pun tak bisa dikirim. Isyarat cahaya yang dilontarkan ke udara pun tak menyala.Â
Evakuasi penumpang berjalan kacau. Tak ada tanda arah jalan keluar yang jelas di dalam kapal. Bahkan, ada awak kapal yang menurunkan sekoci untuk dirinya sendiri.
KMP Tampomas II terombang ambing lepas kendali dengan cuaca yang tak mendukung. Kondisi ini mengakibatkan Tampomas II harus terpaksa lempar sauh di sekitar wilayah tersebut. Asap hitam mulai keluar dan menyembul ke udara, dan tiba-tiba  suara ledakan keras dari dalam kapal.Â
Sejak tanggal 26 Januari pagi, Laut Jawa dilanda hujan yang sangat deras, KMP Tampomas II semakin dipenuhi air, dan api mulai menjalar ke ruang mesin dimana terdapat bahan bakar yang tidak terisolasi.
KMP Tampomas II makin berada dalam bahaya. Munculnya matahari pada 26 Januari 1981 yang menerangi lautan di sekitar Tampomas dan kobaran api yang terlihat dari kejauhan pun jadi isyarat bagi kapal yang melihatnya. Tampomas II butuh tindakan penyelamatan.Â
Diketahui, kapal pertama yang melakukan misi penyelamatan adalah  KM Sangihe, dengan Kapten Agus K. Sumirat sebagai nakhoda. Sumirat adalah teman sekelas Abdul Rivai pada angkatan 1959 ketika mereka belajar di Akademi Ilmu Pelayaran (Akademi Maritim). KM Sangihe  dalam perjalanan dari Pare-Pare menuju Surabaya untuk perbaikan mesin.Â
Petugas geladak pertama KM Sangihe, J. Bilalu, adalah orang pertama yang melihat kepulan asap ke arah barat dan mengira asap itu berasal dari sumur minyak lepas pantai Pertamina, Markonis KM Sangihe, Abu Akbar, mengirim pesan SOS pada 08:15 terkait nasib Tampomas II. Â
KM Ilmamui  bergabung dalam upaya penyelamatan pada pukul 21.00, menyusul empat jam kemudian oleh kapal tanker  Istana VI  dan kapal lainnya, termasuk  Adhiguna Karunia dan KM Sengata milik PT. Porodisa Line.
Akumulasi dari percikan api kecil yang merembet ke bahan bakar itulah yang menimbulkan ledakan di pagi hari tanggal 27 Januari. Ledakan berasal dari ruang mesin KMP Tampomas II dan dan membuatnya penuh oleh air laut. Ruang Propeller dan Ruang Generator turut pula terisi air laut yang mengakibatkan kapal miring 45 derajat dalam keadaan banyak penumpang masih ada diatas kapal.
Akhirnya pada 27 Januari 1981, tepat hari ini 41 tahun lalu, Pukul 12.45 WIB atau Pukul 13.45 WITA, Tampomas II tenggelam ke dasar Laut Jawa di sekitar perairan Masalembu. Perairan ini terkenal sebagai Segitiga Bermuda-nya Indonesia.
Kapten Abdul Rival adalah yang terakhir meninggalkan kapal, ia mengirim pesan kepada nakhoda KM Sangihe , "Tolong kirimkan saya air dan makanan, karena saya akan tinggal di kapal sampai menit terakhir". Pesan tersebut disampaikan melalui Bakaila, seorang awak KMP Tampomas II yang berhasil menyeberang ke  Sangihe . Namun permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Agus K. Sumirat, nakhoda KM Sangihe.
Pria kelahiran Bengkulu 23 Agustus 1936 ini, bersama ratusan penumpang yang tak terselamatkan pun jadi korban tragedi Tamponas II nan nahas itu. Kapten Abdul Rivai memperkirakan hari Senin, 26 Januari 1981 Pukul 10.00 WIB kapal akan tiba di tujuan. Kisah tenggelamnya kapal itu ditulis Bondan Winarno dalam Neraka di Laut Jawa: Tampomas II tahun 1981 berdasarkan hasil reportase Sinar Harapan dan Mutiara.
Tim penyelamat memperkirakan 431 orang tewas (143 jenazah ditemukan dan 288 orang hilang bersama kapal), sementara 753 orang berhasil diselamatkan. Sumber lain menyebutkan angka korban yang jauh lebih besar, hingga 666 orang tewas. Dari catatan kapal tangker Istana VI berhasil menyelamatkan 144 penumpang Tampomas dan 4 jenazah, sementara KM Sengata menyelamatkan 169 orang dan 2 jenazah, kapal lain KM Sonne tercatat menemukan 29 jenazah termasuk jenazah Nakhoda KMP Tampomas II Kapten Abdul Rivai.
Odang Kusdinar, Markonis KM Tampomas II selamat, ia ditemukan bersama 62 penumpang dalam sekoci di dekat Pulau Duang-Duang Besar, 240 km sebelah timur tempat Tampomas tenggelam pada hari Jumat 30 Januari 1981 pukul 05.00 WITA.
Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin kepada awak media di kantor Departemen Perhubungan, mengatakan tidak terjadi hal yang abnormal di ruang mesin. Kelainan terjadi pada ruang geladak kendaraan, khususnya pada kendaraan roda dua yang terletak di sebelah belakang. Karena guncangan gelombang laut yang cukup kuat memungkinkan untuk timbul percikan api dan menyebar. Masinis III Tampomas II Wishardi Hamzah mengatakan bahwa Tampomas II tidak memiliki sistem pendeteksi asap.
Penyelidikan yang dipimpin oleh Jaksa Bob Rusli Efendi Nasution sebagai kepala Tim Perkara tidak memberikan hasil yang berarti, sebab semua kesalahan ditudingkan kepada para awak KMP Tampomas II. Ada kesan bahwa kasus ini dengan sengaja ditutup-tutupi oleh pemerintah saat itu, meskipun banyak suara dari parlemen yang menuntut pengusutan yang lebih serius. Belakangan setelah kasus ini terjadi, diketahui bahwa KMP Tampomas II sejatinya adalah kapal tua.Â
Berbagai pihak, termasuk Jepang sendiri menyatakan kapal ini afkir karena telah berumur 25 tahun. Namun, KMP Tampomas II lamgsung dipacu untuk melayani jalur Jakarta-Padang dan Jakarta-Ujungpandang yang memang jalur padat. Setiap selesai melaksanakan tugas pelayaran, KMP Tampomas II hanya diberi waktu istirahat 4 jam. Lalu, melanjutkan pelayaran.Â
KMP Tampomas II pada mulanya bernama MV Great Emerald diproduksi oleh Mitsubishi Heavy Industries di Shimonoseki, Jepang, tahun 1956. Ia tergolong jenis Kapal RoRo (Roll On-Roll Off), dan pernah dimodifikasi ulang (Retrofit) tahun 1971 di Taiwan. Ia mampu menampung 1250-1500 orang penumpang, dengan kecepatan maksimum 19.5 knot. Memiliki lebar 22 m dan Panjang 125,6 m. KMP Tampomas II dibeli oleh PT. PANN (Pengembangan Armada Niaga Nasional) dari pihak Jepang, Comodo Marine Co. SA seharga US$ 8.3 juta. Angka ini mengherankan beberapa pihak karena PANN ternyata pernah diberi tawaran kapal lain yang harganya hanya US$3,6 Juta.
KMP Tampomas II sempat dimodifikasi ulang pada 1971 sehingga bisa dipacu pada kecepatan 19,5 knot. Memorandum of Agreement (Moa) pembelian kapal tercatat pada 23 Februari 1980 dengan Junus Effendi Habibie alias Fanny Habibie, adik B.J. Habibie, bertindak sebagai Ketua Steering Committe (SC) pembeliannya. Tapi ia menampik bertanggung jawab adanya dugaan kasus korupsi pembelian Kapal Tampomas II.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI