Mohon tunggu...
Rizki Akbar
Rizki Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Jakarta

Saya Mahasiswa aktif di salah satu perguruan tinngi yang ada di jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Generasi Emas atau Generasi Stress? Mengulas Krisis Quarter-life dan Perjuangan Milenial di Tengah Ekspetasi Sosial

29 Oktober 2024   20:15 Diperbarui: 29 Oktober 2024   20:18 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di setiap era, generasi muda mempunyai permasalahan tersendiri yang mewarnai perjuangan hidup mereka. Namun, bagi generasi milenial yang lahir antara awal tahun 1980-an hingga pertengahan tahun 1990-an, beban ekspektasi dan tanggung jawab hidup seolah datang bertubi-tubi. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, perubahan masyarakat yang dinamis, dan kondisi yang semakin keras. Dalam lingkungan yang kompetitif, generasi milenial harus menjalani masa dewasa dengan cara yang mungkin berbeda dari generasi sebelumnya.

Banyak generasi milenial saat ini justru merasa terjebak dalam kebingungan yang dikenal dengan istilah quarter-life crisis, ketika mereka berada pada puncak produktivitas. Kecemasan akan masa depan, ekspektasi masyarakat yang tinggi, dan tekanan untuk sukses secepatnya menjadi tantangan sehari-hari. Apakah kita akan melahirkan generasi emas yang penuh inovasi dan potensi? Atau apakah kita menyaksikan lahirnya generasi yang stres dan terbebani dengan ekspektasi?

Quarter-life crisis adalah masa ketika seseorang mengalami kebingungan dan kecemasan tentang arah hidupnya. Kondisi ini umumnya terjadi pada rentang usia 25 hingga 35 tahun. Pada masa ini, banyak milenial yang merasa tertekan karena berbagai tuntutan dan harapan dari lingkungan sekitar.

Berdasarkan survei terbaru, lebih dari 60% generasi milenial Indonesia melaporkan adanya perasaan tegang dan cemas mengenai masa depan mereka. Angka ini meningkat drastis sejak pandemi COVID-19 yang berdampak pada banyak elemen masyarakat, termasuk prospek kerja dan stabilitas perekonomian.

Ekspektasi sosial yang tinggi merupakan faktor utama terjadinya pemicu ini. Masyarakat seringkali memiliki standar kesuksesan yang kaku: harus memiliki karir bagus, rumah sendiri, mobil, menikah, dan memiliki anak pada usia tertentu. Belum lagi, media sosial yang kerap menampilkan kesuksesan orang lain membuat banyak milenial merasa tertinggal dan tidak cukup berhasil. 

Tekanan karir merupakan beban tersendiri. Gelar sarjana yang dulunya bergengsi tampaknya menjadi kebutuhan minimum saat ini. Generasi milenial harus terus mengembangkan diri dengan memperoleh berbagai sertifikat dan mempelajari keterampilan baru. Sayangnya, hal ini tidak selalu menjamin pekerjaan yang stabil.

Pertanyaan seperti "Kapan nikah?", "Sudah punya tabungan untuk DP rumah?", atau "Masih ngekos?", selalu menjadi pertanyaan utama di setiap pertemuan keluarga. Tekanan untuk mencapai berbagai milestone kehidupan dalam waktu bersamaan sering membuat milenial merasa kewalahan.

Dampak dari krisis ini sangat nyata. Banyak milenial yang mengalami kelelahan mental, gangguan kecemasan, hingga depresi. Produktivitas kerja menurun, hubungan sosial terganggu, dan kesehatan fisik pun ikut terdampak. Beberapa memilih untuk sering berganti pekerjaan, sementara yang lain terjebak dalam pikiran negatif yang berkelanjutan.

Namun, ada hal positif yang mulai terlihat. Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental semakin meningkat di kalangan milenial. Mereka mulai berani mencari bantuan profesional dan bergabung dengan komunitas pendukung. Banyak yang mulai memahami bahwa wajar jika setiap orang memiliki tempo berbeda dalam mencapai tujuan hidupnya.

Perusahaan dan institusi juga mulai memberikan perhatian lebih pada kesejahteraan mental karyawannya. Program konseling, cuti mental, dan kebijakan kerja yang lebih fleksibel mulai diterapkan di berbagai tempat kerja. Ini menunjukkan adanya perubahan positif dalam memandang pentingnya keseimbangan hidup.

Yang paling penting, perlu ada perubahan cara pandang tentang kesuksesan. Tidak semua orang harus mengikuti jalur yang sama. Ada yang memilih menjadi wirausaha, ada yang fokus pada pengembangan diri, dan ada pula yang memutuskan untuk mengejar passion-nya meski berbeda dari ekspektasi umum.

Generasi milenial perlu diberi ruang untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dan kecepatan mereka sendiri. Dukungan dari keluarga dan lingkungan sangat penting dalam proses ini. Kesuksesan tidak hanya diukur dari pencapaian materi, tetapi juga dari kemampuan seseorang untuk hidup bahagia dan bermakna.

Quarter-life crisis memang menjadi tantangan nyata bagi generasi milenial. Namun, dengan pemahaman yang tepat dan dukungan yang memadai, fase ini bisa menjadi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengubah "generasi stres" menjadi generasi yang benar-benar "emas" dengan caranya masing-masing.

Pada akhirnya, setiap orang memiliki perjalanan hidupnya sendiri. Tidak perlu terburu-buru atau membandingkan diri dengan orang lain. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan pilihan kita sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun