Sanumerta bangkit. Ia mengulang lagi. Perbuatan yang dilakukan dalam bungkus pakaian yang lama.
"Darahmu adalah tebusanku untuk kesucian, Pendosa!" Sanumerta berpaling. Meninggalkan jasad orang yang dituturkan banyak orang sebagai pemuka yang disegani penduduk langit.
Ia menuju pintu dengan menenteng belati membasah merah. Berlalu menyisir jalan berdebu. Orang semakin menjauh darinya saat berpapasan. Napas anyir menebar di udara. Mengurung setiap jiwa yang terjaga dan dijaga. Merenggut sukma di awang-awang melayang tanpa tujuan.
Bersayap ratusan dengan mulut menganga penuh bara, makhluk ajaib menghadang jalannya.
"Kau telah menjadi tuhan," makhluk ajaib berkata.
Sanumerta meradang marah.
"Apakah itu pendapatmu?" Sanumerta bertanya.
Yang ditanya rapat mengunci bibirnya.
"Apa yang tahu dari kuasa?" lanjut Sanumerta.
Yang ditanya mematung diam dengan mata menyala.
"Aku katakan padamu bahwa kekejaman Tuhan telah dinyatakan melalui kedua tanganku," jelas Sanumerta. "Kamu tidak mempunyai hak membunuhku."
"Kau telah membunuhku!" makhluk ajaib yang tak sebut namanya menghunus pedang.
"Kau yang menyatakan itu! Bukan aku!"
Alam bergolak.
Jawaban Sanumerta membuatnya marah. Jagad raya tak berdaya mencegah ucapannya.
Ia adalah Sanumerta. Lelaki bertubuh langsing dengan mata seorang pecundang. Penuh murka menantang penjaga neraka.
"Cinta adalah kebengisan tanpa tara," ucapnya pada binal bergincu membara.
"Pergilah menuju siksa!" tandas wanita berpinggul kecil dengan bibir mendesah. Pergulatan desah dan keringat sangat hebat terjadi di antara mereka. Mereguk nikmat dalam siksa. Sanumerta mencari penawar untuk hatinya.
sumber http://tansaheling.com/2019/05/31/liris-ia-bernama-sanumerta-2/Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H