Mohon tunggu...
Roni DwiRisdianto
Roni DwiRisdianto Mohon Tunggu... Penulis - Seri pertama Bondan dalam judul Langit-Hitam-Majapahit telah tayangbdalam jaringan. Berlatar belakang Majapahit pada masa Jayanegara. Penulis berdomisili di Surabaya.

www.tansaheling.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ia Bernama Sanumerta - 4

25 Juni 2019   19:51 Diperbarui: 30 Juni 2019   18:15 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sanumerta bangkit. Ia mengulang lagi. Perbuatan yang dilakukan dalam bungkus pakaian yang lama.

"Darahmu adalah tebusanku untuk kesucian, Pendosa!" Sanumerta berpaling. Meninggalkan jasad orang yang dituturkan banyak orang sebagai pemuka yang disegani penduduk langit.

Ia menuju pintu dengan menenteng belati membasah merah. Berlalu menyisir jalan berdebu. Orang semakin menjauh darinya saat berpapasan. Napas anyir menebar di udara. Mengurung setiap jiwa yang terjaga dan dijaga. Merenggut sukma di awang-awang melayang tanpa tujuan.

Bersayap ratusan dengan mulut menganga penuh bara, makhluk ajaib menghadang jalannya.

"Kau telah menjadi tuhan," makhluk ajaib berkata.

Sanumerta meradang marah.

"Apakah itu pendapatmu?" Sanumerta bertanya.

Yang ditanya rapat mengunci bibirnya.

"Apa yang tahu dari kuasa?" lanjut Sanumerta.

Yang ditanya mematung diam dengan mata menyala.

"Aku katakan padamu bahwa kekejaman Tuhan telah dinyatakan melalui kedua tanganku," jelas Sanumerta. "Kamu tidak mempunyai hak membunuhku."

"Kau telah membunuhku!" makhluk ajaib yang tak sebut namanya menghunus pedang.

"Kau yang menyatakan itu! Bukan aku!"

Alam bergolak.

Jawaban Sanumerta membuatnya marah. Jagad raya tak berdaya mencegah ucapannya.

Ia adalah Sanumerta. Lelaki bertubuh langsing dengan mata seorang pecundang. Penuh murka menantang penjaga neraka.

img-20190630-wa0045-5d1899ff097f361cde137f52.jpg
img-20190630-wa0045-5d1899ff097f361cde137f52.jpg
Ia mengayun langkah. Membelah kampung dan desa. Menyusuri jalanan kota. Meninggalkan cahaya mata setelah menenggelamkan istrinya di tengah sawah. Menempuh perjalanan panjang yang akan memisahkan hidupnya sebagai ayah.

"Cinta adalah kebengisan tanpa tara," ucapnya pada binal bergincu membara.

"Pergilah menuju siksa!" tandas wanita berpinggul kecil dengan bibir mendesah. Pergulatan desah dan keringat sangat hebat terjadi di antara mereka. Mereguk nikmat dalam siksa. Sanumerta mencari penawar untuk hatinya.

sumber http://tansaheling.com/2019/05/31/liris-ia-bernama-sanumerta-2/ 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun