Mohon tunggu...
kibal
kibal Mohon Tunggu... Petani - Petani

Catatan dari Desa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tuan Pemerintah Harus Pasang Badan

1 April 2020   23:18 Diperbarui: 1 April 2020   23:25 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertama, turut berbela sungkawa kepada keluarga korban Covid-19 yang berpulang , kita berhutang budi sebagai pihak yang telah diingatkan agar lebih waspada. Serta, haturan semangat kepada saudara-saudara yang tengah berjuang dalam masa karantina, kalian bisa dan kita semua akan terbebas dari bencana kemanusiaan ini. 

Kepada tim medis atau kelompok-kelompok sosial yang dengan berbesar hati berada di garis depan, kalianlah pahlawan kemanusiaan itu. Kedua, tulisan ini berangkat dari harapan besar bahwa keadaan akan segera membaik dan dunia akan kembali pulih. Dengan catatan, mengesampingkan pandangan atau saran-saran medis adalah sebuah kesalahan, maka ada ego yang musti diparkirkan.

Saya hampir tidak mampu mengingat kapan terakhir kali keadaan berubah separah ini, saya lupa menghitung tanggal. Secara pribadi, saya hanya mengingat setidaknya Empat kejadian, pertama, sebuah acara berita di Tv menyangkan pemulangan WNI dari Wuhan yang disambut protes oleh warga Kepulauan Natuna. 

Kedua, guyonan beberapa tokoh politik yang memalukan. Ketiga, himbauan dipelbagai daerah agar sekolah-sekolah diliburkan, hingga terakhir, Ibu saya menelepon kemudian bercerita bahwa Ia hendak ke kebun mengambil temulawak, kunyit, dan beberapa jenis rempah untuk diramu sebagai obat demi menangkal wabah yang sukar Ia bahasakan ini, dan informasinya itu kusambung dengan permohonan maaf, karena demi keamanan mungkin akan menunda kepulangan.

Dan setelah hal-hal tersebut, waktu terasa berjalan lebih lambat sedang virus menjalar demikian cepatnya. Jalanan dipusat-pusat kota seketika menjadi sepi, di lorong-lorong kecil orang seperti tidak saling mengenal atau memang tak sempat saling kenal. Saya bisa merasakan kepanikan yang luar biasa terjadi diluar sana, di seluruh negeri, bahkan di setiap ruang. 

Termasuk kekhawatiran masyarakat dunia terhadap Indonesia, sedang mungkin kita merasa aman-aman saja. Itu yang celaka. Hingga detik ini, keadaan yang membaik seperti harapan bersama tak juga kunjung tiba, malah yang ada korban terus bertambah.

Tak bermaksud memperkeruh keadaan, namun sikap pemerintah di masa awal kemunculan wabah memang sangat disayangkan. Mulai dari meremehkannya, ketersediaan alat kesehatan yang tidak memadai, pemerintah yang tidak transparan dalam menginformasikan jumlah yang terinfeksi, hingga bukti keegoisan dan kebebalan DPR yang berencana lebih dulu melakukan tes. 

Dari hal-hal tersebut rasanya sangat wajar jika ada yang menyebut kita sebagai negara yang gagal. Negara baik mana yang pejabat publiknya lupa diri. Atau negara baik mana yang telah dengan teganya memanjakan investor sedang masyarakatnya terhuyung menghadapi penyakit dan kepanikan. Dan negara baik mana yang mengimpor hasil buatannya sendiri.

Lantas apakah negara atas nama pemerintah meminta maaf atas ini ?. Tentu tidak, bagaimana ada kata maaf sedang perasaan bersalah saja tak punya. Dalam kondisi yang sedemikan ruwet ini, memang kesadaran dan kesiapan mental pribadi masing-masing sangatlah dibutuhkan. Namun bukan berarti hal tersebut dijadikan alasan oleh pemerintah untuk tidak melakukan upaya pencegahan semaksimal mungkin. 

Yang dimaksud pemerintah dalam hal ini, tak cuma bidang kesehatan dan penanggulangan bencana, melainkan yang lebih utama adalah jajaran anggota DPR dan pimpinan-pimpinan pemerintahan dari daerah hingga pusat. Separah bagaimanapun, mereka berkewajiban secara tanggung jawab jabatan sekaligus "resiko politik" yang telah dimenangkannya. 

Jika moral sudah tak bisa menggetarkan hati, maka resiko politik ini harus ditanggung. Dengan cara pemotongan gaji seperti yang banyak sarankan, tidak dengan melakukan pengusiran terhadap yang bukan masyarakat lokal alias perantau (pelajar) yang nota benenya telah tinggal jauh hari sebelum wabah ini menyebar. 

Saya akhirnya berekspektasi terlalu tinggi terhadap pemerintah-pemerintah kita dengan membayangkan John Snow dalam film Game of Thrones, dimana ketika kerajaan-kerajaan kuat yang ada sedang berupaya memeperkuat armada tempur dan perekonomiannya agar bisa melakukan penyerangan di Kings Landing, ketika para raja sedang ambisiusnya untuk bisa menjadi The King of Seven Kingdoms. 

John yang percaya bahwa ancaman nyata adalah white walker bukan sesama manusia, memilih untuk bergerak menggalang kekuatan. Seperti, kehadiran online Tuan Presiden pada pertemuan negara-negara G-20 itu sudah salah satu langkah baik dibanding dengan meminta warganya untuk berwisata. 

Hal lain mungkin adalah Tuan Presiden musti mengemis ke negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai sangkut paut hutang dengan Indonesia, supaya pembayaran hutang kita selama masa perang melawan pendemi ditangguhkan dulu, demi kemanusiaan.   

Karena dalam kondisi darurat dengan rupiah yang melemah drastis, berdampak pada jumlah hutang yang bertambah tinggi pula dan akan ada kemungkinan terburuk yang tidak bisa dinafikan. Jika itu di indahkan, pemerintah pusat mungkin sudah lebih berani dan fokus mengambi langkah. 

Seperti lockdown total, melengkapi peralatan kesehatan, menjaminkan peralatan yang memadai bagi tenaga medis, dan lain sebagainya. Bagaimana dengan biayanya ?, selain pemotongan gaji seperti yang disebutkan diawal, para komunitas-komunitas bisnis kita juga sangat diharapkan membantu.

Dan saya mulai membayangkan sesuatu yang indah, orang-orang akan mulai berdiam dalam rumahnya, mereka yang tidak punya tempat tinggal akan diberi fasilitas, dan waktu-waktu tertentu para gugus-gugus tugas yang terbentuk hingga Rt/Rw akan tiba membawa bahan makanan. 

Yang sekaligus memastikan agar bahan makanan yang ada betul-betul tersalur ke dapur-dapur yang diperkirakan akan sulit menyala tungkunya. Atau jika tidak, kengerian demi kengerian akan membuntuti kita setiap hari dan sialnya, setiap kelalaian dan keterlambatan harus dibayar dengan nyawa kerabat, tetangga, termasuk diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun