Mohon tunggu...
Ki Ali
Ki Ali Mohon Tunggu... wiraswasta -

percayalah, jangan terlalu percaya. apalagi kepada saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Versi Bahasa Indonesia dari Cerkak Banyumasan] Siti

29 April 2012   15:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:58 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si gadis masih menunduk, tapi sepertinya sambil melirik. “Siti.” Lirih sekali suaranya.

Sepertinya memang gadis pemalu. Kalau aku terlalu lama mengajaknya ngobrol mungkin malah menjadikannya, Siti, tambah kikuk. Ya kalau hanya kikuk saja, kalau kemudian malah jadi sebal dan mengira aku ini ceriwis? Makanya aku pun lekas-lekas pamitan.

“Sudah hampir senja, saya duluan, Mbak Siti. Terima kasih sekali ya tehnya.”

“Ya, Mas.”

“Kapan-kapan kalau saya mampir boleh, ya? Dan jangan manggil Mas, panggil saja Kang. Ya?”

Siti hanya mengangguk. Bergegas masuk rumah, tak menungu aku keluar dari halaman.

***

Sesudah kenal dia Siti aku Dali, aku jadi sering mampir. Siti masih saja suka menunduk. Meski omongnya masih serba sedikit, tapi dari srengatnya sepertinya dia tak berkeberatan kalau aku sering mampir, entah berangkatnya entah sepulangnya mencari pisang-pisang daganganku. Mampirku pun paling cuma duduk-duduk di bawah pohon jambu air depan rumahnya. Kalau lagi duduk berdua, aku sering memperhatikannya: gadis desa yang menunduk sambil memegangi sapulidi.

Wajahnya yang hitam manis itu membuat betah siapapun yang memandang. Hidung kecil meruncing, mata hitam bening di bawah alis yang hitam tebal melengkung. Tajam sorotnya. Rambutnya melegam hitam panjang dan dikepang satu. Tubuhnya sedang, kurus tidak gemuk pun bukan. Kelihatannya pandai merawat tubuh dan memilih baju yang dipakainya. Menurutku, Siti itu apa-apanya bagus semua. Merak ati lah pokoknya. Membuatku selalu teringat-ingat akan solah-tingkahnya.

Setiap kali mampir aku cuma mengajaknya ngobrol. Ngobrol apa saja, yang penting bisa membuatku lama-lama menatapi hitam manisnya Siti. Siti, yang seringnya hanya diam saja, kadang sewot kalau tahu sedang diperhatikan.  Merengut, bibir dijebikan lalu memalingkan wajahnya. Kalau sudah begitu, kepang rambutnya aku tarik-tarik. Pasti dia menoleh, memperlihatkan jengkelnya dan menepikan tanganku. “Rika, ih..apa sih.." merengut lagi, memalingkan wajah lagi.

Tapi kukira Siti tak benar-benar jengkel. Buktinya, dia masih dan mau saja mendengarkan obrolanku. Biar hilang merengutnya, aku sering coba melucu yang membuat dia tak kuat menahan senyumnya. Terpaksanya harus tertawa, pasti gigi-gigi kecilnya yang putih rapi itu cepat-cepat ditutupi dengan tangannya yang kelihatan ringkih. Kalau Siti sudah mau tertawa, aku teruskan dengan cerita lainnya. Sambil mencuri pandang hitam manis wajahnya lagi. Dan dia akan merengut kembali jika tahu. Jika dia sampai memalingkan wajahnya, kepang satunya itu aku tarik-tarik kembali. Tapi ya itu, kukira dia memang tak benar-benar jengkel. Paling hanya mengucap, “Hiiihh..apa, sih..”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun