Pelaksanaan tes psikologi atau yang biasa disebut dengan psikotes pada Taman Kanak-kanak (TK) atau jenjang pendidikan bagi anak usia dini (usia 6 tahun atau di bawahnya) nampaknya sudah menjadi hal lumrah di masa kini. Adapun setiap sekolah TK memiliki "keleluasaan" sendiri dalam pelaksanaannya.
Misalnya, pada sekolah favorit yang memiliki jumah peminat jauh lebih banyak yang menempuh seleksi atau penjaringan calon peserta didik baru salah satunya melalui tes psikologi (ada yang menyebut tes IQ). Dengan demikian berarti pelaksanaannya sebelum peserta didik diterima di sekolah tersebut.
Psikotes menjadi salah satu sarana untuk "menolak anak" karena sekolah biasanya telah memberikan ambang batas skor calon peserta didik yang akan diterima. Misalnya sekolah menargetkan menerima siswa yang memiliki skor IQ di atas 120 (superior), maka yang di bawah skor tersebut tidak akan lolos seleksi.
Alasan lain dari pelaksanaa psikotes pada sekolah tertentu yakni sebagai tameng agar tidak "kebobolan". Sekolah telah memberikan penegasan dari awal jika tidak ingin "kerepotan" mengajari anak yang tidak "seragam" dengan murid lain pada umumnya. Jadi, tidak perlu susah-susah mengeluarkan anak tersebut karena sudah ada "penjaringan" di awal masuk.
Kedengarannya hal demikian dirasa tidak pantas dilakukan oleh sebuah lembaga sekolah. Terlebih pemerintah juga mencanangkan wajib belajar 9 tahun bahkan 12 tahun. Hal demikian mengonfirmasi bahwa anak-anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan.
Tidak bisa dipukul rata jika sekolah TK yang melaksanakan seleksi melalui tes psikologi dianggap "melawan arus". Jika kita berbaik sangka, tentu sekolah memiliki alasan logis dan realistis terkait hal tersebut.
Hasil psikotes dapat membantu melihat hal-hal yang menjadi potensi maupun petunjuk lain berkaitan dengan kondisi masing-masing murid. Misalnya ada anak yang hiperaktif, disleksia, atau autis. Mengingat diperlukan guru lain yang memiliki kompetensi khusus untuk itu.
Beralih ke yang lain, ada pula sekolah TK yang melaksanakan psikotes setelah anak diterima sebagai peserta didik. Bahkan, psikotes tersebut bukan suatu kewajiban lantaran beberapa hal seperti menyesuaikan kondisi keuangan orang tua. Karena seperti yang kita ketahui selama ini setidaknya membutuhkan biaya kisaran Rp 100.000 sampai Rp 200.000 dalam sekali tes.
Meskipun psikotes adalah istilah yang sudah lumayan akrab di telinga para orang tua di masa kini tetapi masih ada juga sekolah yang meniadakan tes tersebut. Sebagai gantinya, secara swadaya guru membentuk tim untuk melakukan observasi peserta didik. Misalnya melalui kegiatan seperti anak diminta untuk membuat puzzle atau menyusun potongan-potongan gambar yang utuh.
Sebenarnya tujuannya tidak jauh berbeda dengan tes psikologi pada umumnya. Nah, pada kegiatan observasi tersebut lebih ramah di kantong para orang tua yakni kisaran Rp 50.000 atau bahkan gratis.