Mohon tunggu...
Khusnul Kholifah
Khusnul Kholifah Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dan Pendidik

Pencinta literasi sains, parenting, dan kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Perhatikan 5 Hal Ini Saat Mengenalkan Makanan Pedas pada Anak

21 Mei 2024   01:36 Diperbarui: 22 Mei 2024   08:55 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak balita sedang makan paprika (Sumber: Shutterstock via www.besthealthmag.ca)

Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa makanan pedas memiliki daya tarik tersendiri dengan cita rasa yang sangat digemari oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Hal demikian berkaitan pula dengan keputusan masyarakat misalnya kaum ibu dalam pemilihan menu masakan keluarga.

Begitu pun yang penulis alami. Kecintaan pada makanan pedas baik berupa kudapan maupun makanan utama sepertinya sudah "mendarah daging" sejak kecil. Menu masakan pun tidak jauh-jauh dari rasa pedas. Setiap hidangan yang tersaji, sambal cabai hampir tidak pernah absen dari meja makan.

Akan tetapi, hal demikian tidak berlangsung terus-menerus. Lantaran penulis juga harus memikirkan menu makanan untuk si kecil yang masih berusia balita. Rasa-rasanya ada yang perlu direvisi terkait menu masakan keluarga karena beberapa hal.

Penulis merasa "kerepotan" jika harus membuat dua macam atau dua set menu setiap hari karena si kecil belum bisa makan pedas. Karena selama ini jika tidak ada sambal di meja makan, penulis memasak hidangan yang cenderung memiliki rasa pedas misalnya tumis kangkung dengan irisan cabai yang banyak, opor ayam pedas, dan sebagainya.

Seiring bertambahnya usia si kecil, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengambil jalan tengah. Di mana mulai terbersit upaya untuk mengenalkan si kecil dengan rasa pedas namun tetap berpedoman pada "zona aman dan nyaman".

Sumber: ibupedia.com.
Sumber: ibupedia.com.

Di samping itu, selama ini penulis rieweh dengan pemilihan menu makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup menyita waktu dan tenaga. Karena si kecil sudah semakin besar, maka tidak ada salahnya dicoba untuk mengenalkannya pada makanan pedas secara bertahap.

Penulis memikirkan bagaimana cara agar si kecil mulai makan makanan menu keluarga yang cukup memasak satu set menu saja. Sepertinya hal demikian kelak juga akan membuat si kecil tidak pilih-pilih makanan. Apa yang tersaji di meja makan, itulah yang akan ia santap bersama keluarga.

Pada akhirnya penulis mulai merancang menu sederhana yang memungkinkan si kecil tertarik. Tentunya dengan tambahan sedikit komponen bumbu pedas diantaranya seperti cabai, merica atau lada, paprika, jahe, dan lain-lain.

Adapun menu yang penulis "uji cobakan" pada si kecil seperti (1) sop ayam dengan sedikit merica, (2) soto daging dengan sedikit jahe, (3) tumis wortel, tempe, dan kacang panjang dengan irisan cabai merah, (4) sayur lodeh dan sayur nangka muda dengan satu buah cabai domba dan 1 buah cabai merah keriting, dan masih banyak lagi.

Pada permulaan pengenalan, si kecil selalu "bermandikan keringat" setelah makan makanan tersebut. Bahkan ada kalanya si kecil tidak menghabiskan porsi makannya di piring. Tentu saja pemandangan tersebut tetap penulis indahkan.

Akhirnya, penulis memberikan selang-seling menu makan pada si kecil antara makanan mengandung rasa pedas dan yang tidak.

Ilustrasi sambal cabai favorit masyarakat Indonesia pencinta pedas | Sumber: sarihusada.co.id.
Ilustrasi sambal cabai favorit masyarakat Indonesia pencinta pedas | Sumber: sarihusada.co.id.

Dampak Makanan Pedas pada Anak

Bukan tanpa alasan penulis memberikan makanan pedas pada si kecil. Tentunya melalui berbagai pertimbangan dan diskusi bersama ayah si kecil. Mengingat makanan pedas merupakan menu yang baru baginya.

Adapun dampak positif yang penulis rasakan ketika mengenalkan makanan pedas pada si kecil, yaitu :

Pertama, dengan mengambil jalan tengah mengikuti ritme menu makanan si kecil yang tidak terlalu pedas, maka penulis menjadi turut mengontrol konsumsi makanan pedas. Salah satunya sebagai upaya menjaga kesehatan pencernaan keluarga.

Mengingat tantangan makanan pedas populer masa kini terutama yang sedang viral, turut mewarnai ragam makanan yang tidak membosankan serta selalu ada "inovasi" baru. Ada seblak jontor, baso aci berbagai level kepedasan, dan ragam makanan lainnya yang berpelengkap dengan chili oil.

Kedua, anak tidak picky eater atau memilih-milih makanan. Kebiasaan makan dengan menu yang sama dengan orangtuanya membuat anak menjadi mudah untuk dikenalkan dengan berbagai menu baru yang sederhana, aman, dan menyehatkan.

Akan tetapi, penulis pun tetap perlu mewaspadai dampak negatif yang kemungkinan akan timbul lantaran anak mengonsumsi makanan pedas baik pada camilan maupun menu utama. Mengingat dampak negatif yang kemungkinan muncul seperti iritasi, gangguan pencernaan, diare akut, mulut dan tenggorokan panas, hingga sakit perut.

Lalu, hal-hal apa saja yang harus diperhatikan ketika mengenalkan makanan pedas pada anak?

Berdasarkan pengalaman penulis, beberapa hal yang harus diperhatikan ketika orang tua ingin mengenalkan makanan pedas pada anak antara lain sebagai berikut :

1. Lakukan secara bertahap dan dalam porsi sedikit.

Lakukan adaptasi terlebih dahulu dengan mengenalkan anak pada menu makanan yang dicampur dengan bumbu masakan berbahan rempah (alami) dengan porsi sedikit seperti jahe, lada, bawang putih, dan sebagainya. Sebagai contoh penggunaan jahe dan merica pada masakan soto ayam dan sop.

Jangan dipaksa apabila anak menolaknya bahkan hingga menangis atau merasa kepedasan. Apalagi terdapat intoleran pada anak misalnya berupa alergi setelah mengonsumsinya. Maka sebaiknya perhatikan reaksi pada tubuh anak, dalam kondisi aman dan nyaman atau tidak setelah makan pedas.

Apabila hal yang tidak diinginkan terjadi, maka sebaiknya orang tua menghentikan sementara pemberian makanan yang mengandung rasa pedas pada anak.

2. Perhatikan frekuensi konsumsi pedas.

Orang tua bisa mengatur jadwal menu makanan keluarga secara bergantian antara menu yang pedas dan yang tidak. Hal demikian sebagai antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Misalnya, ayam goreng tepung atau udang krispi dengan sayur bening. Apabila orang tua mengingingkan rasa pedas, sesekali saus cabai kemasan bisa menjadi pilihan.

Dengan memperhatikan frekuensi konsumsi pedas, maka orang tua bisa mengontrol agar anak tidak terlalu sering mengonsumsi makanan pedas yang ternyata membuat anak menyukainya.

3. Menetralisir rasa pedas apabila anak kepedasan.

Setelah mengonsumsi makanan pedas, sebaiknya anak minum air putih hangat sebagai penetral rasa pedas. Air hangat dapat membuat rasa lebih nyaman di usus karena biasanya makanan pedas identik dengan masakan yang mengandung minyak.

Selain itu, apabila anak masih merasa kepedasan maka bisa mengonsumsi makanan atau minuman manis seperti susu, madu, yogurt, gula, dan roti untuk menetralkan rasa pedas.

4. Memantau tekstur pup dan intensitas buang air besar (BAB) harian.

Orang tua senantiasa mewaspadai gejala seperti misalnya diare, sakit perut, mulut kemerahan, perut mulas, dan mual pada anak. Mengingat setiap anak memiliki toleransi tingkat kepedasan yang subjektif atau berbeda-beda.

Oleh karena makanan pedas cenderung mempercepat proses metabolisme, maka waspadai apabila misalnya anak BAB lebih dari tiga kali dalam sehari dengan tekstur yang tidak seperti biasanya (tidak normal).

5. Sampaikan konsekuensi logis tentang makan pedas berlebih.

Apabila dijumpai anak dengan toleransi pedas setara dengan orang dewasa, maka orang tua patut "was-was". Dengan demikian orang tua bisa mengambil langkah tepat agar anak tidak ketergantungan terhadap rasa pedas yang dapat membahayakan pencernaan di usia belia (muda).

Oleh sebab itu, pentingnya orang tua menyampaikan beberapa hal kepada anak terkait konsekuensi logis apabila anak makan makanan pedas secara berlebihan seperti perut mulas, diare, suara serak, keringat berlebihan, radang pada lapisan lambung, dan sebagainya.

*****

Tidak ada aturan pasti usia anak dikenalkan pada makanan pedas. Adapun sebagai anjuran dari ahli gizi, sebaiknya makanan pedas dikenalkan ketika anak sudah mencapai usia 2 tahun dengan pertimbangan organ-organ pencernaan sudah berkembang sempurna.

Pada praktiknya, berdasarkan pada pengalaman yang penulis terapkan pada si kecil dalam mengenalkan makanan pedas telah memberikan beberapa keuntungan. Tentunya dengan memperhatikan beberapa hal agar tidak ngasal. Salah satunya dengan cara memberikan makanan dengan tingkat kepedasan yang rendah.

Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, apalagi menyangkut menu makanan yang berimbas pada status kesehatan. Oleh karena itu, pentingnya orang tua juga paham tentang konsumsi makanan pedas dalam jumlah yang wajar. Mengingat tidak semua anak (misalnya balita) tidak tahan pedas, ada juga balita yang senang makan pedas. Ada yang langsung menolak, ada pula yang dapat menerima.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun