Mohon tunggu...
Khusnul Kholifah
Khusnul Kholifah Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dan Pendidik

Pencinta literasi sains, parenting, dan kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Yuk! Sapih Gawai pada Anak melalui Kegiatan Bermain Puzzle

6 Februari 2024   22:51 Diperbarui: 11 Februari 2024   00:47 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak sedang mencocokkan kepingan puzzle | Sumber: Freepik

Gawai merupakan salah satu piranti elektronik yang menjangkau semua usia. Di balik ragam fungsinya, gawai juga bisa menjadi pisau bermata dua baik bagi orang dewasa maupun anak-anak. 

Terlebih pada anak-anak, gawai adalah sebuah momok bagi para orang tua terutama pada anak yang sudah cenderung mengalami kecanduan atau adiksi pada instrumen ini.

Gawai yang pada awal mula kemunculannya adalah berfungsi sebagai sarana komunikasi, kini merambah bahkan beralih fungsi menjadi media screen time pada anak-anak. Lantas dewasa ini, alat komunikasi tersebut berubah haluan fungsinya menjadi media yang "akrab" dengan anak-anak.

Jika para orangtua tidak memberikan perhatian penuh terhadap durasi screen time pada anak, besar kemungkinan akan melahirkan persoalan baru dalam proses pengasuhannya. 

Persoalan tersebut meliputi tantrum anak karena gawai, kebiasaan buruk anak yang makan harus ditemani oleh gawai, malas bergerak karena berjam-jam screen time di atas kasur, dan masih banyak lagi.

Perlu kita ingat kembali bahwa dampak buruk dari screen time berlebihan bukan sekadar membuat anak lupa diri dan lupa waktu, namun juga membuat anak menjadi pribadi yang pasif. Padahal, salah satu ciri anak yang memiliki tumbuh kembang optimal adalah anak yang aktif. Bukan aktif bermain gadget atau gawai melainkan aktif pada permainan yang menunjang kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif, dan sebagainya.

Jika para orangtua menemukan kondisi demikian terhadap anak, maka sapih gawai adalah solusinya. Sebenarnya, banyak sekali mainan edukasi masa kini yang mampu menjadi alternatif bagi anak agar terhindar dari screen time berlarut-larut karena gawai. Salah satunya adalah mainan puzzle.

Lebih dekat dengan puzzle

Puzzle atau jigsaw puzzle atau mainan bongkar pasang merupakan sebuah permainan berupa penyusunan kepingan-kepingan dengan beragam bentuk untuk membentuk suatu gambar yang utuh. Pada umumnya puzzle yang sering dijumpai terbuat dari kayu, plastik, dan kertas. Masing-masing bahan memiliki kelemahan dan kelebihan.

Jenis puzzle pun sangat beragam contohnya puzzle kayu berbentuk buah-buahan, angka, huruf, binatang, dan masih banyak lagi. Selain itu ada puzzle kayu aneka gambar, bentuk, timbul, 3D, blok, balok, hingga magnetic puzzle book.

Dikutip dari sumber instagram vijiclinic, VIJI terapis, perkembangan bermain puzzle pada jumlah keping berdasarkan usia sebagai berikut:

  • 0-1 tahun 3 keping
  • 1 tahun 3-8 keping
  • 2 tahun 5-16 keping
  • 3 tahun 8-24 keping
  • 4 tahun 30-48 keping
  • 5 tahun 60-80 keping
  • 6 tahun >100 keping

Teringat penulis pertama kali membelikan beberapa macam puzzle berbahan kayu untuk si kecil pada usia 18 bulan (1,5 tahun) seharga Rp5.000 - Rp50.000 di salah satu lokapasar. Bentuk kepingan atau bagian puzzle tersebut meliputi geometri, buah-buahan, alat tranportasi, binatang, dan sebagainya.

Beberapa koleksi puzzle si kecil (Dokumentasi pribadi)
Beberapa koleksi puzzle si kecil (Dokumentasi pribadi)

Beberapa waktu kemudian ayah si kecil juga membelikan puzzle sejumlah 100 keping dengan keterangan pada kemasan untuk anak usia di atas 5 tahun. Jadi, penulis belum memberikannya kepada si kecil dengan alasan kemampuan di usianya yang baru menginjak 4 tahun.

Beberapa kali si kecil penasaran membuka kemasan puzzle tersebut dan mencoba menyusunnya. Namun, yang didapati raut wajahnya yang menggerutu tanda dia berada dalam kesulitan menyusun kepingan yang berjumlah 100 biji.

Puzzle terdiri dari 100 keping (Dokumentasi pribadi)
Puzzle terdiri dari 100 keping (Dokumentasi pribadi)

Suatu waktu puzzle 100 keping sempat tersusun utuh namun orangtuanya yang menyelesaikan. Jadi saya berkesimpulan, nampaknya tidak usah berburu-buru menambah jumlah kepingan dalam melatih anak bermain puzzle. Biarkan anak menikmati proses penyusunan keping demi keping sesuai kemampuannya.

Aktivitas bermain puzzle si kecil juga didukung ketika di sekolah. Beberapa kali ibu gurunya menyelipkan kegiatan bermain puzzle baik secara individu maupun berkelompok.

Puzzle sebagai mainan edukasi anak

Dalam mengenalkan permainan puzzle pada anak, sebaiknya orangtua memperhatikan beberapa hal. 

Pertama, memilih puzzle dengan bahan yang ramah lingkungan dan ramah anak. 

Kedua, memilih puzzle sesuai dengan jenjang usia, jumlah potongan, dan tingkat kesulitannya. 

Ketiga, memperhatikan jumlah, ukuran, dan bentuk kepingan puzzle misalnya yang sesuai dengan karakter favorit anak. 

Keempat, senantiasa mendampingi dan memantau ketika anak sedang bermain puzzle.

Adanya pengawasan dari orangtua atau pengasuh terhadap anak dapat meminimalisir terjadinya kepingan puzzle yang termakan terutama pada anak di bawah usia 2 tahun. 

Selain itu, dengan menemani anak, akan menghindarkan anak mengalami stres karena menemukan kesulitan saat bermain. Sesekali orangtua bisa membantu dan mengarahkan anak dalam bermain puzzle.

Keberadaan permainan puzzle dapat menjadi alternatif dalam menyapih anak dari gawai. Oleh sebab itu, berikut penulis sampaikan 4 kemampuan atau skill dasar pada anak yang dapat terasah dalam permainan puzzle.

1. Kemampuan fisik, meliputi kemampuan anak untuk mengoordinasikan mata dan tangan, mengangkat kepingan puzzle, hingga menyusunnya menjadi bentuk utuh.

2. Kemampuan kognitif, meliputi kemampuan anak untuk mengasah daya ingatnya dalam menyusun puzzle menjadi bentuk sempurna.

3. Kemampuan emosional, meliputi kemampuan anak untuk tetap tenang, bersabar, dan berkonsentrasi dalam menyelesaikan kepingan puzzle.

4. Kemampuan sosial, meliputi kemampuan anak untuk belajar bersosialisasi melalui kegiatan bermain puzzle secara bersama-sama dengan teman sebayanya sehingga terjalin komunikasi, kerja sama dan interaksi yang baik.

Jika sebuah teori menyatakan bahwa mencegah demensia atau pikun pada lansia bisa dengan terapi puzzle, maka sama halnya untuk anak-anak. Untuk melatih daya ingat, biarkan anak mencobanya.

Bahkan mulai dari bentuk yang paling sederhana pun menuntut anak untuk berpikir bagaimana menyelesaikannya secepat mungkin. Dengan demikian, kreativitas dan memori anak pun semakin terlatih dengan permainan ini.

Puzzle melatih anak menjadi "Problem Solver"

Dalam permainan puzzle tidak bisa diselesaikan menggunakan cara curang. Anak harus meletakkan kepingan demi kepingan sesuai pada tempatnya. Oleh sebab itu, hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi anak.

Melalui permainan puzzle, anak dirangsang untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah. Masalah yang dihadapi anak tentunya tidak sama dengan orang dewasa. Sehingga tujuan anak memiliki kemampuan "problem solving" untuk membantu mereka mengatasi persoalan dengan baik.

Persoalan anak misalnya masalah berebut mainan dengan teman sebaya, perbedaan pendapat dengan teman, kesulitan memahami aturan bermain, mengeksplorasi dunianya, atau saat anak mengerjakan tugas-tugas di sekolah. Selanjutnya, upaya pemecahan masalah tersebut akan berkembang sesuai tahapan usia dan tahap perkembangannya.

Dikuti dari journal.uny.ac.id, dalam sebuah penelitian berjudul Pentingnya Mendidik Problem Solving Pada Anak Melalui Bermain, bahwa keterampilan memecahkan masalah berkaitan dengan bagaimana anak berpikir, memahami, dan mendapatkan pemahaman akan dunianya. Termasuk juga kemampuan mengingat, memecahkan masalah, dan membuat keputusan.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka melalui kegiatan bermain puzzle, anak dapat terlatih, terstimulasi, dan tersimulasi untuk terampil mengambil keputusan, sanggup mandiri, serta tangguh dalam menghadapi kesulitan.

***

Jadi, di balik beragam mainan edukatif yang menjamur di berbagai lokapasar, orangtua sebaiknya tidak asal "borong" namun perlu memfilter untuk mengetahui efektivitas dan efisiensinya sesuai manfaat, kebutuhan, dan usia anak.

Jika kebutuhannya sebagai sapih gawai, maka fokuskanlah pada satu atau dua mainan edukatif yang dapat menjadi alternatifnya. Selain bermain puzzle bisa juga melalui kegiatan membacakan buku misalnya. Untuk menghindari rasa bosan pada anak, diperlukan variasi permainan seru lainnya sebagai penunjang agar anak "lupa" pada gawainya.

Orangtua sebagai pemeran utama dalam proses pengasuhan anak, jangan sampai terjebak dalam perkembangan zaman yang berbingkai kemajuan teknologi yang kian masif. Dengan demikian, orangtua sebaiknya memiliki rem atau daya kendali agar anak bertumbuh-kembang baik dan optimal seiring dengan perkembangan zaman.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun