Mohon tunggu...
Khusnul Kholifah
Khusnul Kholifah Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dan Pendidik

Pencinta literasi sains, parenting, dan kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Simak 10 Tips Bertahan Hidup di Jakarta dengan Biaya Hidup Tertinggi di Indonesia

11 Januari 2024   15:35 Diperbarui: 15 Januari 2024   12:46 4122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung-gedung tinggi dan permukiman warga (sumber : freepik)

Pada pertengahan Desember 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bertajuk Survei Biaya Hidup (SBH) dengan hasil bahwa Jakarta menjadi kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, rata-rata biaya hidup di Jakarta mencapai Rp 14.884.110, disusul oleh kota Bekasi dengan urutan kedua yaitu Rp 14.335.418, dan urutan ketiga yaitu kota Surabaya Rp 13.357.751.

Sumber : instagram katadataid
Sumber : instagram katadataid

Adapun kota-kota berikutnya yang masuk daftar 10 kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia secara berurutan yaitu Depok, Makassar, Tangerang, Bogor, Kendari, Batam, dan Balikpapan. Data survei yang disampaikan oleh BPS pun benar adanya karena badan ini memiliki data valid yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai metode tertentu yang digunakannya.

Lalu, relevankah data tersebut dengan kondisi masyarakat Jakarta terkini?

Mengingat besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta Tahun 2024 sekitah Rp 5 juta, sedangkan biaya hidup di kota metropolitan ini hampir menyentuh angka Rp 15 juta. Hal tersebut mengonfirmasi bahwa kondisi ini berbanding terbalik dengan realita rata-rata gaji pekerja di Jakarta.

Angka biaya hidup yang dirilis oleh BPS merupakan rata-rata sehingga tidak menggambarkan biaya hidup masyarakat Jakarta seluruhnya atau bergantung pada masing-masing wilayah Jakarta itu sendiri.

Secara garis besar biaya hidup (living cost atau cost of living) meliputi : (1) biaya tempat tinggal, (2) listrik, internet, air, dan bahan bakar, (3) biaya konsumsi seperti makanan dan minuman, (4) biaya transportasi, (5) biaya pendidikan anak, (6) biaya kesehatan, dan (7) biaya lain-lain seperti dana darurat, pajak dan kewajiban, perawatan dan jasa, hiburan, gaya hidup, dan sebagainya.

Mendengar kata Jakarta, orang-orang akan berpendapat beragam hal tentang kota ini. Ada yang mengatakan Jakarta identik dengan gedung-gedung tinggi menjulang yang menyediakan lapangan pekerjaan dengan gaji menggiurkan.

Ada yang berpendapat bahwa Jakarta merupakan representasi kehidupan perkotaan yang dinamis atau kota 24 jam atau kota sibuk yang juga rawan kemacetan dan polusi udara.

Ada pula yang "terpesona" dengan Jakarta karena keberadaannya sebagai kawasan pusat perputaran ekonomi serta pusat pendidikan yang bergengsi dan bereputasi yang didukung oleh kemajuan teknologi modern. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa Jakarta adalah kota "langganan" banjir.

Satu lagi, bagi pencinta shopping, Jakarta dikelilingi pusat perbelanjaan seperti mall yang bisa jadi jumlahnya terbanyak di dunia seperti Plaza Indonesia, Grand Indonesia, dan lain-lain.

Jakarta dihuni oleh penduduk tetap dan pendatang. Di kota ini pula tidak sedikit dijumpai warga dari berbagai daerah di penjuru nusantara yang hijrah ke ibu kota untuk mencari pekerjaan meski disadari bahwa di kota ini "serba mahal" namun juga diimbangi dengan upah minimum yang tinggi dibandingan dengan daerah lain.

Potret ketimpangan ekonomi di Jakarta

Tingkat ketimpangan ekonomi penduduk DKI Jakarta terus meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara pendapatan penduduk kelas atas dan kelas bawah di Jakarta semakin tinggi.

Di tengah megahnya gedung-gedung, masih ada lingkungan yang menjadi "pusat perhatian" seperti permukiman padat penduduk yang kurang terjaga kebersihan lingkungannya.

Di tengah kesuksesan para elite, masih ada gerobak-gerobak musik yang didorong untuk mengamen dan gerobak pemulung yang bahkan membawa anak-anaknya di dalam gerobak.

Di tengah pusat perbelanjaan dan restoran yang mewah, masih ada bapak-bapak yang bersandar di bawah pohon sambil membawa cangkul menanti adanya panggilan untuk menggali lubang pemakaman. Jika tiba hari jumat, maka mereka juga menunggu jumat berbagi yakni kebiasaan baik para orang baik yang rutin membagikan makanan kepada mereka.

Mari kita renungi dan resapi bahwa angka Rp 15 juta dan UMP Rp 5 juta ternyata masih banyak yang tidak terjamah oleh mereka yang setiap harinya mengandalkan pekerjaan yang hasilnya tidak menentu. Ketimpangan ekonomi nyata keberadaannya di ibu kota.

Gaya hidup di Jakarta

Di Jakarta, banyak dijumpai pemandangan setiap hari masyarakat yang hobi ngemall, staycation, makan di luar, dan sebagainya. Akses yang begitu mudah bagi mereka "yang ber-uang" untuk mengunjungi berbagai pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan acara budaya.

Namun, perlu kita ketahui pula bahwa masih dijumpai ibu rumah tangga yang hanya membeli setengah liter beras pandan wangi yang harga satu liternya Rp 15.000 di warung. Beras tersebut ketika dimasak akan dicampur dengan beras jenis lain yang memungkinkan harganya lebih murah.

Kita memang tidak serta merta menyalahkan gaya hidup pada seseorang karena faktor pemicunya beragam. Namun, untuk bisa menekan efektivitas dan efisiensi pengeluaran, tidak ada salahnya kita untuk mengevaluasi seberapa hemat atau boroskah kita.

Sebagai contoh faktual, pada salah satu video yang diunggah di media sosial membahas tentang cukup tidaknya gaji Rp 4 juta di Jakarta. Video tersebut melibatkan wawancara kepada 4 orang responden usia produktif yang tinggal di Jakarta. Alhasil, diperoleh jawaban yang berbeda-beda dari keempat responden.

Pada responden pertama, seketika menjawab bahwa gaji Rp 4 juta tidak cukup karena biaya kost-nya saja per bulan Rp 3,5 juta sehingga tidak cukup untuk biaya makan. Harapannya gaji paling tidak sekitar Rp 7 - 8 juta tiap bulan dan itupun ngepress.

Pada responden kedua, menganggap bahwa gaji Rp 4 juta akan cukup jika diimbangi dengan berpuasa. Dia menambahkan bahwa harga sepatu saja Rp 5 juta.

Pada responden ketiga, menurutnya gaji Rp 4 juta cukup tapi alangkah lebih baiknya ditambahi sedikit misal menjadi Rp 5 juta per bulan mengingat dia tidak kos serta terbiasa membawa bekal makanan dari rumah. Untuk transportasinya menggunakan Trans Jakarta dan LRT.

Pada responden keempat, menjawab bahwa gaji Rp 4 juta tidak cukup baginya karena untuk biaya transportasi serta makan sehari-hari dan lain-lain. Harapannya, paling tidak gaji Rp 10 juta per bulan.

Dari keempat responden di atas dapat diambil kesimpulan bahwa besar kecilnya gaji bergantung pada kondisi masing-masing dengan mempertimbangkan beberapa hal tertentu.

Apakah gaya hidup yang membuat semuanya nampak jadi berat?

Oleh sebab itu, kita harus mengetahui faktor pemicu timbulnya gaya hidup seseorang.

Pertama, faktor profesi atau pekerjaan yang harus ditunjang dengan penampilan sempurna dan paripurna yang memberikan kesan rapi, bersih, dan bermartabat. Dan itu membutuhkan objek penunjang beserta printilan-printilannya yang tentunya membutuhkan dana.

Kedua, faktor rivalitas atau persaingan yang sekadar pemenuhan ambisi keinginan belaka. Jangan sampai terjebak dalam kata-kata "biaya hidup di Jakarta itu murah, yang mahal adalah gengsimu".

Ketiga, faktor prinsip ekonomi yang tidak tepat yaitu besar pasak dari pada tiang karena besarnya daya konsumsi dari pada kemampuan keuangan yang dimiliki.

Keempat, faktor pola pikir yang menghantarkan pada mindset bahwa kalau tidak mengikuti lifestyle maka nyali menjadi ciut, tidak percaya diri, dan takut dianggap tidak sukses. Padahal definisi sukses bukan semata-mata dari apa yang kita lihat di pelupuk mata.

Mungkin perlu banyak belajar dari Mark Zuckerberg kali ya sosok sukses yang penampilannya begitu sederhana.

Tips bertahan hidup di Jakarta

Jika kita berpegang pada prinsip ekonomi, maka setidaknya kita bisa mengatur ritme pengeluaran dengan sebaik-baiknya. Berikut beberapa tips yang semoga bisa dilakukan sebagai upaya pengelolaan finansial yang sehat tinggal di Jakarta.

1. Apabila kamu belum memiliki rumah, pertimbangkanlah secara mendalam keputusan untuk memilih kos, apartemen, atau kontrakan dengan menyesuaikan kemampuan dan kebutuhan. Misalnya, jika kamu seorang mahasiswa maka kos pilihan yang tepat. Jika memilih rumah kontrakan biasanya untuk kamu yang sudah berkeluarga. Semua biaya bergantung pada lokasi dan fasilitas yang ditawarkan.

2. Menekan pengeluaran dengan memaksimalkan fasilitas dari pemerintah misalnya transportasi. Pilihan moda transportasi disesuaikan. Jika dirasa pergi kerja bisa dijangkau dengan transportasi umum seperti Trans Jakarta, KRL, LRT, MRT, dan sebagainya, itu lebih baik. Namun memang harus mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi jarak dan waktu tempuh. Transportasi publik yang semakin baik memudahkan akses warga untuk beraktivitas tanpa harus memiliki kendaraan pribadi.

3. Memperbaiki lingkaran pertemanan. Jika circle pertemanan kamu mengharuskan adanya pertemuan di tiap pekan dengan nongkrong di kafe atau foodcourt di pusat perbelanjaan, ada baiknya ditinjau ulang lagi intensitasnya dan faedahnya agar tidak menjurus kepada pemborosan.

4. Menurunkan ego dan harus realistis. Jika memang gaji dirasa "kecil", maka lebih baik menyiasati dengan membawa perbekalan seperti makan dan minum dari rumah atau makan di warteg yang murah meriah dengan mempertimbangkan kebersihannya.

5. Menyadari bahwa kini dalam memilih sekolah anak pun mulai ke arah lifestyle, maka pertimbangkan dengan matang dengan segala kekurangan dan kelebihannya sesuai kemampuan keuangan.

6. Menekan pengeluaran konsumtif dan mengutamakan kebutuhan pokok. Seperti membatasi konsumsi melalui metode budgeting pada make up, skincare, jajan, makan, dan pakaian. Pada makanan tentunya mengutamakan asupan gizi dan ingat bahwa yang bergizi tidak selalu mahal. Jika sempat, memasak adalah pilihan yang tepat.

Berusaha mengendalikan diri di tengah menjamurnya e-commerce. Membeli barang pun yang harganya agak mahal tidak masalah namun terjamin kualitas dan keawetannya.

7. Memangkas pengeluaran belanja karena "khilaf" yang biasanya terjadi ketika kamu berbelanja di supermarket. Pasar tradisional dan warung tetangga bisa menjadi alternatif untuk berbelanja meskipun sesekali kita juga tidak masalah belanja di supermarket sambil cuci mata.

8. Menggunakan kebutuhan komunikasi seperti internet secara wajar dan tidak berlebihan. Zaman sudah serba digital, maka selain untuk komunikasi dan kepentingan pekerjaan, internet juga dapat digunakan sebagai sarana pengembangan softskill dan hardskill kamu misalnya dengan mengikuti kursus online gratis atau biaya terjangkau.

9. Membuat rencana daftar dan anggaran belanja bulanan dengan skala prioritas tiap awal bulan. Jika perlu, mencatat semua pengeluaran.

10. Memiliki pekerjaan sampingan dan mulai menabung. Sebagai pengingat bahwa keberadaan uang bukan sekadar konsumtif namun harus diarahkan ke produktif untuk meningkatan pemasukan.

Perlu diketahui bahwa naiknya biaya hidup dipengaruhi adanya perubahan pola dan nilai konsumsi. Pola konsumsi berubah karena perkembangan teknologi, pendapatan perkapita, kondisi pasar, dan sebagainya.

Untuk kamu yang bergaji UMP, semoga bisa konsisten dan komitmen mengatur dan mengelola keuangan dengan baik. Untuk kamu yang bergaji tinggi, jangan lupa untuk berbagi.

Bagi kamu yang sudah berkeluarga dan sedang membiayai pendidikan anak, semoga rizki senantiasa dimudahkan dan dilancarkan serta digunakan dengan sebaik-baiknya.

Mari kita senantiasa mensyukuri apa yang kita miliki seperti jiwa dan raga yang sehat, lingkungan tempat tinggal mendukung tumbuh kembang anak, sanitasi yang baik, dan tetangga yang ramah.

Memampukan diri tidak sama dengan memaksakan diri akan tetapi lebih kepada upaya memantaskan diri untuk bertahan sesuai dengan kemampuan untuk pemenuhan kebutuhan hidup atau biaya hidup. Semoga dimampukan bertahan di ibu kota tercinta ini yang sebentar lagi "pensiun".

Mari meningkatkan kebiasaan mengatur keuangan yang sehat. Mengupayakan untuk menekankan kesadaran diri dalam membelanjakan uang untuk mencapai kebebasan finansial dan tantangan kualitas hidup yang baik di Jakarta.

Jadi, meskipun BPS mencatat bahwa biaya hidup di Jakarta merupakan yang termahal se-Indonesia, semoga kita dimampukan untuk bertahan hidup di kota ini dengan segala konsekuensinya. Terus berdoa, percaya dan yakini bahwa proses yang kita jalani akan dimudahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun