Kita memang tidak serta merta menyalahkan gaya hidup pada seseorang karena faktor pemicunya beragam. Namun, untuk bisa menekan efektivitas dan efisiensi pengeluaran, tidak ada salahnya kita untuk mengevaluasi seberapa hemat atau boroskah kita.
Sebagai contoh faktual, pada salah satu video yang diunggah di media sosial membahas tentang cukup tidaknya gaji Rp 4 juta di Jakarta. Video tersebut melibatkan wawancara kepada 4 orang responden usia produktif yang tinggal di Jakarta. Alhasil, diperoleh jawaban yang berbeda-beda dari keempat responden.
Pada responden pertama, seketika menjawab bahwa gaji Rp 4 juta tidak cukup karena biaya kost-nya saja per bulan Rp 3,5 juta sehingga tidak cukup untuk biaya makan. Harapannya gaji paling tidak sekitar Rp 7 - 8 juta tiap bulan dan itupun ngepress.
Pada responden kedua, menganggap bahwa gaji Rp 4 juta akan cukup jika diimbangi dengan berpuasa. Dia menambahkan bahwa harga sepatu saja Rp 5 juta.
Pada responden ketiga, menurutnya gaji Rp 4 juta cukup tapi alangkah lebih baiknya ditambahi sedikit misal menjadi Rp 5 juta per bulan mengingat dia tidak kos serta terbiasa membawa bekal makanan dari rumah. Untuk transportasinya menggunakan Trans Jakarta dan LRT.
Pada responden keempat, menjawab bahwa gaji Rp 4 juta tidak cukup baginya karena untuk biaya transportasi serta makan sehari-hari dan lain-lain. Harapannya, paling tidak gaji Rp 10 juta per bulan.
Dari keempat responden di atas dapat diambil kesimpulan bahwa besar kecilnya gaji bergantung pada kondisi masing-masing dengan mempertimbangkan beberapa hal tertentu.
Apakah gaya hidup yang membuat semuanya nampak jadi berat?
Oleh sebab itu, kita harus mengetahui faktor pemicu timbulnya gaya hidup seseorang.
Pertama, faktor profesi atau pekerjaan yang harus ditunjang dengan penampilan sempurna dan paripurna yang memberikan kesan rapi, bersih, dan bermartabat. Dan itu membutuhkan objek penunjang beserta printilan-printilannya yang tentunya membutuhkan dana.
Kedua, faktor rivalitas atau persaingan yang sekadar pemenuhan ambisi keinginan belaka. Jangan sampai terjebak dalam kata-kata "biaya hidup di Jakarta itu murah, yang mahal adalah gengsimu".