Pada suatu malam menjelang tidur si kecil, terjadi percakapan “serius” antara saya dan si kecil di atas kasur.
“Ummi sana lanjut buat tugas, kakak mau tidur sendiri,” ucap si kecil yang terbiasa menyebut dirinya sendiri “kakak”.
“Nanti ya, kepala ummi masih sakit. Ummi mau nemeni kakak tidur dulu, boleh?,” jawab saya.
“Udah sana ummi lanjut buat tugas, selesaikan dulu!,” tambahnya.
Dengan rasa sedikit kecewa, saya membatin. Kok kakak tidak respek sama ibunya yang sedang sakit kepala, ya. Tidak ada inisiatif apa, gitu.
Alhasil, saya coba pancing dengan sebuah kata-kata.
“Aduh, kepala ummi masih sakit banget nih. Kakak kok tidak mendoakan ummi biar cepat sembuh,” ucap saya dengan nada menggerutu.
“Iya, Ya Allah semoga sakit kepala ummi lekas sembuh biar cepat bikin tugas, Ya Allah,” tetiba kalimat tersebut terlontar dari mulut mungilnya.
Kepala saya serasa diguyur air, terasa sejuk kata-katanya.
Saya menyampaikan terima kasih kepadanya. Tidak sampai satu menit, si kecil kembali meminta saya untuk melanjutkan dan menyelesaikan tugas lagi. Dalam hati masih menggerutu, tetapi harus saya sadari bahwa anak saya baru saja berusia 4 tahun, jangan diambil hati, saya membatin.