Sungguh pilu rasanya pertama kali mengetahui berita pembunuhan ini. Terlepas dari bagaimanapun kondisi kejiwaan sang ayah sekaligus tersangka pembunuhan, menghilangkan nyawa orang adalah tindakan keliru, keji, dan sama sekali tidak dibenarkan. Apalagi yang dihilangkan nyawanya adalah anak-anaknya, bukan cuma satu bahkan empat anak sekaligus. Sungguh miris rasanya.
Anak-anaknya masih kecil, usia dimana anak-anak sedang menikmati dunianya untuk bermain dan bermain. Sungguh kabar ini sangat menyesakkan dada apalagi saya juga seorang ibu yang memiliki anak seumuran dengan mereka.
Bagaimana kondisi terkini Ibunya?
Ingin sekali rasanya memelukmu erat, Bu.
Tak pelak sang ibu harus menghadapi kepahitan bertubi-tubi. Setelah tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialaminya oleh sang suami, kini sang ibu harus mengikhlaskan dan merelakan keempat malaikat kecilnya kembali ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa dengan cara yang "tidak wajar". Belum lagi kondisi kesehatan fisiknya pulih sempurna, kini disusul kesehatan psikisnya yang sangat tidak baik-baik saja.
Banyak sekali pemicu KDRT, diantaranya : (1) perselingkuhan, (2) masalah ekonomi, (3) budaya patriarki (ideologi bagaimana laki-laki mendominasi), (4) campur tangan pihak ketiga (misal keluarga), (5) bermain judi, (6) perbedaan prinsip, (7) alkoholisme, (8) penggunaan narkoba, dan lain-lain.Â
Kabar yang beredar di khalayak dan media, sang ayah melakukan kedua tindakan keji tersebut karena faktor kecemburuan terhadap istri sekaligus ibu dari keempat anaknya yang dibunuh.
Mengikhlaskan dan "melupakan" atas kehilangan sosok yang teramat dicintai apalagi dalam kasus ini adalah keempat buah hatinya bukanlah perkara mudah. Ibu terluka secara fisik dan mentalnya.
Dalam masa berkabungnya, sangat dibutuhkan sosok yang dapat menjadi pelipur segala laranya. Namun, siapa sangka, sang ayah yang harusnya menjadi nahkoda mahligai rumah tangga dan pemimpin keluarga justru yang memporak-porandakan serta menghancurkan keluarga kecilnya.
Betapa berat sang ibu menjalani hari-harinya tanpa sosok yang selalu ia rindukan saat di tempat kerja. Kini, sepulang dari kerja tiada lagi buah tangan yang ibu beli dan bawakan untuk anak-anaknya. Teringat pula masa-masa kehamilan dan menyusui mereka.
Kini sang ibu kesepian. Tiada lagi tingkah lucu dan "menyebalkan" buah hatinya. Semua tinggal kenangan.
Namun, sang ibu harus bangkit. Ibu berhak bahagia dan pulih dari lukanya. Walaupun tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Jika dibiarkan larut dalam kesedihan maka akan berimbas pada hari-harinya yang akan dilewati. Jangan sampai berujung pada depresi. Naudzubillahimindzalik.
Lebam-lebam di tubuh akibat KDRT yang dialami bisa jadi sudah tidak ada. Namun luka batin masih ada. Dibutuhkan pendampingan kondisi ibu bukan sekadar satu hingga dua minggu bahkan bisa bertahun-tahun hingga sang ibu benar-benar bisa "move on" dan bangkit berdiri tegak tidak terlarut dalam kesedihan dan trauma berat masa lalunya.
Trauma yang ibu rasakan harus bisa disembuhkan karena berdampak pada produktivitasnya saat kembali bekerja, tidak semangat menjalani hari-hari, mudah melamun dan bahkan bisa saja tidak nyambung jika sedang diajak bicara, dan sebagainya. Maka ibu harus berusaha mengelola pikiran yang mengganggu dan berdamai dengan diri sendiri untuk menghadapi trauma yang dialami.
Urgensi Kepekaan Sosial
Dari hasil riset dan pengalaman praktik psikologi, faktor terbesar yang mendukung pemulihan kondisi sang ibu adalah dukungan sosial meliputi keluarga dan kerabat dekat, teman, rekan kerja, dan tetangga terdekat yang memungkinkan jalinan sosialisasi intens dengan korban, dan bahkan orang asing sekalipun.
Kepekaan sosial secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara cepat dan tepat terhadap objek atau situasi sosial tertentu yang ada di sekitarnya.Â
Dalam hal ini kepekaan berupa dukungan sosial kepada korban meliputi empati, kepedulian, perhatian, dorongan untuk bangkit dari kesedihan, sekadar berbagi makanan, memberi nasihat atau saran, dan masih banyak lagi.
Oleh karena pentingnya kepekaan sosial ini terhadap pemulihan kondisi korban KDRT sekaligus ibu dari anak-anak korban pembunuhan, maka ada 4 hal penting yang patut menjadi perhatian dan dilaksanakan sebagai bentuk dukungan sosial, diantara :
Pertama, Jangan biarkan ibu sendirian, supaya tidak sering melamun misalnya. Agar dia tidak merasa sendirian dengan luka itu. Korban KDRT mempunyai risiko gangguan stres pasca trauma. Perlunya ditemani, didampingi, dan didukung oleh teman, tetangga, dan keluarganya karena pasangan sudah tidak bisa "diharapkan" lagi untuk turut mengobati mental illness yang dideritanya.
Kedua, Perempuan korban KDRT diindikasikan mengalami trauma sehingga muncul reaksi emosional terhadap kemarahan, kebingungan, menjadi pemalu, tidak punya kekuatan atau lemah dan mengalahkan diri sendiri. Sebagai orang terdekat, dampingi ibu untuk berdamai  dengan dirinya sendiri dan melawan hal negatif tersebut.
Ketiga, Menghindari hal yang mengingatkan kembali trauma dengan melakukan kegiatan menyenangkan yang dapat mengalihkan dan menenangkan pikiran terhadap ingatan trauma yang dialami misalnya turut terlibat pada kegiatan sosial seperti kegiatan bazar di kelurahan setempat, kerja bakti warga, perlombaan peringatan hari nasional, dan masih banyak lagi.Â
Di sini juga penting kiranya untuk tidak menyinggung atau menanyakan kondisi sang ibu kecuali sang ibu yang memulai pembicaraan tentang itu.
Keempat, Dampak psikologis akibat KDRT tidak dapat dipandang sepele, seperti adanya bekas luka akibat kekerasan, trauma mendalam, rasa sakit dan penderitaan, serta menjadi paranoid atau sulit mempercayai seseorang. Maka, penting bagi sang ibu untuk mendapatkan pendampingan.Â
Membicarakan kondisinya dengan pendamping, konselor, atau psikolog untuk pemulihan kesehatan pikiran dan jiwa. Pendampingan tersebut juga bertujuan agar ibu merasa nyaman untuk mengutarakan masalah yang dialami, terlepas dari beban, dan merasa lebih lega karena keberadaannya dianggap. Sehingga hal tersebut mempengaruhi semangat untuk menjalani hari demi hari.
Diharapkan masyarakat setempat mendukung pemulihan sang ibu karena dampak psikologis yang sangat hebat. Pentingnya masyarakat meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosialnya. Tujuannya adalah agar korban tidak kembali ke masa suram, mampu hidup mandiri, dan percaya diri kembali bersosialisasi dengan masyarakat.
Biarlah hukum terus berjalan hingga sang ayah mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatannya. Karena pemulihan ini adalah persoalan yang serius, maka diharapkan sudah bukan saatnya lagi saling menyalahkan dan menyudutkan satu sama lain.
Para pemangku kepentingan semoga dapat melakukan koreksi berkelanjutan pada mekanisme standar operasional prosedur (SOP) berdasarkan pada kasus penanganan KDRT agar kejadian serupa tidak terulang.
Saatnya masyarakat fokus dengan pemulihan para korban KDRT karena mereka butuh lingkungan sehat yang mendukung serta menganggap keberadaannya untuk terus melanjutkan kehidupan ini. Semoga tidak ada lagi peristiwa yang sama. Semoga hari ini dan seterusnya, kondisi ibu membaik secara fisik dan psikis, Â perlahan bangkit dan bisa lebih tenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H