Kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga adalah hal yang diidamkan bagi pasangan yang sudah menikah. Terlebih pasangan tersebut sudah menantikannya sekian lama. Meskipun ada yang berbeda cerita seperti pasangan yang menunda kehamilan karena alasan tertentu dan ada pula yang ingin segera memiliki momongan.
Seiring berjalannya mahligai rumah tangga, pada umumnya orang tua memiliki momentum untuk membicarakan jumlah anak pada pasangan. Dengan demikian, bisa merencanakan jarak kehamilan serta jumlah anak.
Namun, kenyataan di lapangan tidak jarang kita dapati orang tua yang memiliki anak dengan jarak usia yang dekat. Selain faktor ketidaktahuan atau minimnya literasi, angka kelahiran dengan jarak dekat juga disebabkan oleh pasangan tidak memakai alat kontrasepsi misalnya dengan alasan takut disuntik, sehingga tanpa diketahui tiba-tiba mengandung calon anak kedua dengan jarak anak pertama yang begitu dekat.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tidak lagi menggunakan slogan "Dua Anak Cukup" maupun "Dua Anak Lebih Baik".Â
Sejak 2020, BKKBN telah mengubah slogannya menjadi "Dua Anak Lebih Sehat". Hal tersebut menjadi perhatian saya bahwa bisa jadi sehat yang dimaksud bukan sekadar secara fisik tetapi juga psikis.
Bukan tanpa alasan jika BKKBN kini secara tidak langsung memperbolehkan memiliki lebih dari dua anak dalam satu keluarga karena itu hak subjektif setiap keluarga.
Sebagai contoh, banyak figur publik yang memiliki anak dengan jarak yang terlalu dekat dan ada pula yang memiliki banyak anak.Â
Relevansinya dengan masa kini, sejauh orang tua bertanggungjawab penuh atas hak dan kewajibannya terhadap anak maka hal demikian tidaklah menjadi persoalan. Diperbolehkan "memperbanyak keturunan" dengan syarat mampu menjamin masa depannya meliputi kewajiban mendidik mereka.
Para figur publik mayoritas dengan penghasilan "di atas rata-rata" bisa menyewa jasa pengasuh untuk anak-anaknya. Sedangkan untuk masyarakat yang kategori kelas menengah ke bawah penuh pertimbangan untuk menyewa pengasuh mengingat penghasilan yang diperoleh. Bahkan, masih banyak masyarakat yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari.