Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melawan Korupsi Melalui Gerakan Budaya

22 Desember 2024   00:13 Diperbarui: 22 Desember 2024   00:11 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ganjaran sanksi hukuman yang dijalani para koruptor menjadi tidak sebanding dengan kekayaan yang tetap bisa dimiliki setelah bebas menjalani masa hukuman penjara, selain juga kabar burung mengenai kehidupan dalam penjara yang bisa dengan leluasa menjalani kehidupannya seperti menjadi warga bebas sebelumnya. Mereka bisa negosiasi jumlah remisi hukuman hingga pemenuhan fasilitas dalam penjara sesuai keinginan para koruptor.

Narapidana koruptor bahkan bisa bebas berkomunikasi dengan siapapun yang ingin dihubungi, bahkan kabarnya juga bisa keluar penjara kapanpun waktu yang diinginkan. Sang koruptor juga sudah mempelajari karakter para tetangga, kawan, sahabat dan prilaku sosial publik yang sudah tidak lagi peduli atau cepat melupakan siapapun para koruptor itu dalam waktu relatif sebentar, hingga tradisi para leluhur yang mengajarkan soal toleransi dan rasa belas kasihan yang sangat tinggi.

Bahkan dalam situasi kehidupan di era digital saat ini, warga masyarakat cenderung menjadi sangat individualis, tidak peduli lagi dengan masalah dan kehidupan orang lain, karena masing-masing mereka sibuk bagaimana mempertahankan kehidupannya sendiri yang sudah sangat berat. Publik luas akan cepat lupa dan melupakan dengan segera, meskipun korupsi adalah perbuatan hukum yang berdampak luar biasa kepada warga masyarakat lainnya.

Sebagai warga bangsa yang cinta tanah air, apa yang seharusnya dilakukan dengan fenomena politik prilaku para elite penguasa dan politisi ini? Sebagai rakyat kecil tentu hanya bisa pasrah menerima resiko dampak apa saja, tanpa mampu memahami dan berkontribusi sesuatu, kecuali akan mengikuti komando dari pihak yang mampu “meyakinkan dan memobilisasi” untuk berbuat sesuatu.

Setidaknya ada dua cara yang bisa dijadikan scenario melakukan gerakan budaya melawan korupsi di Indonesia. Pertama, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai korupsi beserta konsekwensi dampaknya, dan Kedua, melakukan penyikapan dalam bentuk tindakan nyata dan secara langsung kepada pelaku korupsi dan anggota keluarganya.

Untuk merealisasikan scenario gerakan di atas, semangat mengembalikan “budaya malu sosial-komunal” dan penerapan “sanksi pengasingan sosial” harus direvitalisasi secara gradual sebagaimana warisan budaya yang diajarkan para leluhur. Perbuatan korupsi akan tercatat dan menjadi “aib keluarga paling hina” dimata masyarakat luas secara sosial dan budaya.

Warga bangsa harus secara konsisten menyuarakan dengan suara lantang lewat berbagai media yang ada, menyatakan bahwa prilaku korupsi bertentangan dengan nilai-nilai dan norma, sosial, agama, dan hukum. Korupsi digolongkan “serious crime” karena mengganggu hak ekonomi dan hak sosial masyarakat dan negara dalam skala besar.

Seluruh warga bangsa tidak boleh menyerah kalah, meski cara legal-formal menggunakan perangkat aturan dan sistem hukum tidak lagi mampu melawan korupsi. Bahkan ketika rakyat semakin frustasi dan patah semangat dengan militansi dan konsistensinya, maka alternatif cara lain paling memungkinkan melalui “gerakan budaya berbasis moral-politik”.

Skenario gerakan budaya ini ditargetkan bisa berdampak sangat dasyat secara psikologis sebagai ganjaran para koruptor dan seluruh keluarganya. Untuk menggelorakan semangat ini, kesadaran politik publik harus disuarakan dan diingatkan dengan melakukan pensikapan secara tegas dengan cara mengeliminir kehidupan dan interaksi sosial bagi para pelaku koruptor dan keluarganya.

Upaya pengucilan secara sosial para koruptor dan keluarganya ini harus menjadi pembelajaran budaya hingga merasuk dan mempengaruhi psikologi massa mengenai dampak psikologis yang sangat luar biasa bagi para koruptor dan keluarganya.

Publik harus tersadarkan dan menghitung secara nalar mengenai resiko sosial yang akan dihadapinya, ketika pelaku koruptor dan keluarganya menerima perlakuan praktik sanksi sosial yang dilakukan para tetangga, kawan, sahabat, kerabat keluarga, hingga komunitas sosial tempat berinteraksinya. Publik juga harus bisa menyimpulkan sendiri bahwa perlakuan sanksi sosial lebih pedih dan menderita secara batiniah, dibandingkan sanksi hukuman phisik dalam penjara negara.

Simpulan

Keberadaan institusi KPK yang digadang-gadang mampu mengembalikan marwah Kepolisian dan Kejaksaan semakin profesional dalam menangani kasus pidana korupsi, ternyata performnya dijadikan alat politik untuk negosiasi perebutan kekuasaan para penguasa pemerintah, para politisi dan pimpinan Parpol. Operasi negosiasi politiknya akan berlangsung menjelang pesta demokrasi Pilleg, Pilpres dan Pilkada.

Oleh karenanya, siapapun “menjadi mati akal” ketika melihat fenomena politik di Indonesia saat ini. Korupsi dan politik dinasti bisa dilakukan siapa saja dan dimana saja, tanpa ada rasa takut apalagi rasa malu. Apapun yang mereka lakukan tidak menjadi masalah, karena cara mereka mendapatkan uang/modal bisa dilakukan dengan mudah meski salah, dan ketika kalah dan habis modal, mereka tetap yakin bisa mendapatkan lagi modal/uang dengan cara yang sudah pernah berhasil dilakukan sebelumnya.

Fenomena penggunaan “analogi Teori Dramaturgi” sepertinya relevan dengan proses politik pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU. Teori dramaturgi memiliki dua komponen, yaitu "wilayah depan" dan "wilayah belakang". Wilayah depan adalah tempat pemain berperan atau bersandiwara, sedangkan wilayah belakang adalah tempat para pemain bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih.

“Wilayah Depan” mewakili cerminan inisatif pihak eksekutif seolah secara proaktif mendorong pihak legislatif menyetujui RUU menjadi UU Perampasan Aset. Sedangkan situasi “Wilayah Belakang” sejatinya menggambarkan proses kongkalikong antara elite birokrat dan para politisi bersepakat menjegal RUU tidak disyahkan menjadi UU, berikut kesediaan politisi DPR RI dan para ketua Parpol menyiapkan diri “menjadi sansak politis dari hujatan publik”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun