Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melawan Korupsi Melalui Gerakan Budaya

22 Desember 2024   00:13 Diperbarui: 22 Desember 2024   00:11 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi dan Kekuasaan

Untuk menganalisis soal koneksitas politik antara korupsi dengan kekuasaan itu, cara menelisik pembuktiannya bisa menggunakan “analogi Teori Dramaturgi”. Akan terlihat pola interaksi terselebung diantara elite birokrat, politisi parlemen dan pimpinan Parpol sebagai aktor utama yang memainkan konspirasi politik. Ada dugaan diantara mereka bersekongkol mengabaikan pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU.

Teori Dramaturgi ini pertama kali dipopulerkan Aristoteles, seorang filosof Yunani. Namun, konsep dramaturgi semakin dikenal saat dikembangkan Erving Goffman, seorang sosiolog melalui bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959). Inti teori Dramaturgi adalah semata untuk memastikan pemahaman bahwa dalam interaksi manusia itu ada “kesepakatan perilaku” yang mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut.

Analogi teori dramaturgi ini ada relevansinya dengan proses perjalanan RUU Perampasan Aset. Keberadaan RUU ini, pada awalnya diinisiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) tahun 2003 mengadopsi The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC). RUU ini pernah masuk Prolegnas 2010-2014 dan tercatat sebagai salah satu dari 69 RUU prioritas 2014 tetapi gagal disahkan.

RUU Perampasan Aset juga telah dimasukkan lagi dalam Prolegnas 2015-2019, meski pada akhirnya tidak disidangkan dengan berbagai alasan. Kemudian dimasukkan lagi dalam Prolegnas prioritas tahun 2022, hingga berakhir DPR RI mencoretnya.

Gagalnya upaya pengesahan RUU Perampasan Aset ini setidaknya ada korelasi politik dengan fenomena maraknya prilaku "Korupsi dan Politik Dinasti" yang sejatinya telah merusak citra negara dan budaya bangsa. Setidaknya tindakan semua pelakunya telah mengkianati para pendiri negara-bangsa yang sejatinya sangat menjunjung tinggi soal etika dan moralitas. Mengapa? karena etika dan moralitas para pemimpin pendahulu itulah yang mampu menjahit parcel suku, budaya, agama menjadi “BHINEKA TUNGGAL IKA”.

Para founding father bangsa kemudian bersepakat memilih sistem demokrasi, bukan sosialis atau komunis, maupun sistem kerajaan. Mereka di kuburnya mungkin saja sedang meratap tangis, ketika menyaksikan para generasi penerusnya melakukan praktik keserakahan kuasa dengan memanipulasi demokrasi sebagai kuda tunggangan politik tanpa menggunakan lagi etika dan moral sebagai pengendalinya.

Kejujuran dan kesetaraan yang dicontohkan para pemimpin seperti founding father yang tanpa pamrih dan niatan tersebung itulah yang seharusnya diberi mandat untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan Indonesia. Tidak kepada elite birokrat dan para politisi maupun pimpinan Parpol, atau para oligark yang memaksakan kehendaknya dengan konspirasi jahat, bahkan mendeklarasikan yang berhak mengawal sistem dan praktik demokrasi di indonesia.

Ada indikasi kuat para manipulator kepercayaan rakyat telah dengan sengaja dan sah menjalankan pemerintahan bersama para oligark, berupaya merubah arah kebijakan pembangunan dengan memaksakan praktik kapitalis dengan berbagai cara. Mekanisme Pilkada, Pilleg dan Pilpres dijadikan alat legitimasi politik melalui mekanisme praktik demokrasi.

Kemenangan para oligark menghantarkan usungan kontestannya hingga berhasil menduduki kursi jabatan tertinggi eksekutif (Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden) dan anggota legislatif (tingkatan kabupaten hingga DPR RI) tentu tidak secara gratis. Para oligark butuh jaminan dari para kontentan untuk mengamankan berbagai bisnis yang dijalankan, hingga rencana ekspansi bisnis baru yang sedang dipersiapkan.

Untuk memuluskan maksud dan tujuannya, para komprador oligark butuh legalitas aturan sesuai aturan dan dokumen legal yang dikendaki, agar bisa dijadikan bukti legalitas dan argumen hukum melakukan berbagai tindakan bisnis ekonominya dengan berbagai cara yang akan ditempuh, hingga dalih meminta bantuan aparat TNI dan Polri sebagai upaya pengaman dalam operasionalnya dilapangan. 

Berkenaan dengan paparan diatas, bisa disimpulkan bahwa potensi prilaku korupsi sejatinya hanya akan dimanfaatkan para oknum disetiap level pimpinan yang ingin terus-menerus berkuasa. Upaya menjaga dan mempertahankan kekuasaan yang sedang direngkuhnya, berkecenderungan untuk dipertahankan dengan cara membangun praktik politik dinasti.

Melihat situasi krisis kepercayaan mengenai gelagat para pemimpin ini, rakyat sangat berekspektasi kepada institusi KPK untuk melawan korupsi. Akan tetapi, realitanya justru membuat rakyat kecewa karena eksistensi KPK diindikasikan telah menjadi alat politik kekuasaan untuk saling menjegal lawan politik para penguasa. dikarenakan segala lini perlawanan korupsi sudah dikooptasi penguasa dan politisi, maka celah perlawanan yang relatif streril harus ditempuh melalui jalur gerakan budaya.

Skenario Gerakan Budaya

Selama mentalitas dan komitmen para penegak hukum bisa dibeli, dan praktik koneksitas politik kekuasaan masih bisa diatur dan dikendalikan, dan pranata hukum untuk memiskinkan harta benda para koruptor belum ada, serta praktik sanksi sosial tidak berjalan secara radikal dan masif, maka perbuatan korupsi akan terus berlangsung dan berkembang hingga menjadi budaya baru bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun