Pesta demokrasi Pilkada serentak akan berlangsung 27 November 2024. Eforia politik konstituen pendukung dari masing-masing para calon kontestan, hingga kompetisi adu strategi Timses untuk merebut simpati politik dan dukungan saat berada di bilik pencoblosan, juga tidak kalah serunya.
Bahkan di pusat pemerintahan Jakarta, seorang mantan Presiden Joko Widodo juga turun gunung untuk mengajak dan meyakinkan warga Jakarta mendukung calon kontestan yang diusungnya. Fenomena politik Pilkada serentak 2024 merupakan momentum politik "sangat strategis dan penentu" yang ada korelasinya dengan strategi pemenangan Pilpres 2029. Â
Ada beragam latar belakang anggota Timses yang tergabung, mulai dari mantan aktivis gerakan reformasi 1998, akademisi, wartawan, aktivis NGO, stakeholder kunci tingkat desa, politisi, pebisnis, aktivis masyarakat adat, budayawan, ustad/ustazah, hingga oknum ASN yang disusupkan, dengan dalih pembenar sebagai alasan kepentingan politiknya masing-masing.
Memang, tidak ada yang salah dengan semangat dan niatan mereka. Tentu segalanya demi meraih kemenangan demi kemajuan dan kemaslahatan warga negara-bangsa. Akan tetapi, bisa menjadi "bencana kebudayaan dan kemanusiaan" jika pilihan calon kontestan yang dikawal berpotensi dan melakukan praktik "korupsi dan politik dinasti".
Tafsir kalimat "berpotensi korupsi dan praktik politik dinasti" itu relatif mudah pembuktiannya bagi para calon kontestan yang akan dipilih. Informasi jumlah kekayaan yang mereka miliki bisa ditelusuri berdasarkan data dokumen LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) yang dilaporkan kepada pemerintah.
Cara lain untuk membuktikannya juga bisa melalui Investigasi praktik bisnis yang dijalankan calon kontestan dengan mengidentifikasi anggota keluarga yang menduduki jabatan politik (anggota Legislatif), menganalisis jumlah kekayaan sebelum dan selesai menjabat, yang dikoneksikan dengan praktik bisnis mereka yang dijalankan bersama dengan para oligark pendukungnya.
Dugaan Calon Kontestan Koruptor
Mengapa penting dan harus dilawan para calon kontestan yang terindikasi melakukan korupsi dan atau diprediksi akan melakukan korupsi pada saat terpilih nanti? Hal ini karena ada kaitannya dengan penjelasan latar belakang seorang pemimpin yang berpotensi korupsi dan konsekwensi logis kedepannya. Â
Makna filosofis korupsi adalah memperkaya diri sendiri. Oleh karenanya, bentuk hukuman paling sesuai menurut kajian ilmu filsafat untuk tindakan korupsi adalah dimiskinkan. Target politik-hukumnya tegas yaitu memberikan efek jera, karena perilaku korupsi menunjukkan sisi kerakusan manusia terhadap harta benda atau kekayaan.
Salah satu teori korupsi menurut Jack Bologne dalam bukunya "The Accountant Handbook of Fraud and Commercial Crime" tahun 1993, dijelaskan bahwa faktor penyebab korupsi adalah keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan. Dalam teori tersebut, korupsi pada dasarnya terjadi karena keserakahan, yaitu sikap yang selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki. Keserakahan juga ada kaitannya dengan materialism.
Dampak korupsi yang merajalela tanpa ada perlawanan secara masif seluruh komponen bangsa, bisa merusak tatanan kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Dampak langsung yang paling terasa adalah kerugian negara secara material hingga menghambat dan mengacaukan realisasi kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan rakyatnya.
Kesejahteraan rakyat yang seharusnya ditopang melalui pembiayaan pembangunan di berbagai sektor, terutama pemberantasan kemiskinan dan sektor strategis (pendidikan dan kesehatan) untuk mendongkrak peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dengan harapan dapat berimbas pada peningkatan produktivitas secara nasional, tentu menjadi tidak bisa diwujudkan.
Di samping kerugian material, juga kerugian bersifat immaterial, yaitu citra dan martabat bangsa kita di dunia internasional. Predikat sebagai negara terkorup di kawasan Asia Tenggara merupakan citra yang sangat mamalukan. Meski demikian, praktik korupsi masih tetap saja terjadi di seluruh tingkatan pemerintahan, seakan sudah tidak memiliki rasa malu lagi.
Hasil penelitian Prof. Shang-Jin-Wei, guru besar di Kennedy School of Government, Harvard University, menyatakan bahwa kenaikan satu angka tingkat korupsi berkorelasi dengan turunnya total investasi asing sebesar 16 persen. Karena memburuknya korupsi di suatu negara penerima investasi, setidaknya akan menyebabkan kenaikan tingkat pajak marginal perusahaan asing.
Sedangkan pendapat Syed Hussein Alatas, seorang akademisi, sosiolog, politikus, dan pendiri organisasi ilmu sosial Malaysia, menyebutkan enam pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dari korupsi, yaitu (1) timbulnya berbagai bentuk ketidakadilan, (2) menimbulkan ketidakefisienan, (3) menyuburkan jenis kejahatan lain, (4) melemahkan semangat perangkat birokrasi dan mereka yang menjadi korban, (5) mengurangi kemampuan negara dalam memberikan pelayanan publik, dan (6) menaikkan biaya pelayanan.
Selain itu, Donald R. Cressey dalam teori Fraud Triangle juga menjelaskan bahwa korupsi tidak hanya disebabkan oleh nafsu atau keinginan, tetapi juga faktor utama yang saling berkaitan, yaitu Pressure (Tekanan), Opportunity (Kesempatan), dan Rationalization (Rasionalisasi). Sedangkan faktor internal penyebab korupsi adalah aspek perilaku individu karena sifat tamak/rakus, moralitas rendah dan gaya hidup konsumtif.
Dari berbagai pengaruh yang ditimbulkan korupsi, tidak bisa lagi disangkal bahwa korupsi membawa dampak yang merugikan dan menghambat pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Karena uang yang semestinya digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan, hilang menjadi milik pribadi dan memperkaya segelintir orang.
Menisbihkan korupsi merajalela berarti membiarkan kejahatan menggerogoti kekayaan negara untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan dengan mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan rakyat banyak. Dengan membiarkan korupsi, berarti pula membiarkan negara menuju kehancuran, keterbelakangan dan pemeliharaan kemiskinan.
Bisa dibayangkan, jika calon kontestan Pilkada ternyata diduga telah terlibat korupsi, meskipun masih tahap penyelidikan atau penyidikan belum berstatus tersangka kemudian lolos seleksi KPUD yang memang aturannya tidak mensyaratkan soal dugaan korupsi, maka bisa dipastikan seluruh pemenuhan logistik kampanye anggota Timsesnya diduga berasal dari uang korupsi.
Praktik Politik Dinasti Calon KontestanÂ
Mengapa penting dan harus dilawan para calon kontestan yang terindikasi melakukan praktik politik dinasti dan atau diprediksi akan melakukan praktik politik dinasti saat terpilih nanti? Hal ini ada kaitannya dengan penjelasan dan konsekwensi logis yang terjadi kedepannya. Â
Secara hukum dan konstitusi, politik dinasti merupakan fenomena legal dan tidak dilarang UU. Praktik politik dinasti memang erat kaitannya dengan sejarah Indonesia. Akan tetapi, mengapa calon kontetstan yang terindikasi ada praktik politik dinasti harus dilawan dan dikalahkan? Ada konsekwensi bila calon kontestan tersebut terpilih, akan berpotensi "menutup akses informasi dan peluang partisipasi publik". Â
Peran partisipasi publik dan potensi civil society akan mereka nilai sebagai pihak penentang kebijakan politiknya. Kebijakan internal birokrasinya kemungkinannya juga akan mengeliminir potensi SDM staf ASN yang dinilai idealis karena ide-ide gagasan konstruktif-progresifnya yang bisa menghalangi praktik politik dinasti yang akan dilakukannya.
Sejatinya mentalitas pemimpin yang sudah biasa menjalankan praktik politik dinasti itu telah tersandra secara psikologis dengan keluarga dan rekan-rekan bisnisnya, yang sudah menjelma sebagai Oligark. Konspirasi mereka telah dibangun selama puluhan tahun, bahkan diantara mereka juga telah mendapat keuntungan sesuai tujuannya masing-masing.
Untuk mensiasati prilaku oligarknya mendapat simpati publik dengan kesan sebagai "figur pengayom dan peduli masyarakat rentan", mereka berinvestasi menjalin komunikasi dengan para aktivis LSM, wartawan, stakeholder kunci, pimpinan Ormas, dan bahkan aparat penegak hukum. Semuanya itu dilakukan semata untuk memuluskan misi personal dan koleganya.
Fenomena prilaku praktik politik dinasti di atas, sangat relevan bila dikaji melalui pertanyaan ontologis, yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan keberadaan sesuatu, seperti "Apakah yang ada?" atau "Apakah realitas itu?". Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan bagian dari kajian filsafat yang disebut ontologi.
Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang: Apa yang ada, Jenis-jenis entitas yang ada, Sifat dan hubungan antar entitas, Bagaimana menentukan apakah sesuatu ada atau tidak, Klasifikasi keberadaan. Meskipun Ontologi merupakan salah satu bidang kajian filsafat yang paling kuno, tetapi teorinya masih relevan untuk proses pembuktian secara deskriptif-kwalitatif.
Ada empat ciri ontologis dari politik dinasti. Pertama, politik dinasti berakar pada ketakutan akan terlupakan. Mereka takut lenyap dari Sejarah, tidak lagi diperhitungkan oleh penguasa selanjutnya, dan oleh masyarakat luas. Kedua, politik dinasti berakar pada kerakusan yang tak tertahankan. Sang penguasa ingin merengkuh seterusnya hingga kehilangan akal sehat dan kejernihan nuraninya.
Ketiga, politik dinasti berpijak pada arogansi yang melampaui akal budi. Sang penguasa merasa lebih tinggi dari orang lain dan merasa berhak mempermainkan politik dan hukum sesuai kehendaknya. Keempat, politik dinasti berakar pada sikap takabur. Sang penguasa lupa diri dengan posisinya sebagai pelayan rakyat dan terlepas dari sikap kritis rakyat.
Relasi Korupsi Dengan Politik Dinasti
Apakah ada hubungan secara sistemik antara korupsi dengan praktik politik dinasti? Untuk membuktikannya tentu perlu ada teori, alasan, dan bukti lapangan berdasarkan praktik yang terjadi sebelumnya sebagai narasi deskriptif untuk pembenarannya.
Relasi kekuasaan adalah hubungan yang terbentuk dari berbagai pola relasi antar-manusia yang kemudian membawa suatu kepentingan dengan tingkat kekuasaan tertentu. Menurut Maximilian Weber, kekuasaan adalah kesempatan atau peluang seseorang atau kelompok untuk mewujudkan keinginannya sendiri, bahkan jika harus melawan orang-orang atau golongan tertentu.
Implikasinya dengan pertanyaan apakah ada relasinya antara korupsi dengan praktik politik dinasti ini, setidaknya relevan dengan keberlakuan teori kausalitas. Teori kausalitas dalam filsafat adalah konsep yang menjelaskan hubungan sebab-akibat antara peristiwa atau faktor yang satu dengan lainnya. Dalam hukum pidana, kausalitas dirumuskan sebagai suatu tindakan tertentu yang menyebabkan suatu kenyataan tertentu.
Oleh karenanya, jika terjadi pembiaran atas berlangsungnya praktik oligarki tentunya bisa memantik peluang terjadinya perbuatan korupsi, di mana kekuasaan dan kekayaan akan disalahgunakan untuk keuntungan pribadi maupun para oligark jaringan kroninya. Menurut analisis Jeffrey A. Winters, oligarki di Indonesia memiliki posisi strategis mengendalikan kehidupan politik negara.
Cengkraman mereka sangat jelas dalam struktur dan operasi partai politik, termasuk mengontrol atas siapa yang dapat muncul sebagai pesaing kepemimpinan partai politik, siapa yang menjadi penerus dalam mengurus partai, dan bagaimana aparatur politik digunakan untuk tujuan pertahanan kekayaan.
Fenomena ini tentu mengancam keberadaan demokrasi di Indonesia. Meskipun dalam banyak hal, interaksi antara oligarki, kekayaan, media, dan partai berjalan dengan baik sebagaimana demokrasi di Amerika Serikat. Namun yang menjadi perbedaannya, demokrasi di Amerika Serikat diimbangi dengan peran civil society dan supremasi hukum yang kuat.
Sedangkan situasi yang terjadi di Indonesia, kedua peran yang dilakukan civil society lemah dan bahkan terfragmentasi secara tajam. Fenomena politik dengan masifnya tuntutan publik soal supremasi hukum, seolah-olah mendapat respon positif meski faktanya tidak disertai dengan komitmen dan tindakan secara progresif.
Berdasarkan paparan di atas, setidaknya bisa disimpulkan bahwa dengan merujuk berdasarkan teori relasi kekuasaan, dengan adanya praktik politik dinasti yang dilakukan para pucuk pimpinan pemerintah penguasa, maka akan besar pengaruhnya dengan kemungkinan terbukanya peluang terjadinya perbuatan korupsi.
Langkah Gerakan Melawan
Bagaimana cara melawan para calon kontestan/pemimpin yang berpotensi melakukan korupsi dan politik dinasti? Salah satu langkah gerakannya adalah dengan menyuarakan dan mengajukan kritik dari seluruh penjuru masyarakat. Melalui teknologi digital, tentu sangat memungkinkan untuk membangun opini publik secara masif melawan korupsi dan politik dinasti.
Menyuarakan secara lantang mengenai konsekwensi dampak (logis-politis) jika memilih calon kontestas/pemimpin yang berpotensi melakukan korupsi dan politik dinasti. Pada ghalibnya, mereka hanya ingin mengamankan kepentingan politik penguasa dan kepentingan ekonomi para oligark mempertahankan kekuasaan dan menjaga kekayaan yang sudah mereka siapkan bersama.
Agar dipahami bahwa ontologi politik dinasti adalah ketakutan dan kerakusan yang berpijak pada kebodohan. Sudah terlalu sering rakyat dibohongi politisi dan pemerintah penguasa yang bermain dengan pencitraan. Memilih dengan menggunakan akal sehat dan kejernihan Nurani itu, setidaknya bisa mereduksi percepatan proses kehancuran bangsa dan negara.
Simpulan
Sejatinya pencideraan demokrasi di Indonesia disebabkan karena maraknya para penjaga demokrasi itu sendiri yang memainkan politik standar ganda. Hanya demi kepentingan politik sesaat, mereka kemudian terjebak dalam permainan mereka yang kemudian menyesalinya dengan dalih tertipu, dalih ditinggalkan, dan dalih-dalih pembenar lainnya.
Para penghamba dan pengawal calon kontestan yang berpotensi melakukan praktik "korupsi dan politik dinasti" itu, diduga karena merasa tidak enak dan tidak tahan dengan berbagai godaan janji dan komitmen-komitmen palsu, hingga mereka terbius dengan pundi-pundi recehan yang diberikan untuk mau bergabung sebagai pendukungnya.
Setidaknya keinginan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan demokratis, berdaulat dan mandiri di mata masyarakat global itu, memang perlun kehadiran peran dan posisi civil society yang terkonsolidasi dan kritis. Tegak dan kuatnya supremasi hukum, menjadi kunci utama untuk meyakinkan kepercayaan dan partisipasi politik rakyat dan negara global dalam proses pembangunan negara-bangsa.
Mark McGann Blyth, seorang ekonom politik Skotlandia-Amerika sekaligus dosen di Universitas Brown Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa demokrasi juga dapat runtuh "jika para pemilih tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan dan hanya mendukung status quo". Dalam situasi seperti ini, para pemilih yang tidak memiliki pilihan nyata, mungkin akan memilih opsi yang paling tidak demokratis.
Oleh karenanya, momentum Pilkada serentak 2024 harus dijadikan pintu masuk bagi para kelompok civil society mengorganisir diri untuk meng-kanpanye-kan, memobilisasi, dan melakukan gerakan perlawanan untuk menolak "calon kontestan yang berpotensi korupsi dan yang melakukan praktik politik dinasti".
Pemerintah penguasa yang terindikasi melakukan praktik politik dinasti, dipastikan akan berpotesni terbukanya peluang korupsi bagi keluarga dan kroni-kroninya. Politik dinasti adalah korupsi atas nama keluarga dan para kroninya itu harus dilawan. Karena, untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis dipastikan tidak bisa berjalan searah dengan praktik politik dinasti.
Salam Bergerak Melawan Korupsi dan Politik Dinasti
Â
Bahan Bacaan:
- https://www.talisumbu.com/post/teori-penyebab-korupsi
- https://tirto.id/teori-relasi-kekuasaan-dalam-masyarakat-gPzH
- https://www.google.com/search?q=teori+kausalitas+dalam+filsafat&oq=teori+kausalitas&gs
- chrome-extension://kdpelmjpfafjppnhbloffcjpeomlnpah/http://repository.unwira.ac.id/12963/2/BAB%20I.pdf
- https://rumahfilsafat.com/2023/11/28/ontologi-politik-dinasti/
- https://en.wikipedia.org/wiki/State_collapse
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H