Implikasinya dengan pertanyaan apakah ada relasinya antara korupsi dengan praktik politik dinasti ini, setidaknya relevan dengan keberlakuan teori kausalitas. Teori kausalitas dalam filsafat adalah konsep yang menjelaskan hubungan sebab-akibat antara peristiwa atau faktor yang satu dengan lainnya. Dalam hukum pidana, kausalitas dirumuskan sebagai suatu tindakan tertentu yang menyebabkan suatu kenyataan tertentu.
Oleh karenanya, jika terjadi pembiaran atas berlangsungnya praktik oligarki tentunya bisa memantik peluang terjadinya perbuatan korupsi, di mana kekuasaan dan kekayaan akan disalahgunakan untuk keuntungan pribadi maupun para oligark jaringan kroninya. Menurut analisis Jeffrey A. Winters, oligarki di Indonesia memiliki posisi strategis mengendalikan kehidupan politik negara.
Cengkraman mereka sangat jelas dalam struktur dan operasi partai politik, termasuk mengontrol atas siapa yang dapat muncul sebagai pesaing kepemimpinan partai politik, siapa yang menjadi penerus dalam mengurus partai, dan bagaimana aparatur politik digunakan untuk tujuan pertahanan kekayaan.
Fenomena ini tentu mengancam keberadaan demokrasi di Indonesia. Meskipun dalam banyak hal, interaksi antara oligarki, kekayaan, media, dan partai berjalan dengan baik sebagaimana demokrasi di Amerika Serikat. Namun yang menjadi perbedaannya, demokrasi di Amerika Serikat diimbangi dengan peran civil society dan supremasi hukum yang kuat.
Sedangkan situasi yang terjadi di Indonesia, kedua peran yang dilakukan civil society lemah dan bahkan terfragmentasi secara tajam. Fenomena politik dengan masifnya tuntutan publik soal supremasi hukum, seolah-olah mendapat respon positif meski faktanya tidak disertai dengan komitmen dan tindakan secara progresif.
Berdasarkan paparan di atas, setidaknya bisa disimpulkan bahwa dengan merujuk berdasarkan teori relasi kekuasaan, dengan adanya praktik politik dinasti yang dilakukan para pucuk pimpinan pemerintah penguasa, maka akan besar pengaruhnya dengan kemungkinan terbukanya peluang terjadinya perbuatan korupsi.
Langkah Gerakan Melawan
Bagaimana cara melawan para calon kontestan/pemimpin yang berpotensi melakukan korupsi dan politik dinasti? Salah satu langkah gerakannya adalah dengan menyuarakan dan mengajukan kritik dari seluruh penjuru masyarakat. Melalui teknologi digital, tentu sangat memungkinkan untuk membangun opini publik secara masif melawan korupsi dan politik dinasti.
Menyuarakan secara lantang mengenai konsekwensi dampak (logis-politis) jika memilih calon kontestas/pemimpin yang berpotensi melakukan korupsi dan politik dinasti. Pada ghalibnya, mereka hanya ingin mengamankan kepentingan politik penguasa dan kepentingan ekonomi para oligark mempertahankan kekuasaan dan menjaga kekayaan yang sudah mereka siapkan bersama.
Agar dipahami bahwa ontologi politik dinasti adalah ketakutan dan kerakusan yang berpijak pada kebodohan. Sudah terlalu sering rakyat dibohongi politisi dan pemerintah penguasa yang bermain dengan pencitraan. Memilih dengan menggunakan akal sehat dan kejernihan Nurani itu, setidaknya bisa mereduksi percepatan proses kehancuran bangsa dan negara.
Simpulan
Sejatinya pencideraan demokrasi di Indonesia disebabkan karena maraknya para penjaga demokrasi itu sendiri yang memainkan politik standar ganda. Hanya demi kepentingan politik sesaat, mereka kemudian terjebak dalam permainan mereka yang kemudian menyesalinya dengan dalih tertipu, dalih ditinggalkan, dan dalih-dalih pembenar lainnya.
Para penghamba dan pengawal calon kontestan yang berpotensi melakukan praktik "korupsi dan politik dinasti" itu, diduga karena merasa tidak enak dan tidak tahan dengan berbagai godaan janji dan komitmen-komitmen palsu, hingga mereka terbius dengan pundi-pundi recehan yang diberikan untuk mau bergabung sebagai pendukungnya.
Setidaknya keinginan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan demokratis, berdaulat dan mandiri di mata masyarakat global itu, memang perlun kehadiran peran dan posisi civil society yang terkonsolidasi dan kritis. Tegak dan kuatnya supremasi hukum, menjadi kunci utama untuk meyakinkan kepercayaan dan partisipasi politik rakyat dan negara global dalam proses pembangunan negara-bangsa.
Mark McGann Blyth, seorang ekonom politik Skotlandia-Amerika sekaligus dosen di Universitas Brown Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa demokrasi juga dapat runtuh "jika para pemilih tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan dan hanya mendukung status quo". Dalam situasi seperti ini, para pemilih yang tidak memiliki pilihan nyata, mungkin akan memilih opsi yang paling tidak demokratis.
Oleh karenanya, momentum Pilkada serentak 2024 harus dijadikan pintu masuk bagi para kelompok civil society mengorganisir diri untuk meng-kanpanye-kan, memobilisasi, dan melakukan gerakan perlawanan untuk menolak "calon kontestan yang berpotensi korupsi dan yang melakukan praktik politik dinasti".