Pesan moral-politik dalam artikel opini ini adalah berupa skenario pergerakan dan gagasan ideologi baru melalui gerakan revolusi mental, menuju pembaharuan Indonesia emas 2045.
Realisasi skenario gerakan ditujukan kepada para aktivis kader/anggota NGO lintas isue program, kader/anggota Ormas sosial-keagamaan (PBNU dan PP Muhammadiyah), hingga para kader/anggota organisasi gerakan sosial-ekonomi-lingkungan, yang memberi tugas konsolidasi dan mobilisasi rakyat menuju kemartabatan dan kemandirian di atas kedaulatan politik pemerintah desa dan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Tawaran skenario ini dilatari dari potret pertarungan para pelaku ekonomi ditingkat tapak/desa/adat yang sejatinya sama kejadiannya dilingkaran elite birokrat pemerintah daerah hingga pusat. Praktik konspirasi antara elite partai dengan elite birokrat beserta para pengusaha kelas kakap dilingkaran pemerintah pusat itu, juga sama kejadiannya di tingkat tapak/desa/adat.
Praktik monopoli, transaksi hutang-gadai, praktik nepotisme jabatan perangkat Pemdes, praktik kolusi-korupsi pembagian dan penyaluran bantuan sosial pemerintah, hingga menggantungkan harga diri keluarga kepada para pemilik warung sembako yang sekaligus me- representasi-kan sebagai pemilik modal dan pengatur kebijakan Kepala Dusun/Desa.
Fenomena personal terkait “godaan kemapanan hidup” agar tetap eksis dengan status sosial di era kemenangan sistem kapitalis, telah memprovokasi prilaku individu maupun kelompok tertentu cenderung melakukan praktik secara instan, pragmatis, oportunis, hingga kehendak memonopoli demi pemenuhan kebutuhan materialismenya.
Begitu rigid dan berlikunya proses membangun dan mempertahankan bidang usaha/bisnis yang dikelola, atau karena keadaan tertentu diluar aturan, telah mempengaruhi rasionalitas cara berfikir dan bertindak setiap individu, semata demi tujuan individualitasnya, ataupun menjaga dan mempertahankan eksistensi institusi atau bisnis usahanya.
Faktanya memang sulit untuk menghindar bagi para pelaku bisnis hingga berlindung dibalik pembenaran paling logis dan moderat, yaitu demi menjaga keberlangsungan usaha dan memenuhi kewajiban membayar gaji karyawan sebagai tanggung jawab moral-hukumnya. Fenomena inilah yang memprovokasi prilaku kompetisi tanpa peduli soal etik-moral, hingga esensi halal-haram sekalipun.
Kemenangan praktik monopoli dan sistem ekonomi kapitalis global saat ini, memang dibutuhkan atau harus ada penyeimbang sebagai antitesis tandingan yang kehadirannya diposisikan sebagai pelaku ekonomi alternatif. Setidaknya ada peluang menerapkan praktik bisnis yang dijalankan dengan semangat religiusitas, moralitas, dan etik menuju cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai misal, fenomena kesediaan PBNU dan PP Muhammadiyah yang bersedia menerima dan memanfaatkan peluang politik yang ditawarkan pemerintah dengan sebuah izin usaha pemanfaatan (IUP) dari menteri untuk mengelola tambang merupakan suatu keniscayaan politik-ekologi saat kekinian.
Pro-kontra kalangan intelektual, akademisi, hingga para aktivis NGO lingkungan soal kesediaan Ormas sosial-keagamaan PBNU dan PP Muhammadiyah menerima tawaran pemerintah mengelola konsesi tambang, bisa ditafsirkan sebagai skenario mewujudkan “Prilaku Idealis-Pragmatis Merebut Praktik Monopoli-Kapitalistik Menuju Skenario Sosialis-Religiusitas” sebagaimana judul artikel opini ini.
Kecurigaan secara berlebihan hingga mengarah tuduhan pemikiran destruktif soal pengelolaan tambang yang dijalankan BUMN dan perusahaan swasta, harus dibuktikan dengan menghadirkan subjek pelaku pembanding. Personifikasi subjek pelaku dimaksud, representasinya diwakili Ormas sosial-keagamaan PBNU dan PP Muhammadiyah.
Perdebatan sengit mengenai konsep pemikiran secara multi perspetif berbasis dalil maupun teori, diduga terjadi sangat dinamis sebelum ada keputusan final dari kedua ormas keagamaan itu. Setidaknya ada pertaruhan nama baik dan harga diri organisasi, ketika PBNU dan PP Muhammadiyah menerima tawaran dengan jalur hak prerogatif Presiden melalui kementerian yang mengurusinya.
Simulasinya, jika pelaku pembanding bisa membuktikan langkah dan strategi pengelolaan tambang yang tidak mengabaikan dampak lingkungan, keuntungan nilai finansial secara signifikan, penyumbang APBN lebih besar dari sebelumnya, serta mampu mem-berdaulat-kan dan mensejahterakan khususnya warga desa/adat sekitar areal konsesi Tambang, maka selamatlah nama baik dan harga diri organisasi.
Slogan lebih baik “dikelola lembaga keagamaan meski juga terjadi praktik KKN” dari pada “dikelola Asing dan Aseng” wajib disuarakan secara lantang. Harus ada tindakan politik “menyelamatkan yang bisa diselamatkan” sebelum “tergadaikan kepada pihak Asing atau Aseng secara permanen”.