Berkah atau Musibah
Pemdes yang mendapat kepercayaan KemenLHK mengelola HD bisa "menjadi berkah atau sebaliknya musibah". Menjadi berkah jika berdampak positif bagi warga desanya, tetapi menjadi musibah karena justru menambah masalah baru dan berpotensi menjadi konflik laten.
Ketika proses penyiapan, pengusulan hingga persetujuannya tidak diberikan pemahaman beserta gambaran konsekwensi logis-politis berupa tanggung jawab selama mengelola dan menjaga kawasan HD, maka berbagai persoalan baru akan menyertainya kelak.
Harmonisasi warga desa akan hancur dan bahkan terbelah menjadi beberapa kelompok yang saling curiga dan iri apabila pendistribusian peluang dan kesempatan mengikuti berbagai program kegiatan/pelatihan yang diselenggarakan pihak tertentu terjadi secara tidak merata.
Konflik diprediksi menjadi semakin pelik bahkan secara terbuka antar sesama warga, apabila ada bantuan barang/alat produksi yang seharusnya menjadi aset bersama bagi seluruh warga desa, tetapi keberadaannya justru berada dalam kekuasaan individu/kelompok tertentu. Â
Oleh karenanya, kehadiran para pendamping yang mengawal kebijakan Perhutanan Sosial itu, sejatinya "bisa menjadi motivator, idiolog, atau sebaliknya justru menanamkan mental pengemis" apabila salah dalam menempatkan peran dan posisinya selama berinteraksi.
Idealnya para pendamping harus melakukan 3 (tiga) hal, Pertama, mengoptimalkan tata kelola kelembagaan antar institusi internal Pemdes, Kedua, mengoptimalkan kapasitas pengetahuan dan skill dalam menjalankan mandat KemenLHK, Ketiga, ideologisasi cara negosiasi secara bermartabat atas kedaulatannya.
Berkah bagi Pemdes bila potensi HD dioptimalkan sebagai peluang menjadi entrepreneur oleh "Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS)" yang pengelolaannya dilakukan dengan benar dan profesional berbasis jasa lingkungan dan komoditas unggulan secara berkelanjutan.
Kata entrepreneur diambil serta diadopsi dari Bahasa Perancis yaitu entreprendre. Kata ini memiliki arti to undertake atau "melakukan, memulai, atau berusaha mengatur dan mengorganisir sesuatu".
Joseph Schumpeter, ahli ekonomi dari Austria, mendefinisikan entrepreneur "orang dengan keinginan serta kemampuan untuk merombak sistem perekonomian, mencetuskan ide-ide baru, dan mewujudkan inovasi sukses melalui temuan ciptaan baru".
Setidaknya ada 4 (empat) bentuk inovasi yang biasanya dicetuskan seorang entrepreneur, antara lain (1) Produk baru baik barang ataupun jasa, (2) Sistem pengoperasian manajemen baru, (3) Sistem produksi baru, dan (4) Penggunaan bahan baku yang baru.
Keempat peluang untuk menjadi entrepreneur itu, sesungguhnya sangat memungkinkan jika bisa mengoptimalkan potensi ketersediaan SDM dan SDA dalam internal desa yang mampu menjalankan mandat mengelola kawasan HD secara konsisten, kreatif dan profesional. Â
Setidaknya dengan kemampuan Pemdes dan LPHD mengkreasi peluang inovasi di desanya, diharapkan menarik perhatian para generasi milenial-zelenial terbaik desa yang merantau di kota pulang kampung, bertarung merintis diri menjadi entrepreneur handal dikemudian hari.
Potensi penyerapan tenaga kerja dan peluang bisnis alternatif ini menjadi fenomena menarik, ketika sedang marak terjadi "Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia". Data Kemnaker mencatat korban PHK mencapai 44.195 orang per pertengahan Agustus 2024.
Menjawab Ketahanan Pangan dan Climate Change