Sudah selayaknya "pengelola Hutan Desa (HD) berani negosiasi secara radikal" karena kontribusi politiknya secara langsung berupaya menjawab masalah "ketahanan pangan" dan "climate change". Menagih haknya untuk biaya politik mengelola dan menjaga kawasan hutan negara.
Skema HD merupakan salah satu skenario Perhutanan Sosial dengan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dikelola oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utamanya.
Sedangkan tafsir dari "sistem pengelolaan hutan lestari" bisa diartikan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga keseimbangan lingkungan dengan melindungi potensi biodiversity, terciptanya keadilan sosial dan ekologi, serta terjaganya dinamika sosial budaya masyarakat tempatan.
Selayaknya Pemdes yang mengelola kawasan HD itu, bagi warga desa tempatan berhak merdeka seratus persen, terbebas cengkraman tengkulak berikut hutangnya. Andai ada projek apapun dan siapapun operatornya, skema kolaborasinya harus dengan FPIC/PADIATAPA.
Amanah politik yang diterima mereka sejatinya sarat dengan konsekwensi berupa resiko konflik internal antar warga desa, maupun tekanan dari pihak luar desa yang dengan sengaja beraktifitas dalam wilayah HD yang diberi mandat mengelola dan menjaga kelestariannya.
Setidaknya Pemdes dan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) sebagai pengelola kawasan HD butuh modal sosial-material maupun pengetahuan hingga penguasaan keahlian khusus tertentu dalam menjalankan tanggung jawab politiknya secara reguler dan jangka panjang.
Penguasaan keahlian khusus yang harus dikuasai LPHD dalam mengelola, menjaga dan mempertahankan kawasan HD dimaksud, minimal berkenaan dengan (1) Manajemen kelembagaan, (2) Strategi resolusi konflik tenurial, (3) Mitigasi konflik satwa liar dengan manusia, (4) Monitoring satwa liar, dan (5) Identifikasi Biodiversity.
Hak Politik Desa
Secara geografis, Desa merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang punya kewenangan mengurus dan mengatur sendiri kepentingan masyarakatnya berdasarkan hak asal-usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan.
Interaksi sosial-ekonomi-budaya warga desa sekitar kawasan hutan yang bergantung pada potensi SDA hutan itu, fenomenanya mengalami penurunan secara kwalitas-kwantitas, bahkan teruduksi peluang aksesnya akibat dampak kebijakan politik sektor kehutanan.
Melalui penerapan kebijakan Perhutanan Sosial, setidaknya menjadi celah politis bagi warga desa meraih kembali hak-hak politik komunal dan jaminan sosial dalam kehidupannya yang disediakan semesta alam, meski ada ragam konsekwensi politis yang harus dihadapi.
Hak atas bawaan/kepunyaan yang melekat sejak desa ada, dengan kuasanya untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun, yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.
Pihak KemenLHK tidak cukup hanya memberi kepercayaan Pemdes dan LPHD mengelola kawasan hutan negara, yang berdasarkan sejarah adat-budayanya telah mewasiatkan sebagai warisan politik nenek moyangnya untuk mencukupi kebutuhan dasar bagi seluruh warga desa.
Pemerintah juga tidak bisa menghindar dari tanggung jawab politiknya, yaitu mengalokasikan anggaran biaya politik menjaga kelestarian biodiversity, menjaga praktik pendudukan kawasan secara illegal, perburuan satwa liar dilindungi, serta kegiatan illegal logging dan illegal maining. Â
Realisasi program Perhutanan Sosial harus menerapkan pola pendanaan seperti skema "Dana Alokasi Khusus (DAK)" yang diberikan langsung kepada Pemdes dan LPHD secara reguler, seperti pemerintah pusat menugaskan pemerintah daerah menjaga dan merawat aset negara.