Siapapun yang mampu mempengaruhi, mengatur, dan memaksa patuh kepada para pimpinan TNI-Polri di setiap level komando dan teritorial, pimpinan Ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, maka niscaya visioner presiden beserta gerbong patron-klien pendukungnya akan mampu merealisasikan apapun scenario politik yang diinginkan.
Patron-klien dimaksud meliputi para politisi parpol koalisi pemenang pemilu presiden beserta organisasi sayap pendukungnya, yang memang sudah terlanjur menikmati kenyamanan dengan pembagian jatah kekuasaan sesuai porsinya dalam menduduki pos-pos kementerian kabinet hingga posisi direktur maupun direksi BUMN.
Dengan menggunakan teori patron-klien itu, secara politik setidaknya ada korelasinya dengan soal hubungan timbal balik, kesukarelawan, eksploitasi, dominasi, dan asimetri mewarnai pola relasi ini. Pola relasi ini menjadi stimulan terhadap peluang terbentuknya rezim kekuasaan yang cukup lama dan kuat dengan memanfaatkan dukungan sumber daya manusia dan modal finansial yang tersedia.
Sebagai dampak akibatnya, bangunan relasi patron-klien yang kuat ini telah mendorong matinya demokrasi berbasis gagasan, sehingga berkembang demokrasi pencitraan dan transaksional. Relasi patron-klien telah menempatkan masyarakat sebagai komoditas yang diperjual belikan para politisi untuk meraih kekuasaannya. Masyarakat tidak lagi memilih pemimpin negeri atas dasar kapasitas dan integritas, melainkan hanya pertimbangkan pencitraan semata.
Konsekwensi logis-politis yang akan terjadi pada institusi mulai dari tingkatan organisasi sosial-politik, organisasi profesi hingga organisasi pemerintahan suatu negara, dampak dari praktik relasi patron klien bisa melemahkan proses kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan secara prosedural yang sudah ditetapkan berdasarkan ketentuan aturan main dalam institusi tertentu.
Fenomena politik inilah yang kemudian berpotensi mereduksi dan menciderai system dan praktik domokrasi. Ada kencenderungan untuk menabrak aturan dan menafikan etika dan moralitas, karena prilaku dan ada dugaan para elite pemerintah penguasa maupun para politisi yang menduduki kursi legislative dan yudikatif dalam posisi tersandra dan atau saling menyandra dari berbagai kasus hukum. Bahkan garda terakhir pengawal demokrasi "Mahkamah Konstitusi" juga diragukan marwah independensi, kompetensi dan kredibilitasnya.
Sebagaimana fenomena politik Indonesia saat ini yang situasi dan kondisinya sedang tidak baik-baik saja, apabila tidak ada keberanian dan kemampuan untuk menghadang dan melawan secara konstitusional maupun dengan cara parlemen jalanan terhadap praktik kolaborasi politik antara elite penguasa, pimpinan parpol dan mayoritas anggota legislatif DPR RI, maka rakyat akan dipaksa menerima berbagai suguhan kebijakan politik yang tak terduga.
Proses produk politik berupa UUCK relative lancar, kebijakan proyek food estate yang terbengkalai, amanat Undang-Undang terhadap proyek IKN yang dinilai megaspekulasi masa depan Indonesia itu, hingga kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi, semuanya itu bisa ditafsirkan sebagai bukti "suguhan kebijakan politik rezim penguasa" yang legal-konstitusional dengan berbagai kontroversinya.
Dinasty Politik
Fatsun politik soal etika politik itu relevan dengan teori kausalitas. Jika politik tidak beretika maka akan menciderai system demokrasi. Politik harus berlandaskan hukum, dan aturan hukum itulah yang dijadikan sebagai pengganti etika dalam berpolitik, karena etika itu memang tidak tertulis.
Persoalan "moral, etika, kejujuran" menjadi sumber "masalah pertama" bagi para elite penguasa, para politisi, dan para pimpinan Parpol. Sedangkan "masalah kedua" berkenaan dengan soal "keteladanan". Menafikan soal moral, etika, kejujuran yang dipertontonkan selama mengelola parpol, hingga praktik pimpinan parpol memaksakan anaknya menjadi penerus/pewaris pimpinan Parpol, dengan alasan dan argumentasi tidak jujur.
Dengan demikian, fenomena politik riil di atas itu bisa dijadikan argumen dan jastifikasi secara politik, bahwa awal mula rusaknya praktik demokrasi di Indonesia, yang sejatinya dilakukan para politisi calon pemimpin/penguasa negara-bangsa Indonesia itu sendiri.
Kausalitas berdasarkan fenomena politik yang terjadi dalam internal parpol saat/selama ini, sangat berdampak pada praktik demokrasi yang cenderung menghalalkan segala cara. Para politisi diduga sudah tidak peduli lagi soal moralitas, etika, kejujuran, karena tempat mereka menempuh karier politik telah mengajarkan dan mencontohkan "cara dan praktik dinasty politik dalam mengelola Parpol".
Tafsir pesan politik Istana kepada parpol itu, dimanifestasikan dengan prilaku pembangkangan presiden Jokowi sebagai petugas partai kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres melalui segala daya dan upaya politisnya secara legal-konstitusional. Â
Sedangkan pesan politik Istana kepada Civil Society, sejatinya ingin menyampaikan fenomena politik kekinian bahwa "praktik demokrasi di Indonesia bisa diatur sekehendak rezim penguasa" apabila mampu mengkanalisasi mayoritas anggota Legislatif dengan koalisi mayoritas dengan dukungan politik TNI-POLRI dan Ormas keagamaan dengan anggota terbesar, melalui negosiasi politik dan konsolidasi secara presisi beserta konsekwensi logisnya dibawah komando Presiden.
Secara politis, sejatinya siapa yang menyediakan ruang politik hingga terbangunnya dinasty politik Jokowi? Jika ditelisik sejarah terpilihnya Jokowi, Gibran dan Bobby Nasution, maka dengan gamblang bisa terjawab bahwa PDIP, PKB, Golkar, Gerindra, Nasdem, Gerindra, Golkar adalah Parpol yang mengusung hingga terpilihnya mereka menduduki jabatan di wilayah kekuasaannya masing-masing.
Kesalahan hingga muncul penilaian praktik dinasty politik, setidaknya dalam prosesnya terjadi secara berjamaah melalui konsensus antar elite Parpol. Kepentingan konsensus politik yang dibangun itu, diduga ada negosiasi pembagian jatah kursi kekuasaan, kepentingan politik melindungi kasus hukum, hingga kepentingan untuk pengamanan bisnis sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan yang wilayah kelolanya berada dalam wilayah administrative pimpinan daerah yang dimenangkan.
Jika pada saat pengusulan mendapat penolakan dari para elite partai (PDIP, PKB, Golkar, Gerindra, Nasdem, Gerindra, Golkar) yang diminta untuk mengusung kandidat yang diusulkan, maka siapapun yang diusulkan untuk diusung meski bukan keluarga Jokowi sekalipun, tentu tidak akan terjadi kegaduhan dikalangan publik soal dinasty politik seperti yang dituduhkan kepada keluarga Jokowi saat ini.
Pertanyaan kritisnya, dimana sebenarnya posisi para mantan aktivis pro-demokrasi yang berjuang menumbangkan rezim Soeharto periode 1988-1998 yang dalam faktanya ada di dalam Parpol maupun yang ada disekitaran para elite Parpol, bahkan ada juga yang menjadi bagian dari elemen politik pemerintah penguasa Jokowi? Apakah mereka dalam posisi lalai, tidak sadarkan diri, hingga baru menyadari dan meneriakkan secara lantang terjadi praktik dinasty politik saat ini?
Â
Aroma People Power
Ragam kekecewaan public terhadap kebijakan dan langkah politik presiden Jokowi menjelang pesta demokrasi 2024, telah melahirkan narasi beraroma people power. Suara ajakan dari kalangan pengamat politik, aktivis pro-demokrasi, aktivis mahasiswa, hingga kelompok masyarakat sipil keagaaman tertentu dalam momen diskusi terbatas, pemasangan spanduk di jalanan, hingga pemberitaan secara massif melalui media social.
Meski aroma people power sudah dihembuskan kelompok aktivis pro-demokrasi, pertanyaannya, apakah keinginan itu merepresentasikan seluruh komponen warga-bangsa? Sementara kelompok civil society yang menganggap dirinya reformis, ternyata tidak punya kaki tangan yang kuat di kalangan masyarakat tingkat tapak, seperti situasi menjelang Gerakan reformasi 1998, yang disiapkan sepuluh tahun sebelumnya 1989. Bahkan pikiran dan konsentrasi mereka cenderung hanya tersirkulasi di antara kelompok terbatas mereka sendiri.
Dimana posisi para aktivis mahasiswa saat ini berada? Apakah mereka berinteraksi langsung dalam kantong-kantong konflik yang bersifat ideologis-fundamental yang dihadapi rakyat di tingkat tapak? Apakah para aktivis mahasiswa juga berinteraksi dan membangun jaringan komunikasi dengan kalangan TNI-Polri yang merasa resah akibat kebijakan politik rezim penguasa? Dengan politisi, akademisi dan intelektual oposan? Dan apakah gerakannya sudah menyusup dan berinteraksi langsung dengan kaum buruh kota, para petani yang secara politik termarginalkan secara structural di kampung-kampung?
Prilaku politik saling menelikung, rekayasa politik, praktik politik kepentingan, strategi taktis untuk kebutuhan sesaat, semuanya itu telah dan pernah pernah dicontohkan para elite penguasa rezim maupun pimpinan Parpol sejak dalam sejarah perjuangan pra-kemerdekaan menuju kemerdekaan, hingga masa-masa awal kemerdekaan republik ini.
Sejarah memang selalu berulang, meski disayangkan dalam pengulangan sejarah itu yang terpotret hanya sisi negatifnya saja. Sementara sejarah soal pergulatan pemikiran yang mencerminkan idealisme untuk menjaga nilai-nilai etis dari beberapa sosok tokoh pergerakan demi persatuan dan nasionalisme bangsa ini, tidak mendapat porsi pemberitaan secara maksimal dan proporsional.
Gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto memang digadang-gadang bisa mengkoreksi dan memperbaiki system politik demokrasi. Akan tetapi, pada akhirnya dibajak para reformis yang menunggu di tikungan. Sementara para aktivis mahasiswa pergerakan pro-demokrasi mahasiswa hanya sebatas pendorong mobil mogok.
Tawaran scenario "revolusi konstitusional senyap" mungkin bisa dijadikan "alternatif strategi antara" selama masa waktu menuju jadwal pencoblosan suara. Mengkampanyekan dan memobilisasi rakyat untuk tidak memilih para calon legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden dari Parpol tertentu, yang berdasarkan rekam jejaknya tidak bekerja secara konsisten dan amanah sebagaimana yang pernah dijanjikan, bahkan telah menciderai praktik demokrasi di Indonesia.
Modus operandinya dengan cara mengamati dan mengkritisi rekam jejak prilaku para calon legislative dan capres-cawapres yang tidak bisa dijadikan teladan. Misalnya cara para calon yang ingin memenangkan kontestasi, telah melakukan praktik transaksi politik uang untuk meraih kursi kekuasaan sebagai anggota legislative atau sebagai presiden dan wakil presiden.
Langkah dan tindakan konkrit lainnya, menginventarisir dengan cepat dan akurat mengenai apa saja "kesalahan yang dilakukan para elit parpol", sehingga bisa dirancang scenario gerakan mempercepat perbaikan dengan mengkondisikan dan memobilisasi seluruh kekuatan kelompok pro-demokrasi, melakukan gerakan boikot anti Parpol hingga demonstrasi jalanan secara paralel dan bergelombang.
Â
Pesan Politik Istana
Diduga presiden Joko Widodo memang dengan sadar sedang mensedekahkan diri dan keluarganya menjadi "a common enemy of pro-democracy opposition activists and politicians" dengan niatan membawa negara-bangsa ini tampil percaya diri dalam kancah persaingan global menuju negara industry yang berdaulat, mandiri dan bermartabat untuk menghadapi tekanan negara manapun.Â
Meski pesan politik istana ditujukan kepada seluruh Parpol, tetapi secara implisit ditujukan secara khusus kepada PDIP. Pembelajaran politik yang ingin disampaikan soal prilaku patuh sebagai petugas partai yang sebenarnya. Kapan harus patuh sebagai anggota partai dan kapan tidak harus patuh ketika menjadi pejabat public. Patuh sebagai petugas partai bukan berarti harus tunduk dengan segala perintah Ketua Umum Partai, karena bisa jadi kepentingan politiknya tidak sejalan dengan aspirasi politik warga bangsa.
Ketika Jokowi diusung menjadi Walikota, Gubernur hingga Presiden itu, tafsir politiknya bisa diartikan dalam dua perspektif. Pertama, apakah Jokowi "meminta atau haknya" sebagai anggota kader partai, dan Kedua, Megawati "memberi atau kewajibannya" sebagai pimpinan parpol. Perihal ini harus dipahami secara kontekstual bagi para konstituen, kader hingga para fungsionaris elite partai.
Jika pemahaman tafsir politik di atas ditempatkan secara proporsional, maka narasi yang menilai Jokowi melakukan pembangkangan akan gugur dengan sendirinya. Secara politik, eksistensi Presiden harus memposisikan secara independensi sebagai pemimpin bangsa. Pemimpin bangsa bertanggung jawab kepada seluruh rakyat Indonesia dan bukan kepada Partai. Sedangkan petugas partai yang tidak menduduki jabatan public, memang harus patuh dan tunduk kepada pimpinan partai.
Semangat dan karakter kepemimpinan presiden Joko Widodo, tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan presiden pertama Ir. Soekarno di masa pra-kemerdekaan sampai dengan masa awal kemerdekaan hingga kepemimpinannya selama dua dekade. Scenario praktik demokrasi terpimpin, diterapkan dengan cara negosiasi dan mengkonsolidasikan seluruh elemen politik bangsa, dibawah kendali penuh Soekarno dengan visioner dan cita-cita revolusionernya.
Visioner dan cita-cita revolusioner presiden Soekarno, dibuktikan dengan lahirnya gagasan Konferensi Asia-Afrika yang mendapat simpati dan diikuti negara-negara di kawasan Asia dan Afrika. Konferensi Asia-Afrika dilatari karena rasa senasib sepenanggungan dampak Perang Dunia II, sekaligus bentuk solidaritas negara-negara perwakilan berupaya menghapus penjajahan negerinya dan negera-negara di sekitar Asia-Afrika.
Semangat Soekarno dilanjutkan dengan membentuk Gerakan Non-Blok sebagai organisasi internasional yang tidak beraliansi dengan kekuatan militer seperti NATO, SEATO, CENTO, METO, dan ANZUS dari Blok Barat, serta Pakta Warsawa dari Blok Timur. Terbentuknya gerakan Non-Blok ini dilatari dari salah satu prinsip "Dasa Sila Bandung" sebagai dasar gerakan Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Keteguhan hati dengan pemikiran hingga strategi politik yang diskenariokan Presiden Jokowi, meski harus menghadapi berbagai kritik dan cibiran lawan-lawan politiknya, tetap dijalankan karena ada substansi politik global yang harus ditunaikan. Pemerintahan Jokowi harus menghadapi dan melawan hegemoni negara-negara industry maju yang relative minim kontribusi dan kepeduliannya soal ketahanan pangan dunia, energi terbarukan, perdagangan bebas berbasis kedaulatan negara, hingga masalah pemanasan global.
Simpulan
Kekuatan koalisi partai mayoritas memang diperlukan untuk mengamankan parlemen menyetujui usulan kebijakan politik eksekutif dengan kemasan Undang-Undang yang dijadikan landasan hukum untuk memuluskan seluruh kebijakan politik pembangunan, hingga strategi negosiasi politik menghadapi tekanan global terkait krisis ekonomi saat ini.
Upaya negosiasi dan konsolidasi mewujudkan "Coalition Party Majority" sepertinya menjadi keharusan. Strategi ini dilakukan untuk mendukung presiden terpilih kedepan, sehingga dirigen komando bisa dijalankan untuk mengawal dan mengamankan strategi kebijakan pembangunan yang dijalankan pihak eksekutif, memastikan kesinambungan dan keberlanjutan visioner pembangunan Ibukota Nusantara (IKN) sebagaimana cita-cita "Founding Father of the Indonesian Nation-State" presiden Soekarno bisa terwujud.
Kepastian situasi dan kondisi stabilitas politik dalam negeri yang terkedali, kebijakan hilirisasi potensi SDA, scenario ekonomi hijau, hingga realisasi projek IKN itu, dijadikan modal politik sekaligus symbol perlawanan global yang ingin dipertontonkan kepada dunia, dalam rangka menjaga posisi kedaulatan negara-bangsa Indonesia di mata negara manapun.
Kepercayaan investasi menjadi sangat penting untuk melakukan lompatan dan terobosan bagi negara Indonesia hingga menjadi negara besar dan maju, karena sangat tidak mungkin mengawal dan mewujudkan symbol perlawanan global yang dipertontonkan di atas, hanya dengan mengandalkan ketersediaan dana APBN. Oleh karenanya, investasi menjadi mutlak untuk diperjuangkan cara pencapaiannya.
Atas nama kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, demi menjaga kedaulatan menuju kemandirian dan kesetaraan antar bangsa, maka  dalam menghadapi persaingan dan ancaman global negara-negara maju itu, mengharuskan untuk bisa mempertahankan rekonsiliasi nasional antar komponen bangsa dan kelompok politik yang ada. Dengan demikian, negosiasi politik dengan negara manapun untuk mengawal dan menjaga kebijakan hilirisasi potensi SDA yang melimpah bisa berhasil sesuai target politik yang diharapkan.
Selamat Bergembira Menyongsong Pesta Demokrasi Indonesia Februari 2024.
Bahan Bacaan:
- https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/79600
- https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20231102144846-569-1019163/sejarah-dan-tujuan-konferensi-asia-afrika-1955
- https://nasional.kompas.com/read/2022/03/13/02000081/gerakan-non-blok--tujuan-dan-daftar-anggota
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI