Pesan Politik Istana
Diduga presiden Joko Widodo memang dengan sadar sedang mensedekahkan diri dan keluarganya menjadi "a common enemy of pro-democracy opposition activists and politicians" dengan niatan membawa negara-bangsa ini tampil percaya diri dalam kancah persaingan global menuju negara industry yang berdaulat, mandiri dan bermartabat untuk menghadapi tekanan negara manapun.Â
Meski pesan politik istana ditujukan kepada seluruh Parpol, tetapi secara implisit ditujukan secara khusus kepada PDIP. Pembelajaran politik yang ingin disampaikan soal prilaku patuh sebagai petugas partai yang sebenarnya. Kapan harus patuh sebagai anggota partai dan kapan tidak harus patuh ketika menjadi pejabat public. Patuh sebagai petugas partai bukan berarti harus tunduk dengan segala perintah Ketua Umum Partai, karena bisa jadi kepentingan politiknya tidak sejalan dengan aspirasi politik warga bangsa.
Ketika Jokowi diusung menjadi Walikota, Gubernur hingga Presiden itu, tafsir politiknya bisa diartikan dalam dua perspektif. Pertama, apakah Jokowi "meminta atau haknya" sebagai anggota kader partai, dan Kedua, Megawati "memberi atau kewajibannya" sebagai pimpinan parpol. Perihal ini harus dipahami secara kontekstual bagi para konstituen, kader hingga para fungsionaris elite partai.
Jika pemahaman tafsir politik di atas ditempatkan secara proporsional, maka narasi yang menilai Jokowi melakukan pembangkangan akan gugur dengan sendirinya. Secara politik, eksistensi Presiden harus memposisikan secara independensi sebagai pemimpin bangsa. Pemimpin bangsa bertanggung jawab kepada seluruh rakyat Indonesia dan bukan kepada Partai. Sedangkan petugas partai yang tidak menduduki jabatan public, memang harus patuh dan tunduk kepada pimpinan partai.
Semangat dan karakter kepemimpinan presiden Joko Widodo, tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan presiden pertama Ir. Soekarno di masa pra-kemerdekaan sampai dengan masa awal kemerdekaan hingga kepemimpinannya selama dua dekade. Scenario praktik demokrasi terpimpin, diterapkan dengan cara negosiasi dan mengkonsolidasikan seluruh elemen politik bangsa, dibawah kendali penuh Soekarno dengan visioner dan cita-cita revolusionernya.
Visioner dan cita-cita revolusioner presiden Soekarno, dibuktikan dengan lahirnya gagasan Konferensi Asia-Afrika yang mendapat simpati dan diikuti negara-negara di kawasan Asia dan Afrika. Konferensi Asia-Afrika dilatari karena rasa senasib sepenanggungan dampak Perang Dunia II, sekaligus bentuk solidaritas negara-negara perwakilan berupaya menghapus penjajahan negerinya dan negera-negara di sekitar Asia-Afrika.
Semangat Soekarno dilanjutkan dengan membentuk Gerakan Non-Blok sebagai organisasi internasional yang tidak beraliansi dengan kekuatan militer seperti NATO, SEATO, CENTO, METO, dan ANZUS dari Blok Barat, serta Pakta Warsawa dari Blok Timur. Terbentuknya gerakan Non-Blok ini dilatari dari salah satu prinsip "Dasa Sila Bandung" sebagai dasar gerakan Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Keteguhan hati dengan pemikiran hingga strategi politik yang diskenariokan Presiden Jokowi, meski harus menghadapi berbagai kritik dan cibiran lawan-lawan politiknya, tetap dijalankan karena ada substansi politik global yang harus ditunaikan. Pemerintahan Jokowi harus menghadapi dan melawan hegemoni negara-negara industry maju yang relative minim kontribusi dan kepeduliannya soal ketahanan pangan dunia, energi terbarukan, perdagangan bebas berbasis kedaulatan negara, hingga masalah pemanasan global.
Simpulan
Kekuatan koalisi partai mayoritas memang diperlukan untuk mengamankan parlemen menyetujui usulan kebijakan politik eksekutif dengan kemasan Undang-Undang yang dijadikan landasan hukum untuk memuluskan seluruh kebijakan politik pembangunan, hingga strategi negosiasi politik menghadapi tekanan global terkait krisis ekonomi saat ini.
Upaya negosiasi dan konsolidasi mewujudkan "Coalition Party Majority" sepertinya menjadi keharusan. Strategi ini dilakukan untuk mendukung presiden terpilih kedepan, sehingga dirigen komando bisa dijalankan untuk mengawal dan mengamankan strategi kebijakan pembangunan yang dijalankan pihak eksekutif, memastikan kesinambungan dan keberlanjutan visioner pembangunan Ibukota Nusantara (IKN) sebagaimana cita-cita "Founding Father of the Indonesian Nation-State" presiden Soekarno bisa terwujud.
Kepastian situasi dan kondisi stabilitas politik dalam negeri yang terkedali, kebijakan hilirisasi potensi SDA, scenario ekonomi hijau, hingga realisasi projek IKN itu, dijadikan modal politik sekaligus symbol perlawanan global yang ingin dipertontonkan kepada dunia, dalam rangka menjaga posisi kedaulatan negara-bangsa Indonesia di mata negara manapun.
Kepercayaan investasi menjadi sangat penting untuk melakukan lompatan dan terobosan bagi negara Indonesia hingga menjadi negara besar dan maju, karena sangat tidak mungkin mengawal dan mewujudkan symbol perlawanan global yang dipertontonkan di atas, hanya dengan mengandalkan ketersediaan dana APBN. Oleh karenanya, investasi menjadi mutlak untuk diperjuangkan cara pencapaiannya.
Atas nama kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, demi menjaga kedaulatan menuju kemandirian dan kesetaraan antar bangsa, maka  dalam menghadapi persaingan dan ancaman global negara-negara maju itu, mengharuskan untuk bisa mempertahankan rekonsiliasi nasional antar komponen bangsa dan kelompok politik yang ada. Dengan demikian, negosiasi politik dengan negara manapun untuk mengawal dan menjaga kebijakan hilirisasi potensi SDA yang melimpah bisa berhasil sesuai target politik yang diharapkan.