Kesalahan hingga muncul penilaian praktik dinasty politik, setidaknya dalam prosesnya terjadi secara berjamaah melalui konsensus antar elite Parpol. Kepentingan konsensus politik yang dibangun itu, diduga ada negosiasi pembagian jatah kursi kekuasaan, kepentingan politik melindungi kasus hukum, hingga kepentingan untuk pengamanan bisnis sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan yang wilayah kelolanya berada dalam wilayah administrative pimpinan daerah yang dimenangkan.
Jika pada saat pengusulan mendapat penolakan dari para elite partai (PDIP, PKB, Golkar, Gerindra, Nasdem, Gerindra, Golkar) yang diminta untuk mengusung kandidat yang diusulkan, maka siapapun yang diusulkan untuk diusung meski bukan keluarga Jokowi sekalipun, tentu tidak akan terjadi kegaduhan dikalangan publik soal dinasty politik seperti yang dituduhkan kepada keluarga Jokowi saat ini.
Pertanyaan kritisnya, dimana sebenarnya posisi para mantan aktivis pro-demokrasi yang berjuang menumbangkan rezim Soeharto periode 1988-1998 yang dalam faktanya ada di dalam Parpol maupun yang ada disekitaran para elite Parpol, bahkan ada juga yang menjadi bagian dari elemen politik pemerintah penguasa Jokowi? Apakah mereka dalam posisi lalai, tidak sadarkan diri, hingga baru menyadari dan meneriakkan secara lantang terjadi praktik dinasty politik saat ini?
Â
Aroma People Power
Ragam kekecewaan public terhadap kebijakan dan langkah politik presiden Jokowi menjelang pesta demokrasi 2024, telah melahirkan narasi beraroma people power. Suara ajakan dari kalangan pengamat politik, aktivis pro-demokrasi, aktivis mahasiswa, hingga kelompok masyarakat sipil keagaaman tertentu dalam momen diskusi terbatas, pemasangan spanduk di jalanan, hingga pemberitaan secara massif melalui media social.
Meski aroma people power sudah dihembuskan kelompok aktivis pro-demokrasi, pertanyaannya, apakah keinginan itu merepresentasikan seluruh komponen warga-bangsa? Sementara kelompok civil society yang menganggap dirinya reformis, ternyata tidak punya kaki tangan yang kuat di kalangan masyarakat tingkat tapak, seperti situasi menjelang Gerakan reformasi 1998, yang disiapkan sepuluh tahun sebelumnya 1989. Bahkan pikiran dan konsentrasi mereka cenderung hanya tersirkulasi di antara kelompok terbatas mereka sendiri.
Dimana posisi para aktivis mahasiswa saat ini berada? Apakah mereka berinteraksi langsung dalam kantong-kantong konflik yang bersifat ideologis-fundamental yang dihadapi rakyat di tingkat tapak? Apakah para aktivis mahasiswa juga berinteraksi dan membangun jaringan komunikasi dengan kalangan TNI-Polri yang merasa resah akibat kebijakan politik rezim penguasa? Dengan politisi, akademisi dan intelektual oposan? Dan apakah gerakannya sudah menyusup dan berinteraksi langsung dengan kaum buruh kota, para petani yang secara politik termarginalkan secara structural di kampung-kampung?
Prilaku politik saling menelikung, rekayasa politik, praktik politik kepentingan, strategi taktis untuk kebutuhan sesaat, semuanya itu telah dan pernah pernah dicontohkan para elite penguasa rezim maupun pimpinan Parpol sejak dalam sejarah perjuangan pra-kemerdekaan menuju kemerdekaan, hingga masa-masa awal kemerdekaan republik ini.
Sejarah memang selalu berulang, meski disayangkan dalam pengulangan sejarah itu yang terpotret hanya sisi negatifnya saja. Sementara sejarah soal pergulatan pemikiran yang mencerminkan idealisme untuk menjaga nilai-nilai etis dari beberapa sosok tokoh pergerakan demi persatuan dan nasionalisme bangsa ini, tidak mendapat porsi pemberitaan secara maksimal dan proporsional.
Gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto memang digadang-gadang bisa mengkoreksi dan memperbaiki system politik demokrasi. Akan tetapi, pada akhirnya dibajak para reformis yang menunggu di tikungan. Sementara para aktivis mahasiswa pergerakan pro-demokrasi mahasiswa hanya sebatas pendorong mobil mogok.
Tawaran scenario "revolusi konstitusional senyap" mungkin bisa dijadikan "alternatif strategi antara" selama masa waktu menuju jadwal pencoblosan suara. Mengkampanyekan dan memobilisasi rakyat untuk tidak memilih para calon legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden dari Parpol tertentu, yang berdasarkan rekam jejaknya tidak bekerja secara konsisten dan amanah sebagaimana yang pernah dijanjikan, bahkan telah menciderai praktik demokrasi di Indonesia.
Modus operandinya dengan cara mengamati dan mengkritisi rekam jejak prilaku para calon legislative dan capres-cawapres yang tidak bisa dijadikan teladan. Misalnya cara para calon yang ingin memenangkan kontestasi, telah melakukan praktik transaksi politik uang untuk meraih kursi kekuasaan sebagai anggota legislative atau sebagai presiden dan wakil presiden.
Langkah dan tindakan konkrit lainnya, menginventarisir dengan cepat dan akurat mengenai apa saja "kesalahan yang dilakukan para elit parpol", sehingga bisa dirancang scenario gerakan mempercepat perbaikan dengan mengkondisikan dan memobilisasi seluruh kekuatan kelompok pro-demokrasi, melakukan gerakan boikot anti Parpol hingga demonstrasi jalanan secara paralel dan bergelombang.
Â