Jika Soekarno menggunakan narasi dengan dalih "revolusi belum selesai", maka narasi yang dibangun era Jokowi menggunakan dalih "realisasi projek IKN, klaim dukungan rakyat dan Parpol, stabilitas ekonomi belum maksimal".
Seakan menyerupai paham yang didalilkan Demokrasi Pancasila era Soeharto yang terkenal dengan narasi "Era Tinggal Landas"Â sesuai program REPELITA rezim Orde Baru. Sedangkan dalil rezim Jokowi, menggunakan narasi "Realisasi Pemerataan Pembangunan dan Revitalisasi BUMN"Â belum sempurna.
Benarkah praktik ketatanegaraan Indonesia selama ini sudah benar-benar menjalankan system dan prinsip demokrasi yang sejatinya?
Siapa yang harus menyuarakan dan melawan praktik pemanipulasian sistem demokrasi seolah-olah ini? atau dugaan praktik analogi demokrasi pasar gelap ini? Apakah memang sudah tidak ada lagi individu hingga kelompok tertentu yang peka dan kritis dengan situasi politik saat ini?
Prinsip-prinsip demokrasi ada 9 (Sembilan) yang harus terpenuhi, antara lain (1) Pengakuan hak asasi manusia, (2) Pemisahaan atau pembagian kekuasaan (trias politika), (3) Pemerintahan menurut hukum, (4) Jaminan hak individu secara konstitusional, termasuk prosedurnya.
Sedangkan prinsip selanjutnya (5) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memilih, (6) Pemilihan umum yang bebas dan kebersamaan politik, (7) Kebebasan mengemukakan pendapat, (8) Kebebasan berserikat dan berposisi, dan (9) Pendidikan politik dan kewarganegaraan (civil education).
Berdasarkan keseluruhan prinsip demokrasi di atas, ada satu prinsip yang "diduga ada unsur kesengajaan tidak dilakukan secara terstruktur, sistematif dan massif" oleh setiap Parpol, yaitu soal Pendidikan Politik Warga Negara (civil education).
Seharusnya, siapa yang paling relevan dan bertanggung jawab melakukan "Pendidikan Politik Warga Negara (Civil Education)" dalam negara penganut sistem demokrasi? Sampai kapan situasi dan kondisi "masa mengambang (Floating Mass)" dikonstruksikan tetap ada?
Kondisi mayoritas warga bangsa dalam posisi dan situasi masa mengambang (Floating Mass), akan memberi ruang dan dimanfaatkan elite birokrat sebagai representasi Eksekutif dalam system demoktasi melakukan praktik demokrasi pasar gelap.
Rakyat sebagai pemberi mandate atas kuasa dan kekuasaan yang dijalankan pemerintah, terbukti tidak mampu melakukan kontrol secara kritis, cerdas dan efektif, karena tidak mendapat pendidikan/pemahaman soal politik yang seharusnya dan yang sesungguhnya.
Tidak tersedia ruang dan mekanisme komunikasi politik yang bisa menampung aspirasi dan kritik paska hajatan pesta demokrasi Pemilu Legislatif, Pemilukada, dan Pemilu Presiden selama ini, setidaknya dugaan terjadinya perselingkuhan politik sangat dimungkinkan.