Tanggungjawab negara terhadap nilai-nilai kearifan lokal, idealnya berbasis problem yuris dan problem etis filosofis. Sehingga, kearifan lokal tidak dipandang sekedar produk kebudayaan semata, tapi menjadi sumber konstruksi system hukum yang bertitik tolak pemahaman filosofis.
Kearifan lokal harus dielaborasi dengan simpulan "hukum sebagai prilaku" dan bukan semata "hukum sebagai aturan, norma atau azas" atas suatu nilai. Karenanya, tanggugjawab negara terhadap nilai kearifan lokal masyarakat hukum adat, harus dikemas dalam kebijakan secara holistic.
"Membangun konsep Hutan Adat secara massif tidak harus menunggu kehadiran Perda MHA maupun UU MHA. Scenario gerakan massif dengan skema Hutan Adat bisa menggunakan dalih berikut argument dan jastifikasi politik karena "kekosongan aturan hukum"
Selama dampak yang ditimbulkan tidak merugikan kebijakan politik, tidak terjadi praktik deforestasi dan degradasi kawasan hutan, maka pola pengelolaan Hutan Adat yang dikembangkan komunitas MHA bisa dibenarkan secara politik.
Jika ada pendapat "realisasi skema Hutan Adat harus menunggu aturan hukum" maka simpulan itu menegasikan basis pemikiran hukum kritis, studi kritis hukum modern, hukum progresif, yang mengkonsepsikan "hukum tidak hanya tertulis dalam Undang-Undang".
Tafsirnya, mereka hanya tunduk pada aliran filsafat hukum positivisme yang menkonsepsikan hukum sebagai ius (aturan hukum) yang mengalami positivisasi sebagai lex (Undang-Undang). Sehingga hukum harus diyakini dan dipatuhi dengan hukum positif atau UU.
Pencirian hukum positif didasarkan pada realitas, fakta dan bukti, tidak bersifat metafisik dan tidak menjelaskan esensi. Kalaupun ada atau terjadi gejala alam, mewajibkan untuk diterangkan dengan basis hubungan sebab akibat, dan tidak berhubungan dengan moral.
Sedangkan aturan hukum yang ideal, pelaksanaan hukumnya harus disesuaikan berdasar kebutuhan masyarakat yang tidak lepas dari pengaruh ajaran moral dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, semata demi mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.
"Skema Hutan Adat harus diyakini sebagai "garda terdepan dan terakhir" yang bisa menahan laju scenario monokultur, praktik jual beli lahan, hegemoni pengelolaan dan penguasaan lahan, praktik deforestasi-degradasi kawasan hutan, dan penopang ancaman climate change"
Para pengusung MHA harus mampu meyakinkan para pimpinan dan tokoh adat untuk segera membangun skema Hutan Adat secara mandiri. Kenapa? Strategi ini semata ingin menunjukkan kemampuan, kearifan local, dan keseriusan menjaga wilayah adat mereka.
Meskipun, tantangan dan peluang yang riil terjadi di tingkat tapak, berkenaan soal godaan pengalihan/penjualan lahan, klaim wilayah adat, batas wilayah antar desa, hingga soal eksistensi dan militansi para pendamping Masyarakat Hukum Adat.
Upaya mendorong skema Hutan Adat sejatinya sedang bersaing dengan skema Perhutanan Sosial (Hkm, HD, HTR, Kemitraan) melalui kampanye secara massif, hingga penyerahan SK Izin KemenLHK kepada subyek hukum berikut hak dan kewenangan serta manfaat yang dirasakan.
Karenanya, jika ada instruksi konsolidasi terus menerus tanpa disertai aktifitas yang bisa membuat mereka bangga, percaya diri, mensejahterakan Masyarakat Hukum Adat tempatan, tentu menjadi tekanan mental dan moral bagi pengurus organisasi di tingkat tapak.
"Skema Hutan Adat harus dikampanyekan secara sistematis sebagai "model pertahanan terakhir" atas dasar "kedaulatan dan kemartabatan bagi kemurnian identitas secara mandiri", demi menyelamatkan wilayah adat beserta keutuhan potensi SDA/hutan"