Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Potret Kartini Milenial" Simbol "Gerakan Feminis" Indonesia

26 Mei 2021   03:01 Diperbarui: 26 Mei 2021   03:06 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kartini memang mewakili perempuan Indonesia pada jamannya untuk berbicara,  menyuarakan, dan mewujudkan citanya soal feminisme. Jauh sebelum era awal sembilan puluhan ketika marak NGO mengusung issue gender tawaran lembaga donor.  

Kekecewaan psikologis Kartini, akhirnya terbayar lunas dengan sikap moderat Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat suami Kartini, memberi kebebasan dan mendukung mendirikan sekolah wanita di kompleks kantor Kabupaten.

"Kepekaan dan kecerdasan Kartini saat itu, bisa ditafsirkan sebagai bentuk gerakan feminis dengan "melawan secara santun praktik budaya patriarki". Gagal memang, tetapi tindakannya telah menginsprirasi kaum perempuan Indonesia"

Sesungguhnya, konklusi cukilan sejarah dengan tafsir rangkain cerita di atas, bisa dijadikan cermin bagi para aktivis gerakan feminis. Tidak semata menggugat kebijakan politik, tetapi bisa memberi solusi konkrit secara kreatif-konstruktif.

Gerakan feminis di Indonesia menjadi kebutuhan politik, khususnya para pekerja pabrik. Diduga, posisinya rentan dengan pemecatan karena ketatnya aturan perusahaan. Situasi ini semata karena target produksi, dan banyak tenaga kerja pengganti yang mengantri.

Masih ingat kasus buruh Marsinah? seorang aktivis dan buruh pabrik di sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik masa pemerintahan Orde Baru dan ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993. Marsinah bisa diapresiasi sebagai pelaku gerakan feminis pada masanya.

"Tantangan Kartini milenial, selain bertarung menempati posisi strategis-politis untuk mewarnai keputusan organisasi tempatnya berkarier, pada ghalibnya juga menghadapi tanggung jawab ganda dengan stigma wanita karier, ibu rumah tangga atau single parent"

Tentu ada resiko psikologis-politis yang dihadapi berkenaan dengan masalah internal (rumah tangga) dan eksternal (karier dan profesi). Fenomenanya, perempuan cenderung masih terbatasi hak dan suaranya di bawah tekanan budaya Patriaki.

Para penggerak PKK, pengelola sekolah PAUD, mahasiswa KKN pengajar ibu-ibu di kampung yang masih buta huruf, tanpa disadari dan tak perlu mendeklarasikan diri, mereka itu mewakili para aktor sekaligus aktivis gerakan feminis Indonesia.

Karakter aktivis perempuan seperti Tri Rismaharini, Sri Mulyani Indrawati dan Retno Marsudi yang mewakili politisi, akademisi, dan elite birokrat, adalah sosok perempuan tangguh dan petarung dalam kariernya sebagai pelaku gerakan feminis.

Mereka bersaing untuk menghancurkan stereotipe atas penilaian dan tindakan diskriminatif, menunjukkan kapasitas dan kemampuan sebagai pemimpin. Mereka mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender dalam gerakan feminis seutuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun