"Harmoni" merupakan kata sakti untuk menjawab aksi gerakan lingkungan modern lewat peringatan hari bumi 2021 dengan tema "Restore Our Earth" atau "Pulihkan Bumi Kita". Sebab, dalam praktiknya keseimbangan antara target politik pertumbuhan dunia tidak signifikan dengan komitmen restorasi SDA global.
Upaya menjawab dan menjaga kerusakan bumi, nampaknya masih sebatas jargon politik. Mengapa?
Narasi dengan dalih keniscayaan soal bonus demografi, pemenuhan kebutuhan pangan, persaingan antar negara demi kedaulatan dan keamanan, hingga prilaku kompetisi untuk saling menjaga dan mempertahankan eksistensi, adalah fakta yang tak terbantahkan.
Kompetisi saling mereduksi, saling klaim kevalidan data, saling menghambat kinerja sesama rekanan, idealnya harus diakhiri secara sadar.
Jika hal tersebut tetap terjadi, maka bisa dimaknai mereka sendiri sedang mereduksi komitmen dan stigma sebagai aktivis penyelamat bumi.
"Sesungguhnya, saat ini dunia sedang menghadapi fenomena perubahan prilaku secara ekstrem mayoritas umat manusia, dimanapun mereka berada, dibawah kendali siapa saja pemimpin dan sistem pemerintahannya"
Meski keputusan politik global telah dibuat dan disepakati melalui berbagai konvensi internasional, akan tetapi realisasi komitmennya diselesaikan lewat transaksi bantuan dana hibah maupun hutang yang dibebankan kepada negara-negara yang masih memiliki potensi SDA dan hutan yang masih tersisa.
Jika tema hari bumi adalah benar dan secara sadar menyebut "Restore Our Earth" maka itu berarti benar ada persoalan lingkungan, implikasinya dengan praktik pengelolaan SDA bagi para pemerintah penguasa negara manapun.
Pertanyaannya, siapa yang patut dipersalahkan?
Membuka kembali lembaran sejarah 51 tahun lalu saat pertama kali "Hari Bumi dicanangkan tahun 1970", seakan kita bisa merasakan suasana batin munculnya kesadaran intelektual secara kolektif dari siapapun status mereka dibelahan bumi manapun, dengan ajakan bersama "menyuarakan kesadaran publik tentang keadaan planet kita".
Sejarah mencatat, bahwa ide "Hari Bumi" sejatinya sudah muncul sejak awal 1960-an di Amerika Serikat, ketika orang mulai sadar tentang efek pencemaran lingkungan.Â
Isu pencemaran lingkungan ini bahkan ditulis dalam buku karya Rachel Carson berjudul "Silent Spring (1962)" yang berkisah soal bahaya pestisida di pedesaan Amerika.
Beberapa tahun setelahnya, entah karena kebetulan atau rekayasa politik, terjadi kebakaran besar di Sungai Cuyahoga, Cleveland yang disebabkan oleh pembuangan limbah kimia ke sungai. Tragedi inilah yang kemudian mendorong orang untuk melindungi sumber daya alam.
Pada 1969, mulai bermunculan aktivis peduli lingkungan yang fokus pada isu-isu pencemaran lingkungan berskala besar, seperti polusi udara yang disebabkan pabrik dan pembuangan limbah yang belum diatur secara ketat. Hanya sedikit masyarakat Amerika pada tahun itu yang mengenal istilah daur ulang.
Senator Gaylord Nelson, yang terpilih di Senat AS tahun 1962, bertekad meyakinkan pemerintah bahwa planet bumi berada dalam bahaya. Nelson kemudian menjadi salah satu orang yang mengembangkan gagasan Hari Bumi di sebuah konferensi pers di Seattle pada musim gugur 1969.
Earthday menyatakan "Memulihkan Bumi bukan hanya karena kita peduli dengan alam, tetapi karena kita hidup di atasnya. Kita semua membutuhkan Bumi yang sehat untuk mendukung pekerjaan, mata pencaharian, kesehatan dan kelangsungan hidup, dan kebahagiaan kita. Planet yang sehat bukanlah pilihan, tetapi ini adalah kebutuhan"
Ada beragam cara bagi publik berpartisipasi. Mereka memiliki nilai-nilai yang sama bicara tentang lingkungan dan menemukan cara untuk mempertahankan planet ini. Ada kelompok yang berjuang melawan tumpahan minyak, pabrik-pabrik pencemar, pembuangan limbah mentah, pembuangan racun, pestisida, hilangnya kawasan hutan, dan kepunahan satwa liar.
Disinyalir, saat ini sudah lebih dari 1 miliar orang di 192 negara turut berpartisipasi dalam kegiatan Hari Bumi setiap tahun. Hari Bumi dijadikan peringatan sipil terbesar di dunia.
Apakah ada aktivis lingkungan, pemimpin lokal atau adat, politisi di Indonesia yang akan melakukan tindakan seperti Gaylord Nelson, yang merekrut Denis Hayes lulusan baru Stanford University yang aktif secara politis, membujuk Pete McCloskey dari California menjadi wakil ketua, dan dengan kekuatan staf berjumlah 85 orang untuk melangsungkan protes dengan cara memobilisasi massa untuk demonstrasi turun ke jalan?
Pertanyaan kritis berikutnya, masih relevankan cara yang dilakukan Gaylord Nelson untuk kondisi kekinian? Bahkan majalah TIME memperkirakan ada sekitar 20 juta orang di seluruh Amerika Serikat turun ke jalan pada tanggal 22 April 1970 tersebut.
"Aksi demonstrasi turun ke jalan merupakan fenomena ledakan akar rumput yang sangat mencengangkan. Mereka ikut merespon cikal bakal penetapan Hari Bumi untuk bisa berpartisipasi dengan demonstrasi menyampaikan pesan serius kepada para politisi untuk bangkit dan berbuat sesuatu"
Jika menilik kembali sejarah suasana demonstrasi turun ke jalan sambil mengacungkan tinju kemarahan kepada para perusak bumi, melibatkan tidak kurang dari 1500 perguruan tinggi dan 10 ribu sekolah berpartisipasi dalam unjuk rasa di New York, Washington dan San Franssisco, tentu menjadi pemandangan yang maha dasyat saat itu.
Masih ingat dan konsistenkah para aktivis dan actor intelektual yang terlibat saat itu dengan visi-misi perjuangannya saat ini? tentunya ada tokoh aktivis dan actor intelektualnya yang saat ini sedang menduduki posisinya masing-masing sebagai elite politik di lembaga pemerintahan dan parlemen Amarika.
Fenomena ini tentu sangat menarik jika dikaitkan dengan fakta saat ini soal kebijakan politik dalam negeri amerika atas tindakan dan pensikapannya terhadap praktik seluruh pabrik dan industri yang berkembang di Amerika selama ini.
Karenanya, untuk konteks sebuah negara, kebijakan dan kebijaksanaan politik pemerintah penguasa tertentu yang harus bertanggung jawab. Ambiguitas kebijakan ekonomi, godaan hutang dan investasi, tuntutan kesejahteraan pribadi/kelompok, hingga tekanan politik kelompok oligarki, bisa jadi sebagai pemantik atau penyebab terjadinya tindakan inkonsisten.
"Kolaborasi antara pemerintah, NGO dan masyarakat lokal, seakan telah menunaikan tugas dan kontribusi politisnya dengan berbagai kegiatan mitigasi dan atau adaptasi bencana dengan berbagai skema pendanaan melalui berbagai skema pendekatan"
Jika benar tema "Restore Our Earth" tersebut menolak anggapan bahwa mitigasi atau adaptasi adalah satu-satunya cara untuk mengatasi perubahan iklim, maka cara apa yang paling efektif untuk menjawab tema hari bumi 2021 ini?
Local wisdom atau kearifan local yang terbebas dari kontaminasi inviltrasi budaya kota dan intervensi kebijakan politik pemerintah dengan dalih pertumbuhan dan pemerataan pembangunan wilayah pedesaan, mungkin saja bisa dijadikan skema penawarnya.
Masyarakat desa dan masyarakat adat pada dasarnya punya strategi konservasi tradisional yang teruji kehandalannya. Mereka selama ini dan bahkan telah lama keberlangsungannya, bisa dan mampu bertahan hidup dengan cara dan kearifan tradisionalnya.
Kearifan tradisional yang dikawal para kepala desa dan tokoh masyarakat adat menjadi jawaban ideal. Mengembalikan eksistensi dengan menghormati keputusan komunal mereka adalah langkah bijak bagi para elite politik, dengan tidak memaksakan kebijakan politik pertumbuhan sebagaimana praktik capaian keberhasilan pembangunan selama ini.
Batasan kesejahteraan hidup hingga kemakmuran versi mereka, harus ditempatkan sebagai tonggak dasar, tanpa harus dipaksa menyesuaikan kriteria sesuai definisi para tehnokrasi yang berlindung dibalik sistem politik, hingga target politik pemerintah penguasa dengan dalih amanat konstitusi berikut aturan turunannya (baca: UU, Perpu, Perpres, Kepres, PP, Perda).
"Potret kesejahteraan ekonomi dan dinamika sosial masyarakat desa menjadi cermin politis eksistensi sebuah negara-bangsa. Dengan demikian, keberadaan desa sebagai pensuplai kebutuhan dasar masyarakat kota, idealnya pemerintah merevitalisasi keberadaannya dengan garanti politik sesuai harapan masyarakat setempat"
Saat ini bumi menghadapi masalah lingkungan sangat serius. Dampak perubahan iklim global, pengelolaan limbah, kelangkaan air, ledakan penduduk, menipisnya sumber daya alam, kepunahan tumbuhan dan hewan, kerusakan habitat alam, peningkatan polusi dan kemiskinan, sedang menjadi tantangan bersama warga dunia.
Bahkan, Seyyed Hossein Nasr, filsuf muslim kontemporer Iran, menyatakan bahwa manusia modern dengan segala kegalauan rasionalitasnya, telah menilai alam tidak sakral sama sekali. Manusia telah dan sedang mengeksploitasi alam layaknya pelacur, mengganti segala kesakralannya dengan uang.
Padahal, idealnya soal kesakralan relasi lingkungan alam dengan manusia harusnya seperti pernikahan, penuh tanggung jawab dan berkeadilan. Karenanya, Issue krisis lingkungan harus menjadi kritik bersama. Menurutnya, manusia modern menolak melihat Tuhan sebagai alam yang tertinggi.
"Jika menganggap dan menilai lingkungan semakin rusak, sejatinya perlu memeriksa ulang, tindakan apa saja kiranya yang sudah diperbuat untuk menjaga, menyelamatkan dan melestarikan lingkungan sekitar kita?"
Siapapun mereka manusianya, tanpa memandang ras dan bangsa mana, status, pangkat dan jabatan sebagai apa, serta ajaran agama apapun, telah mengajurkan untuk berbuat dan bertanggung jawab bersama merawat bumi.
Implikasinya dengan komitmen mendukung peringatan Hari Bumi, idealnya bisa dan harus dimulai dengan tindakan dari diri kita sendiri. Dengan demikian, kita sudah memberi keteladanan kepada orang lain, sebelum menyuruh orang untuk melakukan sesuatu.
"Keteladanan menjadi penting agar terhindar dari penilaian hanya pandai bicara dan menyuruh, tetapi perkataan dan suruhannya belum pernah dilakukan/diperbuat, apalagi memahami dampak dan konsekwensi perbuatannya"
Contoh sederhana untuk keteladanan, yaitu melakukan tindakan keseharian yang bisa mengurangi Emisi karbon. Emisi karbon adalah gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon. Contoh dari emisi karbon ialah CO2, gas pembuangan dari pembakaran bensin, solar, kayu, daun, gas LPG, dan bahan bakar lainnya yang mengandung hidrokarbon.
Emisi karbon dapat menyebabkan dampak besar seperti perubahan iklim yang tidak menentu sehingga mengakibatkan banjir, kelaparan, dan ketidakstabilan ekonomi. Selain itu, emisi karbon juga bisa mengakibatkan suhu udara meningkat dan menyebabkan pemanasan global.
Bentuk tindakan paling sederhana dengan melakukan (1) efisiensi pemakaian listrik, (2) mempertimbangkan kebutuhan konsumsi sehari-hari, (3) memangkas biaya transportasi, pemrosesan, hingga pengemasan makanan dengan membiasakan beli makanan di tempat.
Dalam konteks Indonesia, peringatan Hari Bumi berkorelasi politik dengan semangat UUCK. Beberapa ketentuan hukum yang ditunggu masyarakat di tingkat tapak, terkait status dan legalisasi lahan yang digarap masyarakat sekitar kawasan hutan, dan masalah konflik tenurial antara masyarakat dengan pemerintah maupun perusahaan swasta.
Selain itu, ada 3 (tiga) hal relative penting dan mendasar untuk substansi lingkungan yang diatur UUCK. Pertama, soal AMDAL implikasinya dengan keterlibatan masyarakat, sesuai amanat perundangan pemerintah memberikan perhatian lebih bagi masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatannya.
Kedua, konsep perizinan berusaha berbasis model Risk Based Approach (RBA) yang sejalan dengan dokumen lingkungan (AMDAL, UKL-UPL dan SPPL). Sedangkan untuk persyaratan lain berikut tahapannya masih sesuai pengaturan Pasal 123 UU.No.32/2009.
Ketiga, penerapan tindakan administratif atau tindakan pidana korporasi, selain pidana penjara atau denda terhadap pengurusnya. Pengenaan sanksi administratif tidak menghilangkan kewajiban pemulihan kerusakan lingkungan atau mengganti atas kerugian harta benda atau kerusakan barang akibat dari kegiatannya.
"Sedangkan substansi kehutanan lainnya yang erat kaitannya dengan upaya pengurangan emisi karbon, berkaitan dengan strategi pencapaian ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan"
Peluang strategi kebijakan dimaksud, berkenaan dengan pemberian akses legal dengan skema perhutanan sosial (HKm, HD, HTR, KK, HA) serta kebijakan penanganan konflik tenurial, pengembangan usaha kelompok masyarakat, dan pendampingan.
Setidaknya, ada harapan bagi masyarakat tingkat tapak, saat menyimak pernyataan sekaligus janji politik Menteri LHK soal pendekatan restorative justice dan mengangkat perijinan perhutanan sosial, serta pengaturan sanksi atas pelanggaran masyarakat yang bermukim disekitar hutan dengan kebijakan perhutanan sosial, kemitraan konservasi dan TORA.
Akhirnya, memperingati Hari Bumi bukan sekedar kegenitan politik melalui press release komitmen para politisi, pemimpin negara dan para aktivis lingkungan, hingga demonstrasi turun ke jalan, kemudian mengklaim sudah peduli terhadap krisis lingkungan untuk penyelamatan bumi.
Mengatasi krisis lingkungan untuk penyelamatan bumi harus dibuktikan dengan tindakan pemberhentian segala praktik yang berpotensi merusak lingkungan beserta pemberian sanksi hukum secara tegas dan adil oleh pemerintah penguasa, dan keteladanan dari tindakan diri sendiri melakukan perbaikan dan pemulihan lingkungan sekitar kita.
Salam lestari, ......Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H